Investasi RI yang Masih Jauh Tertinggal dari Negara Tetangga

Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
01 May 2018 07:13
Realisasi investasi pada kuartal I-2018 mencapai Rp 185,3 triliun atau meningkat 11,8%, tapi masih jauh tertinggal.
Foto: REUTERS/Darren Whiteside
Jakarta, CNBC Indonesia - Realisasi investasi pada kuartal I-2018 mencapai Rp 185,3 triliun atau meningkat 11,8% dibanding periode yang sama tahun lalu. Jumlah tersebut merupakan 24% dari total investasi sepanjang tahun ini sebesar Rp 765 triliun.

Selama kuartal I-2018, realisasi Penanaman Modal Dalam Negeri mencapai Rp 76,4 triliun atau naik 11% dibanding tahun lalu. Sementara itu untuk Penanaman Modal Asing (PMA) mencapai Rp 108,9 triliun, naik 12,4% dari periode sama tahun lalu.

"Realisasi investasi PMDN dan PMA berdasarkan sektor usaha paling besar adalah Perumahan, Kawasan Industri dan Perkantoran sebesar Rp 27,6 triliun atau 19,4% dari total," kata Kepala BKPM Thomas Lembong di Gedung BKPM, Senin (30/4/2018).

Selanjutnya, realisasi investasi tertinggi terjadi di sektor Industri Logam, Mesin, dan Elektronik sebesar Rp 22,7 triliun (12,3%), Listrik, Gas, dan Air Rp 19,3 triliun (10,4%), Tanaman Pangan dan Perkebunan Rp 17,9 triliun (9,6%), serta Transportasi, Gudang, dan Telekomunikasi sebesar Rp 14,7 triliun (7,9%).

Lebih rinci, realisasi PMDN paling tinggi dilakukan dalam bidang usaha konstruksi, yaitu Rp 13 triliun atas 157 proyek. Selanjutnya, disusul Tanaman Pangan dan Perkebunan sebesar Rp 10,3 triliun, Transportasi, Gudang, dan Telekomunikasi Rp 10,2 triliun, Industri Makanan Rp 9,5 triliun, lalu Listrik, Gas, dan Air sebesar Rp 7,7 triliun.

Sementara itu, untuk realisasi PMA paling tinggi ada di bidang usaha Perumahan, Kawasan Industri, dan Perkantoran sebesar US$ 1,8 miliar, Industri Logam Dasar, Barang Logam, Mesin, dan Elektronik US$ 1,45 miliar, Industri Listrik, Gas, dan Air US$ 859,6 miliar, Pertambangan US$ 640,5, dan Tanaman Pangan dan Perkebunan US$ 558,4 miliar.

Untuk investasi PMA atau Foreign Direct Investment (FID), investasi paling tinggi datang dari Singapura yang mencapai US$ 2,6 miliar atau 32,6% dari total. Selanjutnya disusul oleh Jepang (US$ 1,4 miliar atau 16,7%), Korea Selatan (US$ 0,9 miliar atau 11,6%), China (US$ 0,7 miliar atau 8,3%), dan Hongkong (US$ 0,5 miliar atau 6,3%).

Sebaran lokasi proyek itu paling tinggi dilakukan di wilayah Jawa Barat (US$ 2,3 miliar, DKI Jakarta (US$ 1,5 miliar), Banten (US$ 0,9 miliar), Riau (US$ 0,5 miliar), serta Jawa Tengah (US$ 0,4 miliar).

Dari segi regional, investasi PMA di Pulau Jawa merupakan yang paling tinggi mencapai US$ 5,3 miliar, disusul Sumatera US$ 1,3 miliar, Sulawesi US$ 497 juta, Maluku dan Papua US$ 413,8 juta, Kalimantan US$ 323,6 juta, dan US$ Bali-Nusa Tenggara sebesar US$ 261,6 juta.

Dalam kesempatan itu, Thomas mengingatkan bagaimana investasi di dalam negeri harus mendapat perhatian. Sebab, Indonesia sudah tertinggal bila dibandingkan beberapa negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand.

Menurut Thomas, ketertinggalan itu harus dijadikan tantangan tersendiri oleh Indonesia. Di sisi lain, mengejar ketertinggalan pun dia nilai lebih mudah dibanding telah berada di depan.

"Mengejar ketertinggalan itu paling gampang, tinggal contek, Vietnam lebih sukses tinggal tiru. Justru lebih sulit kalau kita udah di depan, karena satu-satunya cara genjot lagi adalah mengeluarkan ide baru," tutur Thomas.

Dengan melihat Vietnam, Thomas mencontohkan Indonesia bisa meniru bagaimana negara itu lebih membuka diri dan bisa membuat investor nyaman dalam menjalankan bisnis. Indonesia, kata dia tertinggal dengan Vietnam salah satunya dalam bentuk bagaimana negara itu telah memiliki perjanjian perdagangan dengan Uni Eropa.

Pemerintah dalam hal ini harus dapat bergerak cepat mewujudkan kemudahan berinevstasi lebih baik lagi. Walau begitu, Thomas mengaku kebijakan yang berlaku akhir-akhir ini sebagai cara positif Pemerintah serius membuat iklim investasi menjadi lebih baik.

Dua hal yang dia pandang positif adalah penerapan One Single Submission (OSS) untuk perizinan dan revisi Daftar Negatif Investasi. "Namun, jangan sampai investor mikir ini setengah hati atau tanggung, jadi kami harap ada reformasi yang signifikan di sektor investasi," tutur Thomas.

Lebih lanjut, Thomas menyampaikan keadaan atas pelaporan Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) yang masih minim dari sektor industri e-commerce.

Melihat hal itu, Thomas mengimbau pada pelaku industri ini, yang didominasi oleh anak muda, untuk bisa segera melakukan pelaporan agar Pemerintah dapat melihat dengan pasti bagaimana pertumbuhan di sektor e-commerce.

Walau begitu, dia menilai pendekatan yang dilakukan terhadap pelaku industri tersebut harus dilakukan dengan pendekatan yang halus. Hal itu, kata Thomas, menjadi cara berbagai negara yang mengalami hal serupa.

"Hampir semua negara, guna mengawal dan melestarikan sektor e-commerce yang, memberi sentuhan ringan. Jangan dihantam dengan sentuhan yang berat, harus disikapi dengan penuh pengertian dan toleransi tinggi," kata Thomas.

Thomas menyampaikan adalah hal yang penting untuk Pemerintah menghadirkan regulasi yang memiliki kejelasan dan dapat diterima oleh para pelaku industri e-commerce. Sebab, arus dana investasi yang masuk ke sektor ini dinilai cukup tinggi.

Pemerintah harus dapat memposisikan diri untuk tidak menjadi 'pengancam' keberlanjutan tren perkembangan industri tersebut. "Jangan sampai mereka merasa dianiaya atau diperlakukan buruk, lalu pindah ke Malaysia atau Thailand," ujar Thomas.
(dru) Next Article Cek! Cara Mudah Ketahui Kapan Investasi Kamu Cuan 100%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular