Newsletter

Pekan Genting! Pasar RI Bakal Dibuat Cemas China, AS & Jepang

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
31 July 2023 06:00
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas terkoreksi pada pekan lalu
  • Wall Street bergairah pekan lalu, meski sempat terkoreksi.
  • Pasar akan memantau dampak dari kebijakan dari devisa hasil ekspor (DHE), terutama bagi rupiah, meski pengetatannya mulai berlaku Selasa besok.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia pada pekan lalu mencatatkan kinerja yang cenderung beragam, di mana Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau cerah, namun untuk rupiah terpantau melemah dan Surat Berharga Negara (SBN) terpantau dilepas oleh investor.

Pasar keuangan Indonesia akan mengakhiri perdagangan selama Juli pada hari ini. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen penggerak pasar hari ini akan dibahas pada halaman 3 artikel ini,

Sepanjang pekan lalu, IHSG menguat 0,28% secara point-to-point (ptp). Dengan ini, maka IHSG sudah menghijau selama lima pekan beruntun.

Dalam lima hari perdagangan pada pekan lalu, IHSG hanya sekali mencatatkan koreksi. Namun, kinerja IHSG pada pekan lalu cenderung tidak sebaik dengan pekan sebelumnya, di mana IHSG dalam lima hari beruntun menguat tanpa terkoreksi sekalipun.

Sedangkan pada perdagangan Jumat akhir pekan lalu, IHSG ditutup naik tipis 0,05% ke posisi 6.900,23. Pada pekan lalu, IHSG bergerak di zona psikologis 6.890 - 6.940.

Data pasar menunjukkan investor asing tercatat melakukan aksi beli bersih (net buy)mencapai Rp 997,42 miliar di seluruh pasar sepanjang pekan lalu.

Sedangkan untuk rupiah, sepanjang pekan lalu melemah 0,47% di hadapan dolar Amerika Serikat (AS) secara point-to-point (ptp). Dengan demikian, rupiah sudah melemah dalam dua pekan beruntun.
Pada perdagangan akhir pekan lalu, mata uang Garuda ditutup juga melemah 0,63% di level Rp 15.090/US$.

Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun berada di level 6,274% per akhir pekan lalu, naik 3 basis poin (bp) dari posisi akhir pekan sebelumnya di 6,244%.

Yield yang naik menandai harga SBN yang sedang turun dan investor cenderung melepas SBN, terutama investor asing.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang turun, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Pengaruh kebijakan suku bunga oleh bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberatkan laju rupiah dan bahkan IHSG sekalipun, meski IHSG pada akhirnya masih mempertahankan penguatannya.
The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 bp pada Kamis dini hari waktu Indonesia, tentunya sesuai perkiraan pasar.

Namun nada The Fed yang masih akan hawkish, ditambah data-data memberi sinyal bahwa ekonomi AS masih kuat sehingga investor berekspektasi bahwa kenaikan suku bunga masih akan berlanjut dan pada akhirnya mereka cenderung kecewa. Padahal sebelumnya, pasar sudah memperkirakan bahwa kenaikan suku bunga akan berakhir di pertemuan edisi Juli.

Di lain sisi, pada pekan lalu, Bank Indonesia (BI) juga telah mengumumkan kebijakan suku bunga terbarunya. Hasil dari Rapat Dewan Gubernur (RDG) memutuskan untuk tetap menahan suku bunga di level 5,75%.

Keputusan BI ini sesuai dengan Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memproyeksi bank sentral Tanah Air tersebut akan kembali menahan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR). Dari 12 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, semuanya memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%.

Sentimen positif tersebut mampu menahan sentimen negatif dari The Fed yang masih akan bersikap hawkish.
The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bp menjadi 5,25-5,5%, setelah pada pertemuan sebelumnya yakni edisi Juni 2023 menahan suku bunga acuannya.

Dengan kenaikan tersebut, suku bunga The Fed (Federal Fund Rate/FFR) sudah naik sebanyak 11 kali dengan total kenaikan sebesar 525 bp sejak Maret 2022. Suku bunga di level 5,25-5,5% saat ini adalah yang tertinggi sejak 2001 atau 22 tahun terakhir.

Beralih ke AS, mayoritas bursa saham Wall Street pada perdagangan pekan lalu terpantau cerah bergairah, meski sempat terkoreksi karena kekecewaan pelaku pasar akan pernyataan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang masih akan mempertahankan sikap hawkish-nya.

Secara point-to-point pada pekan lalu, indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) terpantau menguat 0,66%, sedangkan S&P 500 melesat 1,01%, dan Nasdaq Composite melejit 2,02%.

Pada perdagangan Jumat pekan lalu, ketiganya ditutup di zona hijau. Indeks Dow Jones ditutup menguat 0,5% ke posisi 35.459,289, S&P 500 melesat 0,99% ke 4.582,23, dan Nasdaq melejit 1,9% menjadi 14.316,66.

Pada Jumat lalu, menguatnya Wall Street ditopang oleh data indeks harga personal consumption expenditure (PCE). Indeks ini melandai ke 3% (year-on-year/yoy) pada Juni 2023. Angka tersebut adalah yang terendah sejak Maret 2021.

Secara bulanan (month-to-month/mtm), indeks naik tipis 0,2% pada Juni, dari 0,2% pada Mei.
Indeks melemah karena turunnya harga barang tetapi harga gas masih naik. Pengeluaran untuk energi menjadi komponen yang paling anjlok yakni sebesar 18,9% (yoy).

Sementara itu, PCE inti melandai ke 4,1% (yoy) pada Juni, terendah sejak September 2021 atau 10 bulan terakhir. Laju PCE inti juga lebih rendah dibandingkan dengan ekspektasi pasar yakni 4,2%.

Sebagai catatan, PCE inti menjadi pertimbangan utama bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam menentukan kebijakan moneternya.
Dengan melandai PCE dan PCE inti maka ada harapan The Fed melunak pada September mendatang.

Seperti diketahui, The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 bp menjadi 5,25-5,5% pada Rabu pekan lalu.
Kenaikan sebesar 25 bp sudah sesuai ekspektasi pasar. Namun, pasar kecewa karena The Fed masih membuka opsi untuk menaikkan suku bunga ke depan.

Keputusan suku bunga masih akan sangat tergantung pada data berkembang.
Pasar sempat khawatir pada Kamis kemarin setelah estimasi menunjukkan pertumbuhan ekonomi masih kencang.

Estimasi terbaru AS menunjukkan ekonomi AS tumbuh 2,4% (quarter-to-quarter/qtq) pada April-Juni 2023 atau kuartal II-2023. Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan kuartal sebelumnya yakni 2% ataupun ekspektasi pasar yakni 1,8%.

AS pada Kamis pekan lalu juga mengumumkan data klaim pengangguran. Jumlah pekerja AS yang mengajukan klaim pengangguran AS menurun 7.000 menjadi 221.000 pada pekan yang berakhir pada 22 Juli.

Jumlah tersebut adalah yang terendah dalam lima bulan terakhir dan jauh di bawah ekspektasi pasar yakni 235.000.
Masih tingginya pertumbuhan ekonomi AS dan menurunnya klaim pengangguran menunjukkan jika ekonomi AS masih panas. Dua faktor ini menjadi sinyal jika inflasi AS bisa sulit turun ke depan. Pasar pun kemudian khawatir jika ini bisa mempersulit pelonggaran kebijakan The Fed.

Di lain sisi, pasar juga masih memantau laporan kinerja keuangan perusahaan. Pada titik tengah musim pendapatan kuartal II-2023 di S&P 500, jumlah perusahaan yang melaporkan kejutan pendapatan positif berada di atas rata-rata baru-baru ini, sedangkan besarnya kejutan pendapatan ini di bawah rata-rata baru-baru ini.

Akibatnya, indeks melaporkan pendapatan yang lebih tinggi untuk kuartal kedua hari ini dibandingkan dengan akhir minggu lalu, tetapi masih melaporkan pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan akhir kuartal. Indeks ini juga melaporkan penurunan pendapatan terbesar dari tahun ke tahun sejak kuartal II-2020.

Sejauh ini, 51% perusahaan di S&P 500 telah melaporkan hasil aktual untuk kuartal II-2023 hingga akhir pekan lalu.

Dari perusahaan tersebut, 80% telah melaporkan laba per saham aktual di atas perkiraan, yaitu di atas rata-rata 5 tahun sebesar 77% dan di atas rata-rata 10 tahun sebesar 73%.

Secara agregat, perusahaan melaporkan pendapatan di atas perkiraan sebesar 5,9%, yang berada di bawah rata-rata 5 tahun sebesar 8,4%, dan di bawah rata-rata 10 tahun sebesar 6,4%.

Sebelum memulai perdagangan hari ini hingga beberapa hari ke depan di pekan ini, investor sebaiknya mencermati beberapa agenda ekonomi dari dalam negeri, maupun luar negeri.

Untuk hari ini, dari eksternal atau luar negeri, rilis data ekonomi cukup penting datang dari Jepang dan China. Di Jepang, data penjualan ritel dan indeks keyakinan konsumen (IKK) akan dirilis.

Penjualan ritel di Negeri Sakura diperkirakan tumbuh 5,9% (yoy), lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 5,7%. Sedangkan IKK juga diproyeksi meningkat ke 36,8, menurut data Trading Economics.

Tak hanya Jepang, China juga akan merilis data ekonomi penting yakni data aktivitas manufaktur yang tergambarkan pada Purchasing Manager's Index (PMI). Untuk hari ini, PMI manufaktur yang akan dirilis yakni versi resmi (NBS).

PMI manufaktur China pada periode Juli 2023 diproyeksikan naik menjadi posisi 49,2, dibandingkan bulan sebelumnya di 49. Kendati nilainya masihdibawah 50 yang menunjukkan manufaktur Negeri Panda tersebut masihterkontraksi.

Beralih ke Eropa, yakni di Uni Eropa, data awal dari inflasi periode Juli 2023 dan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2023 juga akan dirilis pada hari ini.

Sedangkan untuk sepanjang pekan ini, pasar akan disibukkan dengan beberapa data ekonomi penting. Di Asia-Pasifik, masih oleh Jepang dan China.
Di Jepang, pada pekan ini, kondisi manufaktur Jepang diproyeksikan masih dalam arah kontraksi di bawah 50, kendati demikian tingkat pengangguran kemungkinan besar bisa membaik di 2,5%, turun sedikit dari sebelumnya di 2,6%.

Perbaikan data ekonomi Jepang tak lepas dari kebijakan ultra longgar pemerintah dalam hal ini bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ), yakni suku bunga di level -0,1%.

Dari China, selain data PMI manufaktur resmi dari NBS, versi Caixin juga akan dirilis pada pekan ini. Berdasarkan survei pasar di Trading Economics, PMI manufaktur versi Caixin masih cenderung berbeda dengan versi NBS, di mana PMI manufaktur China pada Juli 2023 diperkirakan turun menjadi 50,3.
Meski cenderung menurun, tetapi PMI manufaktur versi Caixin berada di zona ekspansif. Berbeda dengan versi resmi yang berada di zona kontraksi.

Selanjutnya dari Negeri Paman Sam, akan rilis data terkait pasar tenaga kerja meliputi JOLTs Job Opening atau berapa banyak lowongan pekerjaan yang terbuka pada periode akhir Juni 2023.
Menurut data pasar, lowongan kerja di AS diperkirakan akan ada penurunan ke 9,62 juta dibandingkan bulan sebelumnya di 9,82 juta.

Kemudian, pada periode yang sama data tingkat pengangguran diproyeksi tetap stagnan di 3,6%, kemudian untuk penggajian di luar pertanian (non-farm payroll/NFP), diperkirakan bisa turun ke 200.000 dibandingkan bulan sebelumnya di 209.000.
Klaim pengangguran AS juga akan rilis pada pekan depan dengan proyeksi naik ke 227.000 secara mingguan.

Tak hanya itu, kondisi manufaktur diperkirakan bisa membaik terlihat dari PMI manufaktur oleh S&P yang memprediksi kenaikan ke level 49, dibandingkan posisi bulan sebelumnya di 46,3.

Sementara itu dari dalam negeri pada hari ini, beberapa emiten akan merilis laporan keuangan yang sudah diaudit pada semester I-2023. Adapun emiten tersebut yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN), dan PT XL Axiata Tbk (EXCL).

Sedangkan pada pekan ini dari dalam negeri, data inflasi periode Juli 2023 juga akan dirilis, tepatnya pada Selasa besok. Sebagai catatan, inflasi RI sudah jauh melandai ke 3,52% (yoy) pada Juni sementara inflasi inti tercatat 2,58% (yoy). Perlu dicatat, angka inflasi umum dan inti pada Mei 2023 telah sesuai dengan target BI dalam kisaran 2% - 4%.

Apabila inflasi semakin melandai akan memberikan gambaran semakin positif pada prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang juga akan rilis pada pekan depan untuk periode kuartal II-2023.

Selain itu, kondisi manufaktur juga tetap ekspansif terlihat dari data PMI manufaktur oleh S&P per Mei 2023 di angka 52,5. Untuk periode Juni nilai PMI diperkirakan masih akan di level ekspansif yang menunjukkan kinerja manufaktur masih tumbuh positif.

Di lain sisi, pasar juga akan memantau dampak dari realisasi kebijakan devisa hasil ekspor (DHE), di mana pada 1 Agustus besok, pengetatan kebijakan DHE akan berlaku.

Dengan adanya kebijakan DHE ini, diharapkan bahwa cadangan devisa (cadev) nasional akan tertopang dan tentunya nilai tukar rupiah diharapkan dapat diuntungkan dari kebijakan DHE ini.

Sementara itu pada hari yang sama dengan rilis data inflasi Tanah Air, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) akan mengadakan pertemuan dan menggelar press konferensi.

Acara ini menarik ditunggu karena akan memberikan gambaran bagaimana pemangku kebijakan fiskal dan moneter dalam menanggapi isu-isu ekonomi terkini terutama kenaikan suku bunga The Fed.

Menarik pula dinanti apakah akan ada kebijakan baru dari fiskal dan moneter. Dalam konferensi pers tersebut Menteri Keuangan, Gubernur BI, Ketua OJK, serta LPS yang akan menyampaikan paparan.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data produksi industri Jepang periode Juni 2023 (06:50 WIB),
  2. Rilis data penjualan ritel Jepang periode Juni 2023 (06:50 WIB),
  3. Rilis data PMI manufaktur China versi NBS periode Juli 2023 (08:30 WIB),
  4. Rilis data indeks keyakinan konsumen Jepang periode Juli 2023 (12:00 WIB),
  5. Rilis data indeks keyakinan bisnis Singapura periode Juli 2023 (12:00 WIB),
  6. Rilis data awal pertumbuhan ekonomi Uni Eropa periode kuartal II-2023 (16:00 WIB),
  7. Rilis data awal inflasi Uni Eropa periode Juli 2023 (16:00 WIB),
  8. Rilis data manufaktur The Fed Dallas Amerika Serikat periode Juli 2023 (21:30 WIB).

 

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Rilis laporan keuangan semester I-2023 PT Bank Mandiri Tbk (Persero),
  2. Rilis laporan keuangan semester I-2023 PT Bank Danamon Indonesia Tbk,
  3. Rilis laporan keuangan semester I-2023 PT XL Axiata Tbk,
  4. RUPS Luar Biasa PT Yelooo Integra Datanet Tbk (11:00 WIB),
  5. RUPS Tahunan PT Era Digital Media Tbk (14:00 WIB),
  6. RUPS Tahunan PT Dewata Freight International Tbk (14:00 WIB),
  7. RUPS Tahunan PT Krakatau Steel Tbk (14:00 WIB).

 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2023 YoY)

5,03%

Inflasi (Juni 2023 YoY)

3,52%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Juni 2023)

0,7% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q1-2023 YoY)

0,9% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2023 YoY)

US$ 6,5 miliar

Cadangan Devisa (Juni 2023)

US$ 137,5 miliar

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular