
Agus Marto & Perubahan Rp 1.000 ke Rp 1 yang Belum Terwujud
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
23 May 2018 08:06

Jakarta, CNBC Indonesia - Agus Dermawan Wintarto Martowardojo untuk terakhir kalinya menghadap Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013-2015 hari Selasa (22/5/2018).
Beberkan Pencapaian BI Lima Tahun Terakhir
Dalam kesempatan tersebut, Agus Marto juga mengemukakan kesan-kesannya selama menjabat sebagai pucuk pimpinan BI yang terbilang tidak mudah pada periode 2013.
Pada saat itu, dia dihadapkan pada era yang dikenal sebagai taper tantrumĀ di Amerika Serikat (AS) yang disertai dengan normalisasi perekonomian terbesar kedua di dunia, China. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada sendi-sendi perekonomian dalam negeri.
Nilai tukar terdepresiasi dalam, inflasi pun meroket ke level 8%. BI sebagai otoritas moneter terpaksa harus memutar otak untuk mengatasi persoalan tersebut agar tidak semakin menggerogoti perekonomian nasional.
"Selang dua hari sejak kami dilantik sebagai gubernur BI, ini sangat sulit," kata Agus Marto dalam rapat kerja bersama komisi keuangan.
Situasi tersebut pada akhirnya membuat bank sentral melakukan langkah yang tidak populer melalui instrumen suku bunga. Di awal kepemimpinannya, Agus Marto memutuskan untuk menaikkan suku bunga sebanyak total 175 basis poin dari 5,75% menjadi 7,5%.
Indonesia yang sempat masuk ke dalam daftar lima negara yang cukup 'rentan', akhirnya bisa keluar dari periode kelam tersebut satu tahun kemudian. Agus Marto menyebut hal itu tak lepas dari kebijakan BI yang diklaim bisa menjaga stabilitas perekonomian.
Lantas, bagaimana kondisi stabilitas perekonomian Indonesia di masa akhir kepemimpinan Agus Marto?
Laju inflasi yang sempat melesat di awal kepemimpinan Agus Marto di bank sentral, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir berhasil dijaga dengan stabil. Inflasi Indonesia konsisten berada di kisaran 3%
Pergerakan nilai tukar pun demikian. Selama dia menjabat sebagai gubernur BI, volatilitas rupiah berhasil dijaga di bawah 12%, meskipun tekanan terhadap mata uang Garuda sejak awal hingga pertengahan tahun cukup terasa.
Selain itu, defisit transaksi berjalan yang sempat menembus angka 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), berhasil dikendalikan di sekitar 2% meskipun sejatinya pada tahun ini BI memproyeksikan terjadi pelebaran hingga US$23 miliar.
"Kita patut bersyukur, dunia mengatakan Indonesia masih bisa dikelola dengan baik," kata Agus Marto.
(prm) Next Article Kata Agus Marto Soal Pencalonan Kembali Dirinya Sebagai BI-1
Dalam rapat yang berlangsung kurang lebih tiga jam itu, Agus Marto menyampaikan satu permnintaan terakhirnya kepada dewan parlemen di tengah ketidakpastian global yang membuat nilai tukar rupiah semakin tertekan.
Mantan direktur utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) itu ingin komisi keuangan mempertimbangkan kembali pembahasan penyederhanaan mata uang atau redenominasi. Sebab, banyaknya digit dalam nominal mata uang membuat rupiah seakan-seakan mengalami depresiasi yang cukup besar.
"Indonesia buat rakyatnya resah karena US$1 itu dihargai lima digit rupiah. Jadi kalau ada depresiasi 1%, itu sudah naik Rp 140. Kalau mata uang lain [terjadi depresiasi] itu baru nol koma," kata Agus.
Wacana penyederhanaan pecahan mata uang dengan melenyapkan digit nol yang tertera dalam uang itu sejatinya sudah pernah dikemukakan oleh bank sentral di bawah kepemimpinan Darmin Nasution pada 2010.
Pada waktu itu, bank sentral telah menyusun jadwal besar penerapan rencana redenominasi rupiah dalam 10 tahun ke depan. Rencananya, proses penyesuaian akan dilakukan bertahap dan pada akhir 2020 rupiah seutuhnya akan memiliki nominal baru
Keputusan untuk melakukan redenominasi pada waktu itu tak lepas dari kinerja apik perekonomian Indonesia yang tumbuh 6%. Darmin pada waktu itu meyakini, redenominasi tidak akan mendorong pergerakan inflasi.
Bak gayung bersambut, gagasan ini mendapat restu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013, namun hingga masa pemerintahan SBY berakhir, RUU (rancangan undang-undang) tersebut tak pernah diselesaikan,
Lama tak disinggung, wacana redenominasi kembali mengemuka ke publik. Perekonomian Indonesia yang mulai stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global, serta pergerakan inflasi yang terjaga menjadi modal untuk kembali mengajukan RUU redenominasi.
Sehingga pada akhirnya, BI pada pertengahan tahun lalu secara resmi mengajukan redenominasi ke pemerintah. Rencana ini pun sudah sudah menjadi pembicaraan antara Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan bank sentral.
Bahkan, sempat muncul wacana RUU Redenominasi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, menggantikan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sejatinya sudah cukup lama tak menjadi pembahasan bersama parlemen.
Meski demikian, Sri Mulyani justru memutuskan untuk tidak mengajukan RUU Redenominasi ke dewan parlemen dengan alasan belum menjadi prioritas. Pada saat itu, prioritas pemerintah adalah revisi UU KUP.
Maka dari itu, di masa akhir jabatannya Agus Marto kembali meminta kepada Komisi XI untuk mempertimbangkan melakukan pembahasan redenominasi rupiah.
Mantan direktur utama PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) itu ingin komisi keuangan mempertimbangkan kembali pembahasan penyederhanaan mata uang atau redenominasi. Sebab, banyaknya digit dalam nominal mata uang membuat rupiah seakan-seakan mengalami depresiasi yang cukup besar.
Wacana penyederhanaan pecahan mata uang dengan melenyapkan digit nol yang tertera dalam uang itu sejatinya sudah pernah dikemukakan oleh bank sentral di bawah kepemimpinan Darmin Nasution pada 2010.
Pada waktu itu, bank sentral telah menyusun jadwal besar penerapan rencana redenominasi rupiah dalam 10 tahun ke depan. Rencananya, proses penyesuaian akan dilakukan bertahap dan pada akhir 2020 rupiah seutuhnya akan memiliki nominal baru
Keputusan untuk melakukan redenominasi pada waktu itu tak lepas dari kinerja apik perekonomian Indonesia yang tumbuh 6%. Darmin pada waktu itu meyakini, redenominasi tidak akan mendorong pergerakan inflasi.
Bak gayung bersambut, gagasan ini mendapat restu dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Meskipun sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2013, namun hingga masa pemerintahan SBY berakhir, RUU (rancangan undang-undang) tersebut tak pernah diselesaikan,
Lama tak disinggung, wacana redenominasi kembali mengemuka ke publik. Perekonomian Indonesia yang mulai stabil di tengah ketidakpastian ekonomi global, serta pergerakan inflasi yang terjaga menjadi modal untuk kembali mengajukan RUU redenominasi.
Sehingga pada akhirnya, BI pada pertengahan tahun lalu secara resmi mengajukan redenominasi ke pemerintah. Rencana ini pun sudah sudah menjadi pembicaraan antara Presiden Joko Widodo, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan bank sentral.
Bahkan, sempat muncul wacana RUU Redenominasi masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017, menggantikan RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sejatinya sudah cukup lama tak menjadi pembahasan bersama parlemen.
Meski demikian, Sri Mulyani justru memutuskan untuk tidak mengajukan RUU Redenominasi ke dewan parlemen dengan alasan belum menjadi prioritas. Pada saat itu, prioritas pemerintah adalah revisi UU KUP.
Maka dari itu, di masa akhir jabatannya Agus Marto kembali meminta kepada Komisi XI untuk mempertimbangkan melakukan pembahasan redenominasi rupiah.
"Jadi kepada bapak dan ibu [komisi XI], bisa dukung redenominasi," tuturnya.
Beberkan Pencapaian BI Lima Tahun Terakhir
Pada saat itu, dia dihadapkan pada era yang dikenal sebagai taper tantrumĀ di Amerika Serikat (AS) yang disertai dengan normalisasi perekonomian terbesar kedua di dunia, China. Hal tersebut pada akhirnya berdampak pada sendi-sendi perekonomian dalam negeri.
Nilai tukar terdepresiasi dalam, inflasi pun meroket ke level 8%. BI sebagai otoritas moneter terpaksa harus memutar otak untuk mengatasi persoalan tersebut agar tidak semakin menggerogoti perekonomian nasional.
"Selang dua hari sejak kami dilantik sebagai gubernur BI, ini sangat sulit," kata Agus Marto dalam rapat kerja bersama komisi keuangan.
![]() |
Indonesia yang sempat masuk ke dalam daftar lima negara yang cukup 'rentan', akhirnya bisa keluar dari periode kelam tersebut satu tahun kemudian. Agus Marto menyebut hal itu tak lepas dari kebijakan BI yang diklaim bisa menjaga stabilitas perekonomian.
Lantas, bagaimana kondisi stabilitas perekonomian Indonesia di masa akhir kepemimpinan Agus Marto?
Laju inflasi yang sempat melesat di awal kepemimpinan Agus Marto di bank sentral, dalam kurun waktu tiga tahun terakhir berhasil dijaga dengan stabil. Inflasi Indonesia konsisten berada di kisaran 3%
Pergerakan nilai tukar pun demikian. Selama dia menjabat sebagai gubernur BI, volatilitas rupiah berhasil dijaga di bawah 12%, meskipun tekanan terhadap mata uang Garuda sejak awal hingga pertengahan tahun cukup terasa.
Selain itu, defisit transaksi berjalan yang sempat menembus angka 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB), berhasil dikendalikan di sekitar 2% meskipun sejatinya pada tahun ini BI memproyeksikan terjadi pelebaran hingga US$23 miliar.
"Kita patut bersyukur, dunia mengatakan Indonesia masih bisa dikelola dengan baik," kata Agus Marto.
(prm) Next Article Kata Agus Marto Soal Pencalonan Kembali Dirinya Sebagai BI-1
Most Popular