Jakarta, CNBC Indonesia - Banyak yang merasakan gurihnya investasi Bitcoin, salah satunya Tesla. Produsen mobil listrik milik Elon Musk-yang sering melakukan "pompom" mata uang kripto lewat akun twitter, berjanji menjadikan Bitcoin sebagai investasi jangka panjang.
Tesla, perusahaan yang tercatat di bursa New York, melaporkan kinerja yang kuat pada kuartal I-2021 dengan laba bersih US$ 438 juta (Rp 6,4 triliun). Namun siapa menduga, seperempat dari itu didapatkan dari aktivitas jual-beli Bitcoin.
Ini merupakan kejutan, karena biasanya laba bersih Tesla diraih berkat penjualan mobil dan 'kredit karbon.' Kejutan lainnya adalah Elon Musk selama ini dikenal sebagai aktivis mata uang kripto lewat cuitan-cuitannya di Twitter yang terbukti ampuh mendongkrak harga kripto di pasar.
Tesla melaporkan capaian penjualan mobil listrik sebanyak 184.000 di seluruh dunia pada kuartal I-2021, atau melampaui estimasi pasar dalam polling Revinitif sebanyak 177.822 unit. Angka itu juga lebih baik dari capaian kuartal IV-2021 sebesar 180.570 unit.
Pemicunya tak lain adalah penjualan model Y di China yang juga merupakan basis produksi Tesla untuk mobil jenis tersebut, di kota Shanghai. "Kami sangat senang dengan omzet yang kuat dari Model Y di China dan bergerak maju dengan cepat untuk menaikkan kapasitas produksi," tutur manajemen dalam pernyataan resminya pada 3 April kemarin.
Dari penjualan mobil saja, Tesla mencetak penjualan US$ 9 miliar, di mana US$ 518 juta (melesat 46% secara tahunan) berasal dari penjualan karbon kredit. Namun yang berbeda kali ini, ada laporan mengenai penjualan "aset digital" yang tak lain adalah Bitcoin senilai US$ 272 juta.
Harap dicatat, pada Februari Tesla mengumumkan pembelian Bitcoin senilai US$ 1,5 miliar dan mengatakan bahwa investasi di mata uang kripto tersebut bakal terus dijalankan. Usai pembelian itu, harga Bitcoin memang melesat gila-gilaan hingga menyentuh level tertinggi barunya.
 Sumber: GoldPrice.com |
Tak mau kehilangan kesempatan, perusahaan Elon Musk ini buru-buru merealisasikan keuntungan yang didapatkan. Dalam laporan keterbukaan kepada pemegang saham, perseroan melakukan penjualan "aset investasi digital" sebesar US$ 272 juta.
Langkah tersebut memicu pertanyaan dari banyak kalangan. Salah satunya adalah Dave Portnoy, pendiri Barstool Sports, sebuah perusahaan media digital dan seputar olah raga dan konten budaya pop. Portnoy juga terbuka mengakui memiliki 1 keping Bitcoin.
"Apakah pemahaman saya ini benar? Elon Musk membeli Bitcoin. Lalu mem-pompom harganya. Melambung lah itu barang. Lalu, dia buang barang dan mencetak cuan," tutur dia dalam cuitannya di Twitter, kemarin.
Cuitan Portnoy di-tweet ulang sebanyak 1.900 kali dan menangguk 2,4 juta komentar. Salah satu komentar tentu saja adalah Elon Musk, yang dalam akun Twitternya menjawab singkat, "Tidak kamu tidak memahaminya dengan benar."
Elon mengklaim dia tak melakukan aksi jual pribadi di Bitcoin, dan Tesla hanya melepas 10% kepemilikannya. Yang tak dia akui di cuitannya adalah besarnya keuntungan dari aksi jual tersebut.
Namun dalam laporan keuangan perseroan di halaman 5, perseroan mengakui bahwa penjualan Bitcoin memberikan "dampak positif" terhadap profitabilitas perseroan sebesar US$ 101 juta (setara dengan Rp 1,47 triliun).
"Elon dan saya sedang mencari tempat untuk menyimpan uang tunai," tutur Direktur Keuangan Tesla Zachary Kirkhorn dalam konferensi pers. "Bitcoin terbukti sebagai keputusan yang bagus, tempat yang bagus untuk menyimpan sebagian dari dana tunai kami yang tak dipakai dalam operasi kesehatian."
Kirkhorn menegaskan bahwa mereka puas dengan likuiditas Bitcoin, dan akan berinvestasi di sana "dalam jangka panjang." Saat ini, Tesla menjadi sedikit perusahaan besar yang menerima pembayaran dalam bentuk Bitcoin, selain PayPal.
Di luar kritikan terkait dugaan aksi 'pump and dump', aksi Tesla tersebut memicu pertanyaan seputar komitmen perseroan terhadap energi hijau dan konservasi energi, yang selama ini ditunjukkan dengan berjualan produk listrik yang dilabeli ramah lingkungan.
Dalam misi korporasinya, Tesla juga menyatakan bahwa perseroan ingin "mempercepat transisi dunia menuju energi berkelanjutan." Jargon mobil listrik sebagai mobil paling bersih juga mendorong banyak pemerintahan untuk mengembangkan produk otomotif tersebut dan mulai membuat regulasi serta infrastruktur penunjangnya.
Menurut data perusahaan riset investasi Bond Angle, Tesla telah menikmati pendapatan dari penjualan 'karbon kredit' sebesar US$ 1,6 miliar. Di Amerika Serikat (AS), memang ada peraturan pembatasan emisi karbon, di mana setiap perusahaan harus mengompensasi emisi karbon mereka dengan aktivitas penyerapan karbon, guna mencapai net zero emission.
Produsen mobil pun dipaksa melakukan aktivitas penyerapan karbon setara dengan karbon yang (secara teoritis) mereka produksi dari produknya. Jika tidak bisa, mereka bisa membayar pihak lain yang beraktivitas menyerap karbon, seperti Tesla yang produk mobilnya minim karbon.
 Sumber: Plugless Power |
Jadi, tiap unit mobil yang diproduksi Tesla bisa dijual ke dua pasar. Pertama, pasar end-user yang akan membeli mobil itu dan memakainya di jalanan; kedua, pasar karbon kredit yang berisikan perusahaan-perusahaan otomotif yang wajib membayar "aktivitas penyerapan karbon."
Berkat karbon kredit tersebut, Tesla bisa membukukan kinerja seperti sekarang dengan mencetak keuntungan dalam 4 kuartal berturut-turut, sehingga membuatnya masuk menjadi konstituen indeks S&P 500.
Adalah sebuah ironi besar jika kredit berkonsep investasi hijau tersebut, yang menambal kebutuhan dana tunai Tesla, sebagian dananya ternyata dibelanjakan Bitcoin yang dituding merusak lingkungan dalam aktivitas penambangannya.
Penambangan Bitcoin dilakukan dengan cara memecahkan serangkaian algoritma kompleks melalui komputer. Pada fase pertama saat dibuat pada 2009 lalu, tersedia 21 juta bitcoin untuk ditambang oleh seluruh orang di dunia. Penambangan cukup dilakukan dengan komputer biasa.
Dengan semakin banyak koin ditambang dan semakin sedikit yang tersisa, algoritma yang harus dipecahkan pun kian kompleks. Kini dengan 18,5 juta koin telah tertambang, komputer biasa tak lagi cukup untuk memproses algoritma tersebut. Super komputer pun diperlukan, yang cilakanya menyedot banyak listrik untuk memproses algoritma tersebut.
Center for Alternative Finances di Cambridge memperkirakan konsumsi listrik untuk Bitcoin di atas 115 terawatt per jam (Twh) atau 115 triliun watt per jam. Sebagai perbandingan, penjualan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) ke seluruh warga Indonesia, hingga kuartal III-2020, adalah sebesar 181,6 Twh.
"(Jumlah listrik untuk penambangan) secara historis lebih banyak dari (jumlah listrik yang digunakan) sebuah negara, seperti Irlandia," kata profesor ekonomi Universitas New Mexico, Benjamin Jones, dikutip The Guardian, Senin (1/3/2021).
 Sumber: Digiconomist |
Terpisah, laporan Digiconomist mengungkapkan jika penggunaan listrik untuk menambang Bitcoin di seluruh dunia mencapai 80 Twh. Sayangnya, China ternyata merupakan penambang Bitcoin terbesar di dunia, yang 60% pasokan listriknya masih berasal dari batu bara.
Transaksi Bitcoin juga jauh lebih boros dibandingkan aktivitas online lainnya. Menurut laporan Digiconomist, jejak karbon dari penambangan sekeping Bitcoin membuang karbon yang sama dengan 680.000 transaksi Visa dan menonton Youtube selama 51.210 jam.
Itulah harga yang harus dibayar untuk mendapatkan tiap keping Bitcoin. Dan karenanya, jangan heran jika harga Bitcoin kini melonjak, karena kian besarnya ongkos untuk menambang, di samping tingginya spekulasi bahwa mata uang kripto ini bakal digunakan untuk bertransaksi dalam kehidupan keseharian-sesuatu yang sejauh ini masih utopis karena 90% negara di dunia melarangnya.
Mereka yang menikmati cuan terbesar tentu saja yang sudah masuk lebih dahulu sebelum rekor harga tertinggi dicapai pada Maret kemarin di level US$ 63.000 per keping. Salah satunya adalah Elon, yang sudah sejak lama hobi "pompom" mata uang kripto.
TIM RISET CNBC INDONESIA