Update Ekonomi Dunia Terkini Versi Sri Mulyani & Gubernur BI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
26 July 2023 07:55
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Saat Peluncuran Uang Rupiah Kertas Tahun Emisi 2022, Kamis (18/8/2022). (Dok. Bank Indonesia)
Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Saat Peluncuran Uang Rupiah Kertas Tahun Emisi 2022, Kamis (18/8/2022). (Dok. Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo kompak membagikan kabar mengenai perkembangan ekonomi dunia minggu ini. Keduanya memang baru saja menghadiri pertemuan Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 di Gujarat, India, minggu lalu, 16-18 Juli 2023.

Keduanya mengungkapkan bahwa ekonomi dunia masih dibayangi oleh tekanan ketidakpastian. Namun, tekanan ini tidak sebesar masa pandemi lalu. Sri Mulyani mengatakan masing-masing dari menteri keuangan dan gubernur bank sentral membahas mengenai perkembangan ekonomi dunia dan kondisi negaranya.

Namun, kondisi ekonomi global belum kembali ke kondisi normal. Ekonomi global justru dihantui pelemahan. Ini tergambar dari Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur pada mayoritas negara G20 dan ASEAN-6 mengalami kontraksi.

Dari data PMI tersebut, Sri Mulyani mengatakan kontraksi terjadi umumnya di negara maju.

Dia menuturkan sebanyak 61,9% negara-negara di dunia mengalami kontraksi PMI. Negara tersebut a.l. AS, Eropa, Jerman, Inggris, Jepang, Perancis, Italia, Afrika Selatan, Brasil, Singapura dan Malaysia.

"Artinya PMI-nya di bawah 50 dan ini negara-negara yang memiliki peran besar terhadap ekonomi dunia, yaitu Amerika, Eropa, Jerman, Prancis, Jerman, Jepang, Korea," katanya.

Padahal, dia menuturkan negara-negara ini adalah negara yang memiliki pengaruh besar pada perdagangan dunia.

"Sehingga PMI dari negara-negara ini patut kita waspadai. Apakah ini kecenderungan akan terus melemah dan tentu pada akhirnya mempengaruhi kondisi kinerja perekonomian global," tegasnya.

Sementara itu, Sri Mulyani menyebut 23,8% berada di zona ekspansi-melambat, yaitu China, Thailand, Filipina, India, dan Rusia.

Di sisi lain, sebanyak 14,3% negara-negara global mengalami ekspansi yang terus terakselerasi. Negara tersebut a.l. Indonesia, Turki, dan Meksiko.

"Hingga kuartal II-2023 nampaknya berbagai indikator Indonesia masih cukup positif, namun tanda-tanda terjadinya rembesan dari pelemahan global sudah mulai terlihat dari beberapa indikator kita,"

Rembesan yang dimaksud terjadi pada neraca eksternal Indonesia, yakni neraca perdagangan. Diketahui dalam dua tahun terakhir, ekspor Indonesia alami peningkatan tajam akibat lonjakan harga komoditas. Neraca perdagangan juga berhasil surplus selama 38 bulan beruntun.

"Namun kini karena ekonomi dunia melemah, permintaan ekspor melemah sehingga permintaan barang kontraksi," tegasnya.

"Ekspor sampai Juni US$ 20,61 miliar ini kontraksi atau turun 21,2% dibandingkan tahun lalu," ungkapnya.

Impor juga turun tajam pada Juni 2023. Menurut Sri Mulyani, penyebabnya adalah industri manufaktur yang khususnya berorientasi ekspor mengalami tekanan pelemahan permintaan global. "Jadi pasti terpengaruh dengan potensi demand yang lebih kecil," kata Sri Mulyani.

Sementara itu, Gubernur BI mengungkapkan ketidakpastian perekonomian global diperkirakan masih tetap tinggi.

"Tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi dipengaruhi oleh perekonomian yang lebih kuat dan pasar tenaga kerja yang ketat," tegasnya.

Hal ini diprakirakan akan mendorong kenaikan lebih lanjut suku bunga kebijakan moneter di negara maju, termasuk Federal Funds Rate (FFR).

"Perkembangan tersebut mendorong aliran modal ke negara berkembang lebih selektif dan meningkatkan tekanan nilai tukar di negara berkembang, termasuk Indonesia, sehingga memerlukan penguatan respons kebijakan untuk memitigasi risiko rambatan global," ujar Perry.

Namun, BI melihat perbaikan di sejumlah ekonomi negara maju termasuk AS, Eropa dan Jepang. Sejalan dengan perkembangan ini, BI melihat sumber pertumbuhan ekonomi dunia bergeser dari negara maju ke negara berkembang, seiring pertumbuhan ekonomi China yang diperkirakan lebih rendah akibat tertahannya konsumsi dan investasi terutama sektor properti.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi, Sri Mulyani & BI Buka-bukaan Situasi Kini Gawat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular