Biaya Ekspor CPO Tertekan Akibat Dolar AS Hampir Rp 14.000

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
25 April 2018 17:37
Industri CPO berharap nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak lebih Rp 14.000/US$.
Foto: REUTERS/Samsul Said
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah melemah terhadap dolar AS hingga nyaris Rp 14.000/US$. Kondisi ini menjadi tantangan bagi pengusaha di industri kelapa sawit.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Danang Girindrawardana mengatakan biaya logistik ekspor CPO menjadi tinggi.

"Selama ini kita kalah kompetitif dari Malaysia karena masalah biaya logistik sementara basic price-nya kurang lebih sama. Logistic cost menyumbang 21-26% dariĀ total price CPO. Saat ini, umumnya pembeli kita kan menggunakan kontrak FOB [free on board] sehingga mereka membeli dengan kapal yang mereka tetapkan dan harganya akan mereka tentukan. Di situ, kita akan sangat terpengaruh kurs dolar. Jadi saya pikir selisih kurs tidak banyak memberikan gain pada industri hulu," jelas Danang kepada CNBC Indonesia di sela Munas X Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Hotel Grand Sahid Jaya.

Terkait hal ini, Danang berharap industri perkapalan nasional bisa segera tumbuh dan harus dipicu dengan kesiapan insentif dari pemerintah agar industri hulu sawit tidak terus-menerus terjebak biaya logistik untuk ekspor.

"Kalau kita sudah bisa menggunakan kapal nasional, relatif biayanya bisa dikontrol oleh produsen CPO dan shipper domestik karena penggunaan mata uangnya bergeser menjadi dominan Rupiah," imbuhnya.


Di sisi lain, dia beranggapan penguatan Dollar AS akan sangat berdampak bagi industri hilir sawit karena tingginya impor bahan baku dan bahan penolong. Rata-rata 60% industri hilir sawit menggunakan bahan baku dan penolong yang diimpor.

"Di industri farmasi yang sebagian menggunakan oliochemicals, produk turunan CPO ini kandungan impornya bisa mencapai 80% jadi sangat bergantung nilai tukar rupiah. Ini mulai mengkhawatirkan kalau di atas Rp 14.000/US$. Sekarang sudah sangat dekat jadi harus hati-hati. Saya kira kita menunggu saja kebijakan pemerintah," tambah Danang.


Kendati demikian, Danang merasa pemerintah belum perlu melakukan intervensi berlebihan terhadap nilai tukar rupiah, karena belum terlalu banyak industri yang terganggu. Intervensi berlebihan dikhawatirkan akan semakin memantik kecemasan pasar.

"Kalau terlalu banyak intervensi nanti malah gejolaknya lebih tinggi karena pemain uang akan lari semua ke situ, ini mendorong ke arah tidak sehat nantinya," pungkas Danang.


(ray/ray) Next Article Untuk Roti Sampai BBM, Ini Jenis CPO yang Diekspor RI ke UE

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular