Newsletter

Kabar dari Amerika Disambut Gembira Dunia, Ayo Pesta Lagi!

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
13 July 2023 06:02
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • IHSG mampu mencatatkan kenaikan selama tiga hari beruntun dan kembali menyentuh level 6.800. Target resisten selanjutnya ada di 6.900 sementara rupiah makin perkasa
  • Inflasi AS yang menyentuh 3% menjadi modal utama untuk pergerakan bursa domestik hari ini. 
  • Ambruknya harga batu bara serta data neraca dagang China bisa merusak pasar keuangan RI hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia bergairah pada perdagangan kemarin, Rabu (12/7/2023). Pasar saham dan rupiah sama-sama mencatatkan kinerja positif.

Pasar keuangan RI diperkirakan kembali menguat pada perdagangan hari ini. Selengkapnya mengenai sentimen pasar apa saja hari ini bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup di zona hijau. Hingga akhir perdagangan kemarin, IHSG naik 0,17% ke posisi 6.808,209. Akhirnya, IHSG kembali menyentuh level psikologis 6.800, di mana IHSG terakhir menyentuh level psikologis ini pada perdagangan 10 Mei lalu.

 

Secara sektoral, sektor properti menjadi market movers paling besar IHSG pada hari ini, yakni sebesar 0,97%. Selain itu, beberapa saham turut menjadi pendorong IHSG, sehingga indeks bursa saham acuan Tanah Air tersebut berhasil menguat.

Saham perbankan raksasa mendapat giliran menjadi leader IHSG. Adapun saham bank raksasa tersebut yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI).

Saham BBCA menjadi leader IHSG paling besar yakni mencapai 9,96 indeks poin. Sedangkan saham BBRI sebesar 2,7 indeks poin, dan saham BMRI sebesar 2,4 indeks poin.

Sementara itu, rupiah mampu menaklukkan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, penutupan perdagangan Rabu (12/7/2023) menguat 0,40% menuju angka Rp 15.075/US$.
Penguatan ini memperpanjang tren positif rupiah yang juga menguat 0,36% terhadap dolar AS pada perdagangan sebelumnya.  Perkasanya Rupiah pada penutupan perdagangan hari ini tak lepas dari pengaruh ekspektasi inflasi AS yang diproyeksi akan melandai.

 

Selain dari faktor eksternal, faktor internal pun menjadi faktor pendorong rupiah. Indikator ekonomi Indonesia yang masih solid, ditandai dengan optimisnya pertumbuhan ekonomi domestik di tengah gonjang-ganjing ekonomi global, menjadi daya tarik tersendiri bagi pasar agar dapat berinvestasi di Indonesia.

Selain itu, suku bunga yang lebih tinggi dari AS, yakni 5,75%, berimplikasi terhadap yield dari Surat Utang Negara (SUN) yang ikut mengalami kenaikan.

Total penawaran yang diterima pemerintah pada lelang kemarin mencapai Rp 47,79 triliun. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan dengan penawaran pada lelang sebelumnya yang mencapai Rp 37,56 triliun.

Surat utang seri benchmark tenor 5 dan 10 tahun sangat diminati investor dengan penawaran Rp 29,93 triliun atau 56,53% dari total penawaran.
Tawaran yang datang dari investor asing juga meningkat tajam menjadi Rp 9,66 triliun pada lelang kemarin dibandingkan lelang sebelumnya yang tercatat Rp 5,93 triliun.

Sebagian besar penawaran diketahui berasal dari asing untuk seri SUN jangka panjang 10 dan 15 tahun. Meningkatnya permintaan dari asing berarti juga dana asing masuk yang meningkat sehingga rupiah ikut menguat.

Indeks utama Wall Street menguat setelah data inflasi memberikan harapan bank sentral AS Federal Reserve (The Fed) bisa melonggarkan kebijakan hawkishnya.
Indeks S&P 500 pun mencapai puncak tertinggi sepanjang 2023. Sementara indeks Nasdaq mampu mencapai posisi tertinggi sejak April 2022.

Pada perdagangan Rabu (12/7/2023) indeks Dow Jones ditutup menguat 0,25% menjadi 34.347,43. Sementara indeks S&P500 naik 0,74% menjadi 4.472,16. Selanjutnya indeks Nasdaq melesat 1,15% menjadi 13.918,96.

Saham bank melonjak pada perdagangan Rabu. Citigroup dan Goldman Sachs menguat masing-masing 1,8% dan 1,7%. Bank regional juga melihat keuntungan, dengan Comerica melesat 3,1%, dan Zions Bancorporation melompat 2,8%.

Indeks harga konsumen naik 3% (year on year/yoy) pada Juni. Angka ini di bawah angka ekonom yang disurvei oleh Dow Jones memperkirakan kenaikan 3,1%.
Secara bulan ke bulan, inflasi naik 0,2% bulan lalu, juga lebih rendah dari perkiraan. Selain itu inflasi inti, yang menghapus harga makanan dan energi yang mudah berubah, naik kurang dari yang diperkirakan.

"Saya pikir ini adalah laporan yang bagus. Inflasi berjalan seperti yang diinginkan Federal Reserve. Tapi saya rasa kami belum siap untuk mengatakan bahwa mereka akan dapat memangkas suku bunga," kata Megan Horneman , kepala investasi di Verdence Capital Advisors, dikutip CNBC Internasional pada Rabu (12/7/2023).

"Masih ada tiga area inflasi yang diperhatikan oleh Fed dengan sangat cermat - inflasi layanan, inflasi upah, dan inflasi perumahan. Ketiga hal tersebut, meski sedang moderat, masih sangat tinggi," tambah Horneman.

Data Juni untuk indeks harga produsen akan dirilis Kamis. Kedua indeks harga sedang dicermati oleh para pelaku pasar,  sebagai pertanda potensial bagaimana bank sentral akan menggerakkan suku bunga ke depan. 

IHSG mampu mencatatkan kenaikan selama tiga hari beruntun dan berhasil mencapai 6.800. Selanjutnya target kenaikan IHSG menuju resisten terdekat yakni 6.900. Namun, IHSG tampaknya akan menguji ketahanan resisten 6.800 telebih dahulu.

Pada perdagangan hari ini, IHSG mendapatkan angin segar dari indeks Wall Street yang menguat sejalan dengan pengumuman inflasi AS yang mendingin.

Inflasi Amerika Serikat (AS) melandai ke 3% (year on year/yoy) pada Juni 2023, dari 4% (yoy) pada Mei. Melandainya inflasi AS menjadi kabar gembira karena ekspektasi pasar melihat pelonggaran kebijakan moneter AS bisa menjadi kenyataan.

 

Laju inflasi AS jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi Juni sebesar 3,1%. Laju inflasi Juni juga menjadi yang terendah sejak Maret 2021 di mana inflasi menyentuh 2,6%.

Secara bulanan (month to month/mtm), inflasi AS melandai mencapai 0,2% pada Juni 2023 dari 0,1% pada bulan Mei. Inflasi tersebut juga jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi akan ada di angka 0,3%.

Inflasi (mtm) dipicu oleh sektor perumahan serta makanan. Kendati demikian, harga pangan AS hanya naik 0,1% (mtm) pada Juni, lebih rendah dibandingkan 0,2% (mtm) pada Mei.

Sementara itu, inflasi inti AS mencapai 4,8% (yoy) pada Juni 2023, dari 5,3% (yoy) pada bulan sebelumnya. Secara bulanan, inflasi inti mencapai 0,2% (mtm) pada Juni tahun ini, lebih rendah dibandingkan 0,4% pada Mei. 

Inflasi inti jauh di bawah ekspektasi pasar yang memproyeksi inflasi inti di angka 5% (yoy) dan 0,3% (mtm).

Rilis data inflasi AS yang mendekati target The Fed 2% diharapkan akan membuat bank sentral melunak. Walaupun begitu, bos The Fed Jerome Powell sempat menegaskan akan kembali menaikkan suku bunga acuan setelah menahan suku bunga pada Juni di kisaran 5,0-5,25%.

Pasar kini berekspektasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada akhir bulan ini. Hal ini terlihat dari perangkat Fedwatch yang menunjukkan sebanyak 94,2% melihat peluang kenaikan suku bunga pada pertemuan Juli.

Dengan inflasi AS yang melandai lebih cepat dan ekspektasi melonggarnya kebijakan The Fed maka investor asing diproyeksi akan mengalir deras ke dalam negeri.
Kebijakan The Fed yang lebih dovish akan membuat dolar AS kurang menarik sehingga pemodal asing akan mencari instrumen yang lebih menarik di Emerging Market seperti Indonesia.
Dana asing yang sebelumnya kabur pun bisa kembali ke pasar bursa ataupun rupiah. Dengan demikian, pasar bursa saham dan rupiah diharapkan akan sama-sama ketiban untung dan menguat.

Selain itu, perhatian investor juga tertuju kepada rilis neraca dagang China sekaligus ekspor dan impor yang akan diumumkan pagi hari ini.

Berdasarkan konsensus yang dihimpun oleh Trading Economics, neraca dagang China pada Juni akan meningkat menjadi US$74,8 miliar. Pada bulan sebelumnya neraca dagang China sebesar US$65,8n miliar.

Sementara ekspor diperkirakan terkoreksi 9% pada Juni. Angka ini jauh lebih besar dari koreksi 7,5% pada bulan lalu. Sedangkan impor diperkirakan terkoreksi 4%. Impor yang negatif menandakan bahwa tingkat daya beli China masih lesu.

Hal ini bisa memberikan efek negatif kepada perdagangan Indonesia, Sebab China adalah salah satu negara tujuan ekspor terbesar Indonesia terutama untuk pasar komoditas andalan seperti batu bara dan minyak kelapa sawit.

Di tengah kabar positif dari AS, harga batu bara justru memberi kabar buruk  Harga batu bara terkapar hingga menyentuh titik terendah sejak 29 Juni 2021 atau terendah dalam dua tahun terakhir. Untuk pertama kalinya sejak Mei 2022 atau setahun lebih, harga batu bara juga jatuh selama tujuh hari beruntun.

Merujuk data Refinitiv, harga batu bara kontrak Agustus di pasar ICE Newcastle pada perdagangan Rabu (12/7/2023) ditutup di posisi US$ 128,05 per ton. Harganya ambles 4,44%. Posisi penutupan kemarin adalah yang terendah sejak 29 Juni 2021 di mana harga batu bara menyentuh US$ 124,25 per ton.

Sepanjang Juli atau dalam tujuh hari terakhir harga batu bara selalu ditutup di zona merah, hingga terkapar 17,09%. Sejak awal tahun, harga batu bara telah terjun bebas 67%.

Ambruknya harga batu bara bisa membebani laju emiten batu bara serta bursa saham hari ini.

Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi pada Rabu (12/7/2023):

- Neraca Dagang China pada Juni (10.00 WIB)

- Ekspor China pada Juni (10.00 WIB)

- Ekspor China pada Juni (10.00 WIB)

- Inflasi Produsen Amerika Serikat pada Juni (19.30 WIB)

- Klaim pengangguran awal AS (19.30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada Senin:

- Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) TRIS (10.00 WIB)

Data Indikator Ekonomi Makro

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular