
JLL Masih Perkirakan Sektor Properti RI Tetap Kinclong
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 February 2018 16:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) baru saja merilis Survei Harga Properti Residensial. Hasil kajian BI menyebutkan bahwa sektor properti Tanah Air masih tumbuh.
Mengutip data Survei Harga Properti Residensial yang dirilis Bank Indonesia (BI), Jumat (9/2/2018), indeks harga properti pada kuartal IV-2017 tercatat 201,36. Naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 200,26 dan periode yang sama pada 2016 yaitu 194,54.
Pada kuartal I-2018, indeks properti diperkirakan naik lagi menjadi 201,36. Kenaikan harga bahan bangunan dan upah pekerja masih menjadi penyebab kenaikan harga properti.
Kajian BI sejalan dengan lembaga konsultan properti asal Inggris, JLL. Dalam Southeast Asia 2018 Report, JLL menilai pasar properti Indonesia pada tahun ini masih akan tumbuh baik.
“Kami memperkirakan seiring dengan pembangunan infrastruktur maka akan mendukung penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Di beberapa kota, pembangunan infrastruktur transportasi akan mulai menuai hasil,” sebut riset JLL.
Di Jakarta dan sekitarnya tengah berlangsung pembangunan infrastruktur transportasi yaitu Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Sejumlah proyek properti pun ditawarkan dengan MRT atau LRT sebagai nilai jual.
JLL juga menyebut pasokan ruang perkantoran di Jakarta berlebih akan membuka peluang usaha penyewaan. Pada 2017, pasokan ruang perkantoran mencapai 600.000 meter persegi. Namun dalam rentang 2018-2022, pasokan akan berkurang ke rata-rata 270.000 meter persegi per tahun.
Suku bunga juga akan mendukung perkembangan sektor properti nasional tahun ini. JLL memperkirakan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) masih akan cenderung netral-akomodatif pada 2018 meski masih ada potensi inflasi. Akibatnya suku bunga kredit properti masih bisa turun dan diharapkan menjadi energi untuk mendorong permintaan.
BI mempertahankan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 4,5% sejak Oktober 2017. Sejak BI 7 days reverse repo rate diperkenalkan pada Agustus 2016, pergerakannya cenderung turun.
Selain itu, kebijakan makroprudensial BI terkait uang muka kredit properti bisa menjadi pendorong pertumbuhan sektor ini. Pada Agustus 2016, BI mengubah ketentuan mengenai loan to value (LTV) atau rasio uang muka kredit perumahan. Awalnya, uang muka yang harus dibayar konsumen untuk rumah pertama adalah 20% namun kemudian diturunkan menjadi 15%.
“Bank sentral juga mengubah ketentuan rasio pendanaan yang bisa meningkatkan kredit,” tulis riset JLL.
BI menerbitkan aturan mengenai Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Intinya surat berharga yang dimiliki dan diterbitkan bank dihitung sebagai bagian dari fungsi intermediasi.
Pemerintah, lajut riset JLL, juga suportif terhadap pengembangan sektor properti. Melalui Paket Ekonomi XI, pemerintah menerbitkan aturan insentif untuk Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau yang dikenal dengan sebutan Real Estate Investment Trust (REITs).
Dalam paket tersebut, pemerintah memotong tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu hingga 0,5% bagi perusahaan yang menerbitkan DIRE. Selain itu tarif Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) diturunkan dari maksimum 5% menjadi 1% bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.
Oleh karena itu, JLL memperkirakan sektor properti Indonesia masih akan diminati oleh investor asing. “Malaysia, Indonesia, dan Vietnam masih akan menjadi tiga besar tujuan investasi dari luar. Para investor yang tertarik seperti dari Jepang, Korea Selatan, dan China,” tulis riset JLL.
(dru) Next Article Naiknya Bunga KPR Jadi Biang Kerok Penjualan Properti Loyo
Mengutip data Survei Harga Properti Residensial yang dirilis Bank Indonesia (BI), Jumat (9/2/2018), indeks harga properti pada kuartal IV-2017 tercatat 201,36. Naik dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 200,26 dan periode yang sama pada 2016 yaitu 194,54.
Pada kuartal I-2018, indeks properti diperkirakan naik lagi menjadi 201,36. Kenaikan harga bahan bangunan dan upah pekerja masih menjadi penyebab kenaikan harga properti.
Kajian BI sejalan dengan lembaga konsultan properti asal Inggris, JLL. Dalam Southeast Asia 2018 Report, JLL menilai pasar properti Indonesia pada tahun ini masih akan tumbuh baik.
“Kami memperkirakan seiring dengan pembangunan infrastruktur maka akan mendukung penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Di beberapa kota, pembangunan infrastruktur transportasi akan mulai menuai hasil,” sebut riset JLL.
Di Jakarta dan sekitarnya tengah berlangsung pembangunan infrastruktur transportasi yaitu Mass Rapid Transit (MRT) dan Light Rail Transit (LRT). Sejumlah proyek properti pun ditawarkan dengan MRT atau LRT sebagai nilai jual.
JLL juga menyebut pasokan ruang perkantoran di Jakarta berlebih akan membuka peluang usaha penyewaan. Pada 2017, pasokan ruang perkantoran mencapai 600.000 meter persegi. Namun dalam rentang 2018-2022, pasokan akan berkurang ke rata-rata 270.000 meter persegi per tahun.
Suku bunga juga akan mendukung perkembangan sektor properti nasional tahun ini. JLL memperkirakan kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) masih akan cenderung netral-akomodatif pada 2018 meski masih ada potensi inflasi. Akibatnya suku bunga kredit properti masih bisa turun dan diharapkan menjadi energi untuk mendorong permintaan.
BI mempertahankan suku bunga acuan BI 7 days reverse repo rate sebesar 4,5% sejak Oktober 2017. Sejak BI 7 days reverse repo rate diperkenalkan pada Agustus 2016, pergerakannya cenderung turun.
Selain itu, kebijakan makroprudensial BI terkait uang muka kredit properti bisa menjadi pendorong pertumbuhan sektor ini. Pada Agustus 2016, BI mengubah ketentuan mengenai loan to value (LTV) atau rasio uang muka kredit perumahan. Awalnya, uang muka yang harus dibayar konsumen untuk rumah pertama adalah 20% namun kemudian diturunkan menjadi 15%.
“Bank sentral juga mengubah ketentuan rasio pendanaan yang bisa meningkatkan kredit,” tulis riset JLL.
BI menerbitkan aturan mengenai Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM). Intinya surat berharga yang dimiliki dan diterbitkan bank dihitung sebagai bagian dari fungsi intermediasi.
Pemerintah, lajut riset JLL, juga suportif terhadap pengembangan sektor properti. Melalui Paket Ekonomi XI, pemerintah menerbitkan aturan insentif untuk Dana Investasi Real Estate (DIRE) atau yang dikenal dengan sebutan Real Estate Investment Trust (REITs).
Dalam paket tersebut, pemerintah memotong tarif Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Dari Pengalihan Real Estat Dalam Skema Kontrak Investasi Kolektif Tertentu hingga 0,5% bagi perusahaan yang menerbitkan DIRE. Selain itu tarif Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) diturunkan dari maksimum 5% menjadi 1% bagi tanah dan bangunan yang menjadi aset DIRE.
Oleh karena itu, JLL memperkirakan sektor properti Indonesia masih akan diminati oleh investor asing. “Malaysia, Indonesia, dan Vietnam masih akan menjadi tiga besar tujuan investasi dari luar. Para investor yang tertarik seperti dari Jepang, Korea Selatan, dan China,” tulis riset JLL.
(dru) Next Article Naiknya Bunga KPR Jadi Biang Kerok Penjualan Properti Loyo
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular