Jakarta, CNBC Indonesia - Mata uang kripto kian disorot setelah berlomba menyentuh rekor harga tertinggi baru, meski peringatan seputar risiko gelembung (bubble) mengemuka. Di luar risiko bubble, ada risiko yang lebih besar bagi aset kripto, yakni bank sentral.
Volatilitas menjadi karakteristik aset kripto. Bitcoin, mata uang kripto terpopuler, membuat banyak orang tercengang setelah menyentuh rekor tertingginya di kisaran US$ 64.000/keping pada 14 April lalu, nilai itu setara Rp 915 juta (kurs Rp 14.300/US$). Namun kini harganya telah anjlok sekitar 40% ke level US$ 38.000-an.
Hal serupa juga dialami mata uang kripto terpopuler kedua, yakni Ethereum, yang harganya kini terkoreksi di kisaran US$ 2.750-an per keping, atau nyaris 40% dari harga tertinggi yang diraihnya pada 11 Mei sebesar US$ 4.384/keping.
 Sumber: Refinitiv |
Koreksi terjadi setelah pendiri Ethereum, yakni Vitalik Buterin-seorang programmer berusia 27 tahun-menyinggung risiko terbentuknya gelembung (bubble) di mata uang kripto, meski tidak diketahui pasti kapan ia akan meletus.
"Mungkin sudah usai.. mungkin akan usai berbulan-bulan setelah ini. Kita telah memiliki setidaknya tiga bubble besar di mata uang kripto dan seringkali penyebab terhentinya bubble itu adalah adanya beberapa kejadian," tuturnya kepada CNN Business pada Kamis (20/5/2021).
Dia tidak mengelaborasi kapan saja tiga peluang bubble itu muncul-tetapi batal-dan kejadian apa yang membuat bubble tersebut tidak jadi pecah. Namun umumnya, bubble terbentuk ketika harga sebuah aset naik drastis secara cepat, hingga melewati nilai fundamentalnya.
Reli yang terjadi tanpa basis fundamental tersebut pada ujungnya menjadi kenaikan harga yang mengawang-awang, di mana aksi jual-beli terjadi karena pembeli serakah yang masuk hanya karena takut ketinggalan kereta (fear of missing out/FOMO).
Dalam titik ini, yang berlaku adalah Teori Si Pandir Lebih Bodoh, atau Greater Fool Theory, di mana kenaikan harga aset, yang melampaui valuasi dan nilai fundamentalnya, terus terjadi dan berlanjut semata-mata karena pembeli yang masuk belakangan tak tahu kondisi fundamental sebenarnya dari aset tersebut.
H. Minsky dalam buku berjudul Stabilizing An Unstable Economy (1986) menyebutkan ada lima fase pembentukan bubble di pasar: kemunculan di permukaan (displacement), boom (ledakan permintaan), eforia, aksi ambil untung (profit taking), dan kepanikan (panic selling).
Jika mengikuti pola tersebut, maka Bitcoin dan Ethereum sudah terbilang memasuki eforia, yang kemudian diikuti aksi ambil untung-seperti yang telah dilakukan Tesla (Elon Musk) dengan-cuan US$ 272 juta baru-baru ini. Namun, aksi jual karena kepanikan tidak pernah, atau tepatnya belum pernah, terjadi.
NEXT: Kelemahan yang Jadi Kelebihan
Tak seperti emas dan mata uang kertas , yang pola pergerakannya terukur dan sangat dipengaruhi aspek fundamental ekonomi makro sebuah negara, dan perubahan konstalasi perekonomian dunia, mata uang kripto terlepas dari itu semua.
Kenaikan inflasi yang mempengaruhi harga obligasi tak berefek pada harga Bitcoin dkk. Demikian juga kebijakan suku bunga yang memengaruhi deposito dan kontraksi ekonomi yang menekan harga saham. Mata uang kripto memiliki dunia sendiri, yang terlepas dari indikator ekonomi.
Ini menjadi kelebihan aset kripto, yang sekaligus menghambatnya untuk menjadi kelas aset yang setara dengan saham, forex, atau emas. Ketiadaan korelasi harga dengan fundamental ekonomi dan industri di sektor riil membuatnya tak memiliki basis valuasi.
Beberapa kalangan mengklaim bahwa aspek fundamental mata uang kripto terletak pada: teknologi, figur pengembang, ekosistem dan kapitalisasi pasar. Kapitalisasi pasar jelas bukan aspek fundamental dari aset investasi. Ia bukanlah variabel pengubah nilai portofolio, melainkan variabel ikutan (dependen). Jika harga aset naik, maka kapitalisasi ikut naik. Bukan sebaliknya!
Selama ini, pencinta dan praktisi mata uang kripto mengacu pada tiga hal pertama ketika berbicara aspek 'fundamental' aset kripto. Kesemuanya terangkum dalam white paper, semacam prospektus proyek mata uang kripto yang berisi misi, sosok pengembang, gambaran teknologi yang dipakai dan ekosistem yang akan dibangun ke depan. Intinya: rencana kerja dan janji.
 Foto: White Paper Ethereum (Sumber: Ethereum) |
Jika ada aset yang dibangun berdasarkan rencana dan janji tanpa pendapatan riil (earning) tetapi tetap dibeli oleh investor, maka sang pembeli layak disebut sebagai spekulan: membeli aset masa depan, dengan harga sekarang, meski tak ada nilai intrinsik dan belum ada keuntungan yang riil. Apakah ini salah? Tentu tidak. Ia tak melanggar hukum.
Namun itu jelas sebuah keputusan investasi yang sangat riskan, dan tak bisa disebut berbasis data fundamental. Ibaratnya, orang tak peduli rupiah dicetak dengan teknologi apa, karena yang mempengaruhi kursnya adalah faktor ekonomi (inflasi, neraca pembayaran, stabilitas politik Indonesia, dlsb)-yang membuat nilai tukarnya bisa kalah/menang dibanding mata uang lain. Aspek fundamentalnya tak terletak pada bagaimana dia diciptakan, melainkan pada bagaimana dia dipakai atau berperan dalam perekonomian.
Lalu adakah indikator untuk mengukur mahal-murahnya harga Bitcoin sekarang? Jawabannya: tidak. Ia tak memiliki basis pendapatan, berbeda dari saham yang memiliki valuasi berbasis profitabilitas seperti rasio harga terhadap laba per saham (price to earning/PE ratio), pengembalian ekuitas (return on equity/ROE) dan pengembalian aset (Return on Asset/ROA).
Jika dianalogikan seperti forex, maka mata uang kripto tak memiliki peer perbandingan laiknya rupiah versus dollar Amerika Serikat (AS) yang perubahan nilai tukarnya dipengaruhi komparasi kondisi fundamental ekonomi dan perbandingan kebijakan mereka. Perbandingan tersebut menciptakan dorongan bagi investor untuk memegangnya sebagai alat tukar atau melepasnya.
NEXT: Spekulatif Gaes
Maka, posisi yang paling tepat bagi kripto adalah komoditas. Tak kurang dan tak lebih. Itulah mengapai ia dibawahi Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komoditi (Bappepti), Kementerian Perdagangan. Bukan Bank Indonesia (BI) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Dalam komoditas, penentu pergerakan harganya adalah dinamika pasokan dan permintaan. Dari sisi suplai, kripto mirip dengan komoditas karena ada aspek kelangkaan. Ia didesain dengan jumlah yang terbatas. Bitcoin hanya tersedia 21 juta keping dan memiliki mekanisme halving (memangkas reward bagi penambang menjadi separuhnya).
Namun, PR-nya ada di sisi permintaan dalam kehidupan nyata. Berbeda dari komoditas riil (minyak mentah, batu bara, sawit, dll) yang permintaannya naik-turun mengikuti dinamika ekonomi, permintaan Bitcoin dkk belum ada di dunia nyata dan baru "dipersepsikan" akan ada. Mereka bermimpi mata uang kripto akan dipakai orang sedunia bertransaksi sehari-hari.
Tak ada istilah lain yang lebih tepat untuk mendefinisikan kondisi ini, selain: spekulasi. Inilah ketimpangan mata uang kripto. Suplai diciptakan, tapi permintaannya belum ada dan lagi-lagi "diciptakan" alias didasarkan pada spekulasi bahwa kelak bank sentral dan pelaku industri sedunia akan mengizinkan mata uang ini dipakai dalam transaksi digital dan bahkan transaksi sehari-hari.
Spekulasi itulah yang mendorong investor memegang aset kripto: berjaga-jaga jika nanti benar-benar dipakai secara luas. Jika belum, ya setidaknya dipakai oleh beberapa perusahaan promotor kripto. Maka, setiap ada berita tentang satu perusahaan menerima pembayaran berbasis mata uang kripto atau melayani trading kripto, harga Bitcoin dkk pun naik.
Apakah kenaikan harga tanpa nilai fundamental itu memicu bubble? Menurut kami, tidak.
Jika bubble dipahami sebagai kenaikan harga yang begitu tinggi melampaui fundamentalnya, maka kita tak bisa memvonis sesuatu yang tak memiliki nilai fundamental, seperti aset kripto, sedang di fase bubble. Ketika tidak ada acuan harga wajar, maka ketidakwajaran harga yang terjadi setiap hari pun menjadi "wajar".
Mengutip Maarten Van Oordt dalam riset berjudul "On the Value of Virtual Currencies" yang diterbitkan dalam Journal of Money, Credit, and Banking (2019), Bitcoin cenderung berlaku sebagai "investasi dengan tingkat spekulasi tinggi, ketimbang sebagai mata uang."
Secara nature, mata uang kripto adalah aset untuk berspekulasi. Tak ada valuasi yang bisa dipakai untuk mengukur apakah harga sekarang kemahalan, atau masih murah. Hingga kini belum ada formula baku yang disepakati, bahkan di komunitas kripto sekalipun mengenai itu.
Seorang anonim di Twitter bernama PlanB menyodorkan analisis stock-to-flow (STF), tapi ia-mengutip Profesor Stanfor University Paul Pleifderer-memakai metode bunglon karena berbasis asumsi sumir yang dikekalkan. Vitalik Buterin pun mempertanyakan validitasnya terkait fenomena halving dan efeknya terhadap naik-turunnya harga mata uang kripto.
Lagi-lagi, kelemahan aset kripto soal "nilai fundamental" ini menjadi keunggulannya, terutama jika berbicara tentang bubble. Ketika harga sudah dirasa terlalu tinggi oleh pelaku pasar, maka ia akan langsung anjlok tanpa ada konfirmasi pecah bubble atau tidak, dengan tanpa meninggalkan ruh spekulasi yang menempel di tiap aset kripto ini.
Ruh itu menjadikannya kembali diburu oleh mereka yang percaya bahwa mata uang digital ini kelak bakal dipakai secara luas. Ia pun membal seperti bola, dan bukannya pecah seperti gelembung. Bagi investor yang gemar trading berbekal spekulasi, situasi pasar yang seperti ini adalah surga.
Kecuali, bank sentral sedunia telah kompak menciptakan Central Bank Digital Currency (CBDC) dan menyatakan bahwa hanya CBDC yang berlaku di dunia virtual. Bukan Bitcoin, dkk. Jika itu yang terjadi, maka mata uang kripto tak hanya menghadapi bubble, melainkan kiamat.
TIM RISET CNBC INDONESIA