
Mau Cuan Gede dari Investasi? SImak Rekomendasi JP Morgan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2021 digadang-gadang akan menjadi momentum pemulihan ekonomi global pasca krisis akibat pandemi Covid-19. Mumpung masih awal tahun, masih ada waktu untuk mengatur strategi investasi yang tepat agar bisa mendulang cuan.
Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi global tahun ini berada di angka 4,4%. Adanya fenomena low based effect dan dimulainya program vaksinasi Covid-19 secara masal membuat optimisme kebangkitan ekonomi meningkat.
Geliat ekonomi juga masih akan didukung dengan kebijakan makroekonomi yang akomodatif. Kebijakan fiskal ekspansif dan moneter longgar masih akan ditempuh oleh pemerintah dan bank sentral di seluruh dunia.
Agar investasi bisa memberikan keuntungan yang maksimal maka pengetahuan terhadap kondisi dan siklus ekonomi yang komprehensif dibutuhkan, terutama untuk meramu strategi penempatan alokasi aset yang ingin diinvestasikan.
Dalam laporan terbarunya yang bertajuk Outlook 2021 The Global Economy Will Heal Embrace Optimism, bank investasi asal Wall Street JP Morgan memberikan sejumlah rekomendasi untuk berinvestasi.
JP Morgan menyebut bahwa tren kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) akan meningkat di tahun 2021 didukung oleh bauran kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung. Untuk itu, investor perlu memilih aset-aset yang mampu memberikan kinerja baik saat inflasi terjadi.
Inflasi di AS diramal bakal mengalami kenaikan secara moderat dalam periode 12-18 bulan mendatang tetapi masih di bawah target The Fed 2%. Sementara itu di Eropa inflasi diramal bakal berada di kisaran 1%.
Investor tidak direkomendasikan untuk memegang uang tunai (cash) dan disarankan untuk mengalokasikan dananya ke aset-aset riil seperti saham, properti, infrastruktur hingga komoditas.
Saham-saham di AS memang mengalami kenaikan tinggi belakangan ini. Indeks S&P 500 bahkan sempat menyentuh level tertingginya di sepanjang sejarah (all time high) ketika perekonomian Paman Sam belum pulih.
Saham-saham teknologi di AS masih menjadi primadona pelaku pasar. Namun kenaikan yang sudah sangat tinggi pada saham-saham di sektor ini membuat banyak pihak mulai mewaspadai valuasi yang terbilang ketinggian.
Apabila menggunakan metrik valuasi konvensional seperti Price to Earning (PER), Price to Cash Flow (PCF) hingga nilai perusahaan atau Enterprise Value terhadap penjualan (EV/Sales) maka saham-saham di AS yang tercermin dalam indeks S&P 500 sudah ditransaksikan di level premium alias mahal.
Menggunakan indikator valuasi yang dikembangkan oleh peraih nobel ekonomi 2013 Robert J Shiller yakni Cyclically Adjusted Price to Earning (CAPE) Ratio, S&P 500 sudah ditransaksikan di lebih dari 30x valuation multiple-nya, tertinggi sejak dotcom bubble terjadi tahun 2000 silam.
Pasar saham memang berada di tengah euforia. Namun valuasi yang terbilang ketinggian tersebut tidak selalu mengindikasikan bahwa pasar akan berbalik arah dan terkoreksi tajam dalam waktu singkat.
Menurut JP Morgan, valuasi saham yang premium memiliki justifikasi jika investor melihat imbal hasil di aset lainnya, terutama obligasi. Ketika berinvestasi di aset yang bersifat utang atau pendapatan tetap investor akan cenderung melihat imbal hasilnya (yield).
Yield ini tercermin dari harga yang harus dibayar oleh investor untuk mendapatkan surat utang tersebut relatif terhadap kupon yang diberikan dalam periode tertentu. Misal pemerintah atau perusahaan menerbitkan obligasi senilai Rp 1 triliun dan memberikan kupon 7,5% per tahun maka yield-nya sama dengan kupon.
Namun karena harga obligasi juga berfluktuasi lantaran ditransaksikan di pasar investor dapat memperoleh yield lebih tinggi maupun lebih rendah.
Namun dengan kebijakan bank sentral yang terus berupaya untuk menurunkan biaya pinjaman (cost of borrowing) dengan mengintervensi pasar lewat program pembelian aset-aset terutama obligasi pemerintah yield adalah suatu hal yang langka.
Dalam beberapa kasus, yield bisa jatuh ke teritori negatif ketika inflasi lebih tinggi dari imbal hasil yang diberikan (real yield). Fenomena yield negatif sangat mudah dijumpai saat pandemi Covid-19.
Bayangkan saja, menurut indeks yang dibuat oleh Bloomberg dan Barclays total surat utang dengan imbal hasil negatif secara global sudah mencapai US$ 18,04 triliun pada 11 Desember lalu.
Kemudian apabila menggunakan metrik imbal hasil dividen saham secara global terhadap imbal hasil hingga jatuh tempo agregat obligasi global pun masih di zona positif dengan valuasi yang sudah terbilang kemahalan ini.
Apabila melihat fenomena tersebut, artinya memegang aset berupa saham masih memberikan cuan yang menarik ketimbang aset lain seperti surat utang.
Tren pelemahan dolar AS juga diperkirakan berlanjut, sehingga JP Morgan menyarankan investor untuk mendiversifikasi eksposurnya ke mata uang lain untuk mendapatkan keuntungan.
Maklum The Fed memang agresif untuk menginjeksi likuiditas di sistem keuangan melalui program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan. Hal ini berakibat pada menggembungnya neraca (balance sheet) The Fed. Hanya dalam kurun waktu kurang dari 12 bulan neraca The Fed meningkat US$ 3 triliun.