Ditentang Uni Eropa, Aprobi: Minyak Sawit itu Harta Karun RI

Anisatul Umah & Ferry Sandi, CNBC Indonesia
30 July 2020 15:44
Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia- Industri minyak sawit dalam negeri terus menerus mendapatkan halangan dari sejumlah lembaga di Uni Eropa. Hal tersebut termasuk dilakukan oleh sejumlah NGO asing yang ditengarai memiliki motif yang tak murni, alias memiliki kepentingan.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biodiesel Indonesia M.P Tumanggor mengatakan pada dasarnya minyak sawit (crude palm oil/CPO) merupakan harta karun bagi Indonesia. CPO bisa menjadi andalan ekspor, karena ketergantungan negara lain terhadap komoditas ini.

"Tak perlu takut NGO-NGO asing negatif itu. Pesaing kita, maka jelek-jelekan karena Indonesia memiliki harta karun," ujar Tumannggor dalam Exclusive Interview CNBC Indonesia yang bertajuk "Biodisel Pascapandemi Covid-19, Lanjut atau Terhenti?", Kamis (30/7/2020).

Regulasi yang dimaksud cenderung mendiskreditkan CPO RI di antaranya Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act). RED II adalah kebijakan Uni Eropa terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030.

Kebijakan ini menetapkan Uni Eropa wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030. Untuk mendukungnya, Uni Eropa akan menerbitkan delegated act, yang isinya menetapkan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan berisiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi.

Kriteria ini dikenal sebagai konsep ILUC (indirect land use change/perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung). Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa.

Sayangnya, kelapa sawit ikut ditetapkan sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC. Di sinilah letak diskriminasi tersebut.

Indonesia sendiri telah memproduksi lebih dari 50 juta ton CPO per tahun. Sebanyak 70% dari produksi tersebut mengandalkan ekspor, termasuk ke Uni Eropa. Sementara 30% menjadi konsumsi dalam negeri.

Selain itu, 17 juta orang Indonesia menggantungkan hidup di industri sawit. Indonesia juga menyatakan akan melawan semua keputusan yang mendiskreditkan CPO Indonesia.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Baik! Harga CPO Tahun Depan Diramal Membaik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular