
Kelangkaan Premium yang Berujung Pencopotan Dirut Pertamina
Tim CNBC Indonesia, CNBC Indonesia
21 April 2018 11:10

Pertamina punya jawaban sendiri atas kelangkaan premium di masyarakat. Pertamina menyebut tren penggunaan premium terus menurun sejak tahun 2015. Penurunan itu diiringi dengan peningkatan penggunaan pertalite sebagai BBM dengan harga paling mendekati premium.
Corporate Secretary Pertamina Syahrial Mukhtar memaparkan ketika terjadi penurunan atas premium, Pertamina pun harus mengganti kembali infrastruktur di SPBU agar kompatibel dengan jenis pertalite. "Oleh sebab itu, ketika ada peralihan pengguna pertalite ke premium karena gap harga yang melebar, SPBU tidak langsung siap," kata Syahrial, di gedung DPR, Selasa (10/4/2018).
Melihat kuota atas premium yang ditetapkan Pemerintah dibanding tahun lalu, Syahrial menyebut ada penurunan dari 12,5 juta KL menjadi 7,5 juta KL. "Ini menunjukan konsumsi [premium] turun. Konsumsi turun itu sifatnya alamiah karena masyarakat memilih pertalite atau pertamax, produk-produk yang dari sisi kinerja atau performa lebih ramah lingkungan," jelasnya.
Direktur Pemasaran Ritel dan Korporat Pertamina M. Iskandar menyebut pada kuartal pertama, konsumsi premium masih lebih rendah dibanding jenis BBM lain.
"Porsi Premium itu tinggal 27% di seluruh Indonesia pada kuartal pertama, pertalite sekitar 50% sekian. Sisanya pertamax dan pertamax turbo," terang Iskandar.
Pertamina pun mengaku rugi hingga Rp 5,5 triliun pada Januari-Februari lalu. Jumlah itu merupakan total kerugian karena distribusi premium dan solar bersubsidi.
"Kerugian karena distribusi premium dan solar subsidi sudah mencapai Rp 5,5 triliun, angka Rp 3,9 triliun (yang pernah disampaikan Pertamina sebelumnya) adalah nilai rugi bersih," kata M. Iskandar.
Iskandar merinci, angka Rp 3,9 triliun yang pernah disebut sebelumnya merupakan penghitungan yang telah ditutupi dengan keuntungan penjualan seperti BBM non subsidi, serta keuntungan dari lini bisnis lain perusahaan.
Bila dibandingkan dengan kondisi keuangan tahun lalu pada periode yang sama, Iskandar menyebut perbedaannya jauh lebih besar tahun ini. "Kerugiannya lebih besar hampir dua kali lipat di awal tahun ini," kata dia.
Direktur Pertamina Elia Massa Manik menambahkan Pertamina mengaku serba salah dalam urusan memproduksi bahan bakar minyak (BBM). Di satu sisi pemerintah meminta BUMN ini mulai produksi bensin berstandar Euro IV, tapi di sisi lain juga diminta mencukupi kebutuhan bensin RON 88 alias premium.
"Ini membingungkan karena dari Kementerian Lingkungan Hidup sudah minta Euro IV, tapi bensin premium masih RON 88," ujar Direktur Pertamina Elia Massa Manik dalam paparannya di Komisi VII DPR RI, Senin (19/3/2018). (roy/roy)
Corporate Secretary Pertamina Syahrial Mukhtar memaparkan ketika terjadi penurunan atas premium, Pertamina pun harus mengganti kembali infrastruktur di SPBU agar kompatibel dengan jenis pertalite. "Oleh sebab itu, ketika ada peralihan pengguna pertalite ke premium karena gap harga yang melebar, SPBU tidak langsung siap," kata Syahrial, di gedung DPR, Selasa (10/4/2018).
"Porsi Premium itu tinggal 27% di seluruh Indonesia pada kuartal pertama, pertalite sekitar 50% sekian. Sisanya pertamax dan pertamax turbo," terang Iskandar.
Pertamina pun mengaku rugi hingga Rp 5,5 triliun pada Januari-Februari lalu. Jumlah itu merupakan total kerugian karena distribusi premium dan solar bersubsidi.
"Kerugian karena distribusi premium dan solar subsidi sudah mencapai Rp 5,5 triliun, angka Rp 3,9 triliun (yang pernah disampaikan Pertamina sebelumnya) adalah nilai rugi bersih," kata M. Iskandar.
Iskandar merinci, angka Rp 3,9 triliun yang pernah disebut sebelumnya merupakan penghitungan yang telah ditutupi dengan keuntungan penjualan seperti BBM non subsidi, serta keuntungan dari lini bisnis lain perusahaan.
Bila dibandingkan dengan kondisi keuangan tahun lalu pada periode yang sama, Iskandar menyebut perbedaannya jauh lebih besar tahun ini. "Kerugiannya lebih besar hampir dua kali lipat di awal tahun ini," kata dia.
Direktur Pertamina Elia Massa Manik menambahkan Pertamina mengaku serba salah dalam urusan memproduksi bahan bakar minyak (BBM). Di satu sisi pemerintah meminta BUMN ini mulai produksi bensin berstandar Euro IV, tapi di sisi lain juga diminta mencukupi kebutuhan bensin RON 88 alias premium.
"Ini membingungkan karena dari Kementerian Lingkungan Hidup sudah minta Euro IV, tapi bensin premium masih RON 88," ujar Direktur Pertamina Elia Massa Manik dalam paparannya di Komisi VII DPR RI, Senin (19/3/2018). (roy/roy)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular