
CPO Minyak Nabati yang Tak akan Tergantikan
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
28 April 2018 10:21

Nusa Dua, CNBC Indonesia - Di tengah kontreversi lingkungan yang melekat pada minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO), produk itu masih dinilai sebagai minyak nabati terbaik yang tidak tergantikan.
"Jika orang-orang mau melihat kenyataan yang terjadi saat ini, saya yakin sebenarnya mustahil menggantikannya (kelapa sawit) dengan mudah," kata James Fry, Chairman di lembaga analisis LMC International, saat berbincang dengan para jurnalis di sela-sela acara International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Bali, hari Jumat (27/4/2018).
Dia mengatakan, kebutuhan minyak kelapa sawit di Eropa adalah 6 sampai 7 juta ton per tahun dan bukan hal mudah untuk segera mencari penggantinya karena stok minyak nabati lain seperti sunflower oil dan rapeseed oil tidak cukup memenuhi permintaan.
Ditambah lagi, Uni Eropa (UE) melarang produk-produk yang mengandung organisme termodifikasi secara genetika (Genetic Modified Organism/GMO). Padahal, minyak kedelai yang dianggap sebagai alternatif paling mendekati CPO adalah salah satu minyak nabati yang mengandung GMO.
"Saya rasa konsumen pun tidak akan senang jika tiba-tiba melihat daftar komposisi dan menemukan ternyata semua produk yang mereka ketahui mengandung minyak GMO. Menurut saya orang-orang menekan sesuatu tanpa memikirkan implikasi nyatanya," tambah Fry.
Dalam paparannya, Fry menjelaskan deforestasi memang menjadi masalah besar di sektor industri CPO. Mengutip data yang dihimpun oleh delegasi UE di Indonesia, dia mengatakan 55% lahan hijau yang dibabat dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2015 dilakukan secara legal dan sekitar sepertiganya digunakan untuk perkebunan sawit.
Di Asia Tenggara sendiri, perkebunan sawit menggunakan 45% lahan yang sebelumnya hutan di tahun 1999. Kebanyakan orang menggunakan fakta ini untuk menuding kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi, sedangkan Fry mengatakan kenyataannya hutan-hutan itu saat ini sudah direboisasi.
"Seringkali kita melihat ke masa lalu ketika etika dan opini tentang lingkungan, aspek sosial dan deforestasi berbeda dengan yang terjadi sekarang. Melihat ke belakang, menurut saya, tidak selalu bagus dengan kebiasaan kita saat ini," jelas Fry.
Jika pun penolakan terhadap kelapa sawit tetap dilakukan atas dasar deforestasi, dia menjelaskan minyak nabati lain sebenarnya lebih banyak menggunakan lahan dibanding sawit.
"Dalam rata-rata dunia, satu hektar perkebunan sawit memproduksi minyak yang sama dengan delapan hektar perkebunan kedelai," kata Fry.
Berdasarkan data dari Oil World Statistics tahun 2017, total penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati adalah 277 juta hektar dengan total produksi 199 juta ton. Perkebunan kedelai sendiri menggunakan total lahan 122 juta hektar untuk memproduksi 45,8 juta ton minyak, dengan produktivitas sebesar 0,4 ton per hektar.
Demikian pula dengan perkebunan sunflower (bunga matahari) memerlukan 25 juta hektar untuk menghasilkan 15,9 juta ton, dengan produktivitas sebesar 0,6 ton per hektar. Perkebunan rapeseed menggunakan 36 juta jektar lahan dalam memproduksi 25,8 juta ton minyak, dengan produktivitas 0,7 ton per hektar.
Sedangkan perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang paling sedikit yaitu 16 juta hektar untuk menghasilkan 65 juta ton minyak, dengan produktivitas 4 ton per hektar.
(hps/hps) Next Article Ekspor Minyak Sawit RI ke China Digoyang Corona
"Jika orang-orang mau melihat kenyataan yang terjadi saat ini, saya yakin sebenarnya mustahil menggantikannya (kelapa sawit) dengan mudah," kata James Fry, Chairman di lembaga analisis LMC International, saat berbincang dengan para jurnalis di sela-sela acara International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) di Nusa Dua, Bali, hari Jumat (27/4/2018).
Dia mengatakan, kebutuhan minyak kelapa sawit di Eropa adalah 6 sampai 7 juta ton per tahun dan bukan hal mudah untuk segera mencari penggantinya karena stok minyak nabati lain seperti sunflower oil dan rapeseed oil tidak cukup memenuhi permintaan.
"Saya rasa konsumen pun tidak akan senang jika tiba-tiba melihat daftar komposisi dan menemukan ternyata semua produk yang mereka ketahui mengandung minyak GMO. Menurut saya orang-orang menekan sesuatu tanpa memikirkan implikasi nyatanya," tambah Fry.
Dalam paparannya, Fry menjelaskan deforestasi memang menjadi masalah besar di sektor industri CPO. Mengutip data yang dihimpun oleh delegasi UE di Indonesia, dia mengatakan 55% lahan hijau yang dibabat dalam kurun waktu tahun 2000 sampai 2015 dilakukan secara legal dan sekitar sepertiganya digunakan untuk perkebunan sawit.
Di Asia Tenggara sendiri, perkebunan sawit menggunakan 45% lahan yang sebelumnya hutan di tahun 1999. Kebanyakan orang menggunakan fakta ini untuk menuding kelapa sawit sebagai penyebab deforestasi, sedangkan Fry mengatakan kenyataannya hutan-hutan itu saat ini sudah direboisasi.
"Seringkali kita melihat ke masa lalu ketika etika dan opini tentang lingkungan, aspek sosial dan deforestasi berbeda dengan yang terjadi sekarang. Melihat ke belakang, menurut saya, tidak selalu bagus dengan kebiasaan kita saat ini," jelas Fry.
Jika pun penolakan terhadap kelapa sawit tetap dilakukan atas dasar deforestasi, dia menjelaskan minyak nabati lain sebenarnya lebih banyak menggunakan lahan dibanding sawit.
"Dalam rata-rata dunia, satu hektar perkebunan sawit memproduksi minyak yang sama dengan delapan hektar perkebunan kedelai," kata Fry.
Berdasarkan data dari Oil World Statistics tahun 2017, total penggunaan lahan di dunia untuk minyak nabati adalah 277 juta hektar dengan total produksi 199 juta ton. Perkebunan kedelai sendiri menggunakan total lahan 122 juta hektar untuk memproduksi 45,8 juta ton minyak, dengan produktivitas sebesar 0,4 ton per hektar.
Demikian pula dengan perkebunan sunflower (bunga matahari) memerlukan 25 juta hektar untuk menghasilkan 15,9 juta ton, dengan produktivitas sebesar 0,6 ton per hektar. Perkebunan rapeseed menggunakan 36 juta jektar lahan dalam memproduksi 25,8 juta ton minyak, dengan produktivitas 0,7 ton per hektar.
Sedangkan perkebunan kelapa sawit membutuhkan lahan yang paling sedikit yaitu 16 juta hektar untuk menghasilkan 65 juta ton minyak, dengan produktivitas 4 ton per hektar.
(hps/hps) Next Article Ekspor Minyak Sawit RI ke China Digoyang Corona
Most Popular