Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
16 May 2018 13:41
Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Tahun 2018, menurut laporan PricewaterhouseCooper (PwC), adalah tahun penuh optimisme di kalangan bos korporasi dunia, dengan 61% para bos tersebut menilai opsi pertumbuhan anorganik lewat merger dan akuisisi layak untuk disiapkan di atas meja.

Dalam laporan berjudul "21st CEO Survey: The Anxious Optimist in The Corner Office", PWC menyebutkan rencana strategis itu dibangun di atas keyakinan bahwa ekonomi dunia akan membaik. Tingkat optimisme yang ditunjukkan oleh bos-bos itu naik ke 53%, titik tertingginya sejak 2007 (tepat sebelum krisis finansial), dibandingkan dengan posisi tahun lalu (39%).

Di Indonesia, kita menyaksikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) tengah ancang-ancang mencaplok anak usaha Pertamina, yakni PT Pertamina Gas (Pertagas). Hal ini dipastikan oleh Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Fajar Harry Sampurno kepada wartawan pada Rabu (11/4).

Ini merupakan akuisisi pertama yang dilancarkan emiten Indonesia di tahun 2018. Namun perlu dicatat, aksi korporasi itu dilancarkan bukan semata didorong oleh optimisme direksi sebagaimana survei PwC, melainkan lebih karena satu kesatuan rangkaian proses dari mandat negara untuk membentuk perusahaan induk (holding) migas.

Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa perusahaan induk migas telah terbentuk melalui PP No. 6 Tahun 2018 yang diikuti dengan penandatanganan akta inbreng antara Kementerian BUMN dengan PT Pertamina (Persero) pada tanggal 11 April 2018. Sejak tanggal tersebut, maka Pertamina telah sah menjadi perusahaan induk migas yang membawahi PGN.

Apakah kebijakan politik ini tepat atau, minimal, diambil berdasarkan perhitungan bisnis yang terencana atau sekadar mengikuti arahan pemerintah sembari menafikan pertimbangan bisnis? CNBC Indonesia menyajikan ulasannya sebagai berikut.

Harus diakui, proses konsolidasi Pertagas ke dalam pengelolaan PGN yang merupakan lanjutan dari pembentukan holding migas sempat menjadi polemik mengenai pihak mana yang akan survive dalam konsolidasi. Apakah dengan skema peleburan (merger) yang melahirkan entitas baru, ataukah PGN sebagai pihak yang mengakuisi Pertagas, atau sebaliknya?

Tidak heran, proses konsolidasi Pertagas ke dalam pengelolaan PGN ini sempat berlarut-larut yang berdampak pada kemajuan pembentukan holding BUMN Migas itu sendiri. Sejak 2015 (ketika wacana ini mengemuka pertama kali) hingga 2017, belum ada titik terang mengenai skema ideal dalam pembentukan holding BUMN Migas. Bahkan, target yang dipatok Menteri BUMN Rini Soemarno yang semula membidik holding BUMN migas terbentuk pada Agustus 2016 jauh terlewati dan baru tercapai pada April 2018.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Titik terang sebenarnya terlihat pada 22 Januari ketika rapat umum pemegang saham (RUPS) Pertamina menyetujui pengalihan saham seri B Negara di PGN ke Pertamina. Selang 3 hari kemudian, RUPS luar biasa (RUPSLB) PGN menyetujui pengalihan seluruh saham seri B milik negara di PGN menjadi setoran modal pada Pertamina. Secara bersamaan, Pertagas akan dialihkan kepemilikannya ke PGN.

Hasil RUPSLB saat itu masih terganjal belum terbitnya PP tentang Penambahan Modal Negara ke Pertamina melalui pengalihan seluruh saham seri B Negara di PGN. PP tersebut baru terbit lebih-kurang sebulan setelahnya yaitu pada 28 Februari 2018 yang selanjutnya dikenal dengan PP Nomor 6 Tahun 2018.

Pada 26 April, PGN menggelar RUPS tahunan dengan salah satu agendanya berupa: permintaan persetujuan awal untuk melakukan integrasi Pertagas ke perseroan. Di forum tersebut, pemegang saham PGN mengabulkan izin yang dimaksud sehingga jalan untuk mengakuisisi Pertagas pun kian mulus setelah melalui proses politik dan birokrasi selama beberapa tahun.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas
Dalam Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas, Pertamina sedianya mengalihkan Pertagas ke PGN dalam proses simultan tepat setelah diterbitkannya PP Nomor 6 Tahun 2018.

Sempat terbuka tiga opsi mengenai skema konsolidasi PGN dan Pertagas yaitu merger, inbreng (penyertaan atas saham) Pertamina di Pertagas ke PGN, dan akuisisi saham Pertagas oleh PGN.
Di antara tiga pilihan tersebut, Kementerian BUMN pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada skema akuisisi, dengan alasan—mengutip Fajar Harry—lebih cepat dibandingkan dengan merger.

Proses akuisisi tersebut ditargetkan rampung dalam 4 bulan sejak induk usaha BUMN migas resmi berdiri pada 11 April 2018, yakni pada Agustus.
“Pada skema akuisisi, prosesnya bisa rampung paling cepat 3 bulan. Kalau, merger bisa butuh waktu lama hingga 1 tahun lebih," ujar Fajar Harry.

Opsi merger memang lebih murah karena tidak memerlukan dana tunai untuk menyelesaikannya, tetapi mendilusi otoritas kedua perusahaan. Sementara itu, akuisisi memerlukan dana dalam jumlah besar, tetapi memberikan otoritas absolut pada pihak pembeli.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Tim Riset CNBC Indonesia

Berdasarkan matriks di atas, terlihat bahwa opsi akuisisi memiliki keunggulan lebih banyak dibandingkan dengan dua opsi lainnya. Keunggulan itu bisa ditemukan dari sisi terjaganya nilai intangible asset perusahaan yang dipertahankan, dalam hal ini brand PGN yang kuat, dengan aset lebih besar dan juga basis pelanggan end-user yang lebih banyak.


Betul bahwa PGN bakal menyiapkan pendanaan untuk akuisisi setelah valuasi Pertagas ditentukan. Namun, ini bukanlah perkara sulit karena kondisi keuangan emiten tersebut masih sehat. Rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/ DER) PGN per 2017 masih di level 74%, atau masih sangat sehat.

DER mencerminkan daya ungkit atau leverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya dalam beroleh laba. Pada umumnya sebuah perusahaan dinilai masih memiliki rasio likuiditas sehat jika DER di bawah 3 kali (300%).

Di sisi lain, debt to service ratio (DSCR) tercatat sebesar 1,7 kali, atau masih di atas ambang batas bawah sebesar 1 kali. Rasio debt to EBITDA (earning before interest, tax, depreciation and amortization/ laba sebelum bunga, pajak, depresiasi dan amortisasi) juga beradadi level 4,2 kali sedikit di atas batas minimal sebesar 4 kali.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Laporan Keuangan

"Dalam proses akuisisi ini bisa juga ada opsi melakukan asset swap [tukar aset]. Intinya harus melihat arus kas PGN," ujar Plt Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati kepada pers, Senin (16/4).

Penukaran aset dilakukan dengan menukar PT Saka Energi Indonesia (anak usaha PGN) ke Pertamina, sedangkan Pertagas menjadi milik PGN. Namun, ada kemungkinan opsi pendanaan lain untuk menyelesaikan transaksi akuisisi Pertagas tersebut, seperti penerbitan saham baru (rights issue) maupun pinjaman perbankan. "Kami akan tentukan skema pendanaan akuisisi setelah ada valuasi Pertagas," ujar Nicke.

Keputusan pemerintah untuk menunjuk PGN mengakuisisi Pertagas tidak berangkat dari ruang hampa atau dari kamar politik saja. Mengutip catatan tim riset CNBC Indonesia, PGN memang memiliki posisi lebih unggul dari sisi kepemilikan aset produktif. Saat ini, PGN mengoperasikan 7.453 kilometer (km) pipa gas, sedangkan Pertagas mengoperasikan 2.438 km pipa gas.


Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Foto: Sumber: Laporan Keuangan

Dalam struktur holding migas itu sendiri, PGN akan mengambil peran sebagai sub holding gas. Langkah ini mulai tampak pada saat Kementerian BUMN melakukan restrukturisasi organisasi Pertamina dengan menghilangkan Direktorat Gas pada Februari 2018.
Pemberian peran sebagai sub holding gas kepada PGN masih relevan jika merujuk kepada sejarah pendirian perusahaan tersebut pada tahun 1965 dengan mandat sebagai 'pengelola gas bumi domestik'.

Tampaknya Kementerian BUMN ingin mempertahankan semangat founding fathers terhadap maksud dan tujuan pendirian PGN.
Sampai sekarang, kementerian BUMN, Pertamina dan PGN sedang mengukur valuasi saham Pertagas yang harus dibeli oleh PGN. 
Menurut McKinsey, ada tiga merger dan akuisisi (M&A) yang sangat jarang terjadi dilakukan untuk meningkatkan valuasi perusahan. Ketiga proses itu tidak mudah karena tidak dialas-dasari dorongan yang jamak terjadi di dunia bisnis. Firma konsultan global itu menyebutkan setidaknya ada enam situasi normal yang mendorong terjadinya akuisisi.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Foto: Sumber: McKinsey

Adapun tiga kondisi atau motif langka pendorong akuisisi adalah: Pertama, konsolidasi banyak pemain kecil untuk menggalang efisiensi; kedua, konsolidasi para pemain besar untuk menyehatkan iklim kompetisi; dan ketiga, konsolidasi dua pemain besar untuk mewujudkan transformasi bisnis.
Mengacu pada situasi akuisisi PGN terhadap Pertagas, terlihat bahwa alasan yang terakhirlah yang menjadi pendorong utama aksi korporasi tersebut yakni konsolidasi pemain besar untuk mewujudkan transformasi bisnis.

PGN dan Pertagas saat ini memang berada di ranah bisnis sama.
Konsolidasi kedua raksasa tersebut tentunya diharapkan berujung pada tercapainya value creation (penciptaan nilai) ke depan setidaknya dalam tiga sinergi, yakni sinergi pendapatan, sinergi biaya, dan sinergi kapasitas keuangan.

Sinergi pendapatan ini hanya dimungkinkan jika dua perusahaan yang bergabung memiliki produk atau pasar berbeda. Sekilas, kondisi ini tidak terjadi di PGN dan Pertagas yang produk keduanya relatif sama dan menyasar pasar yang juga kurang-lebih sama. Namun jika dianalisis secara lebih mendalam, sinergi pendapatan juga bisa diciptakan melalui peningkatan kapasitas layanan dan pasokan gas.

Gabungan infrastruktur PGN dan Pertagas akan mendongkrak viabilitas eksplorasi dan ekstraksi lapangan gas milik Pertamina (selaku induk usaha) sehingga menambah suplaigas berkas ekstraksi tambahan tersebut.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas

Sekuritas pelat merah PT Danareksa Sekuritas dan firma konsultan hukum SSEK dalam laporannya mengestimasikan manfaat sinergi operasional kedua perusahaan ini nilainya bisa mencapai US$768 juta.
Untuk manfaat kedua yakni sinergi biaya, PGN dan Pertagas akan menikmatinya karena mereka bisa menyatukan layanannya untuk dua pasar yang sama atau lebih, dengan membukukan hanya satu biaya. Dengan demikian, biaya transmisi gas secara nasional berpeluang terpangkas. Sinergi biaya tersebut juga bisa dicapai dalam pemanfaatan arus kas untuk investasi.

Dengan perencanaan infrastruktur yang terpadu, pengembangan infrastruktur gas nasional pun tidak tumpang tindih. Danareksa dan SSEK menaksir penghematan dari sisi ini mencapai US$900 juta (dengan tingkat diskonto 10% pada Nilai Kini/present value).
Terakhir, sinergi kapasitas keuangan juga dipastikan akan dinikmati oleh entitas hasil konsolidasi tersebut yang berujung pada kenaikan aset tetap maupun aset tak tetap. Dengan memilih PGN sebagai surviving entity (entitas yang bertahan) lewat akuisisi Pertagas, reputasi dan brand kuat selama puluhan tahun ini menjaga intangible asset PGN pasca-konsolidasi.

Akuisisi PGN atas Pertagas, Pilihan Bisnis atau Politis?Sumber: Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas

Pada akhirnya perseroan bisa menarik pinjaman dari pihak ketiga dengan skala lebih besar (karena nilai asetnya naik setelah bergabungnya Pertagas ke dalam pengelolaan PGN) dan bunga lebih rendah (karena rekam jejak PGN dan statusnya sebagai perusahaan terbuka membuat premi risiko menjadi lebih kecil).


Dalam Buku Putih Pembentukan Holding BUMN Migas, pembentukan holding tersebut disebutkan dapat meningkatkan kapasitas investasi sebesar US$32 miliar pada periode 2017-2030, dengan kisaran Nilai Kini sekitar US$15,5 miliar (dan asumsi tingkat diskonto 10%).

Dengan melihat manfaat yang tercipta dari akuisisi PGN terhadap Pertagas, di mana PGN bertindak sebagai sub-holding gas di bawah Pertamina (selaku holding BUMN migas), maka tidak berlebihan jika menyimpulkan bahwa skema konsolidasi tersebut memiliki landasan kuat secara bisnis.

Mengingat posisi ketiga perusahaan yang terlibat tersebut, yakni sebagai BUMN, tentu saja aksi korporasi ini muncul dari keputusan politik. Diinisiasi dari Istana Presiden sekitar 3 tahun yang lalu, dan melalui proses politik di DPR, upaya pembentukan holding BUMN migas sejauh ini masih mengikuti logika dan praktik bisnis yang wajar.***
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular