Kabar Gembira! AS Menuju Resesi, China Pangkas Suku Bunga
- Pasar keuangan Indonesia mayoritas mencatatkan kinerja positif kemarin tetapi IHSG jeblok
- Bursa Wall Street melanjutkan rally setelah inflasi AS melandai
- Kebijakan suku bunga The Fed akan menjadi perhatian utama pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup tak kompak kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ambruk. Namun, rupiah dan Surat Berharga Negara (SBN) mencatatkan kinerja positif.
Pasar keuangan Tanah Air diharapkan kompak menghijau hari ini sejalan dengan banyaknya sentimen positif. Selengkapnya mengenai proyeksi pergerakan pasar dan sentimen hari ini bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.
IHSG ditutup melemah 0,05% pada perdagangan Selasa (13/6/2023) ke posisi 6.719,01. Pelemahan berbanding terbalik dengan penguatan sebesar 0,42% pada Senin.
Sebanyak 237 saham menguat, 291 anjlok, sementara 219 lainnya stagnan.
Nilai transaksi mencapai sekitar Rp 9,9 triliun dengan melibatkan 20,6 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,53 juta kali.
Namun, investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 115,33 miliar, lebih kecil dibandingkan hari sebelumnya yang tercatat Rp 659,94 miliar.
IHSG sebenarnya dibuka menguat tipis 0,02% tetapi kemudian berbalik melemah. Indeks ditutup melemah 0,18% pada sesi I dan tak mampu membalikkan arah hingga akhir perdagangan.
Sembilan sektor melemah pada perdagangan kemarin. Sektor energi melemah 0,4%, keuangan terkoreksi 0,08%, industrial melemah 0,12%, infrastruktur melemah 0,28%, dan barang konsumsi primer melemah 0,78%.
Sektor properti melemah 0,68%, energi melemah 0,40%, barang baku melemah 0,92%, teknologi melemah 0,21% dan transportasi melemah 1,21%. Sedangkan untuk konsumsi non primer naik 0,39% dan kesehatan naik 0,22%.
Di antara saham yang melonjak adalah PT Mitra Pack Tbk (PTMP) yang terbang 31,65%, PT Bintang Samudera Mandiri Lines Tbk (BSML) yang melonjak 25,79%, dan PT Jaya Swarasa Agung Tbk (TAYS) yang menguat 22,73%.
Sejumlah sentimen positif sebenarnya membayangi pergerakan IHSG kemarin. Di antaranya adalah impresifnya kinerja Wall Street hingga ekspektasi melunaknya kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed).
Namun, IHSG tetap melemah karena sikap hati-hati pelaku pasar menunggu data inflasi AS yang diumumkan Selasa malam waktu Indonesia. Data tersebut akan menjadi pertimbangan bagi untuk memutuskan kebijakan moneternya pada hari ini, Rabu (14/6/2023).
Ambruknya harga batu bara serta jeleknya hasil data penjualan eceran dalam negeri ikut membuat IHSG loyo.
Survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) tumbuh sebesar 1,5% (year on year/yoy) sementara pada Mei 2023 diproyeksi tumbuh 0,02% (yoy) tetapi kontraksi sebesar 3,6% (month to month/mtm).
Penurunan kinerja penjualan terjadi pada seluruh kelompok, terutama pada subkelompok sandang, kelompok Makanan, minuman, dan tembakau, serta peralatan informasi dan komunikasi sejalan dengan normalisasi konsumsi masyarakat setelah periode Lebaran.
Pertumbuhan IPR yang hanya 1,5% pada April terbilang di luar kebiasaan. Pasalnya, pada periode tersebut terdapat Lebaran. Pada periode-periode tersebut biasanya IPR akan melonjak.
IPR yang melandai ini dikhawatirkan bisa menjadi sinyal jadi melambatnya belanja masyarakat. Padahal, konsumsi masyarakat menopang 56% Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia.
IHSG gagal mengikuti pergerakan bursa Asia yang mayoritas mengalami penguatan kemarin.
Indeks Nikkei 225 Jepang ditutup melejit 1,8%, indeks Hang Seng Hong Kong menguat 0,6%, Shanghai Composite China naik 0,15%, ASX 200 Australia menanjak 0,23%, dan KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,33%.
Sementara untuk indeks Straits Times Singapura ditutup turun 0,16%.
Berbeda dengan IHSG, kinerja rupiah dan SBN malah kinclong. Rupiah ditutup di posisi Rp 14.855/US$1, menguat 0,03% terhadap dolar AS. Penguatan ini menjadi kabar baik setelah rupiah melemah pada hari sebelumnya.
Di pasar Surat Berharga Negara (SBN), yield atau imbal hasil Surat Utang Negara (SUN) tenor 10 tahun turun ke 6,303% atau level terendahnya sejak Februari 2022 atau lebih dari setahun terakhir.
Yield yang turun menandai harga SBN yang semakin mahal karena investor mengincar SBN, terutama investor asing.
(mae/mae)