
Krisis Perbankan di AS Berlanjut, Saham PacWest Jeblok 50%!

Di global pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang melanjutkan koreksinya kemarin.
Investor khawatir bahwa krisis perbankan belum akan berakhir, di mana saat ini krisis tersebut memasuki babak baru.
Babak baru krisis perbankan di AS kembali muncul setelah saham bank regional yakni PacWest Bancorp anjlok hingga 51%, setelah perusahaan mengonfirmasi sedang menjajaki opsi strategis hingga berencana untuk menjual seluruh asetnya.
Alhasil, saham perbankan di AS kembali terpukul karena kekhawatiran investor akan memburuknya krisis perbankan.
Sebelum ada kabar PacWest, kekhawatiran sektor perbankan kembali menjadi sorotan setelah regulator AS menyita First Republic, lembaga besar AS ketiga yang gagal dalam dua bulan.
Kemudian, JPMorgan Chase & Co JPM.N setuju untuk mengambil US$ 173 miliar dari pinjaman bank, US$ 30 miliar dari sekuritas dan US$ 92 miliar deposito.
Krisis perbankan di AS muncul akibat krisis yang menimpa Silicon Valley Bank (SVB). Krisis SVB pun merambat ke beberapa bank di AS lainnya seperti Silvergate Bank, Signature Bank, dan First Republic Bank.
Tak hanya krisis perbankan saja, masyarakat Amerika Serikat juga tengah dihadapi oleh masalah lainnya, yakni plafon utang.
Pemerintah AS berisiko kehabisan uang dan mengalami gagal bayar (default) jika kongres tidak juga mengambil tindakan terkait kenaikan plafon utang.
Risiko atas kemungkinan gagal bayar terhadap perekonomian AS semakin meningkat di tengah kejatuhan First Republic Bank, bank keempat yang gagal dan terbesar setelah krisis 2008.
Analisis terbaru Kantor Anggaran Kongres dan Departemen Keuangan AS menunjukkan bahwa pemerintah AS semakin mendekati waktu tidak dapat membayarkan tagihan-tagihannya jika belum ada keputusan terkait kenaikan plafon utang.
Sejarah mencatat, kondisi ini dapat menyebabkan gejolak di pasar keuangan dan merusak kondisi ekonomi bisnis maupun rumah tangga.
Masalah plafon utang AS ini dapat menyebabkan kerusakan parah pada ekonomi AS. Alhasil kekhawatiran akan resesi pun kembali muncul.
Di lain sisi, The Fed juga belum akan berencana untuk memangkas suku bunga acuannya dalam waktu dekat, menambah kekhawatiran bahwa krisis perbankan dapat semakin meluas.
Namun, Chairman The Fed, Jerome Powell sudah mengisyaratkan akan mengakhiri kenaikan suku bunga, meski bukan pada pertemuan berikutnya.
Sementara itu di Eropa, bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya kemarin.
ECB menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bp) menjadi 3,75%, sesuai dengan ekspektasi pasar. ECB mengikuti langkah The Fed yang juga menaikkan suku bunganya sebesar 25 bp.
Hal ini menunjukkan bahwa ECB mulai menurunkan laju kenaikan bunga. Keputusan tersebut diambil setelah angka inflasi yang dirilis awal pekan ini menunjukkan kenaikan tingkat inflasi umum menjadi 7% untuk April.
Pada saat yang sama, inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan energi, sedikit menurun menjadi 5,6%. ECB memulai kenaikan suku bunga yang beraku saat ini sejak Juli 2022, dengan menaikkan bunga acuannya dari -0,5% menjadi nol.
Namun, meskipun kenaikan suku bunga yang konsisten sejak itu, inflasi tetap jauh di atas target ECB sebesar 2%.
Perkiraan yang diterbitkan minggu lalu oleh Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) menunjukkan bahwa inflasi Eropa tidak akan mencapai target ECB hingga tahun 2025.
Selain itu, survei ECB baru-baru ini menunjukkan bahwa bank telah memperketat akses kredit secara signifikan. Ini dapat menunjukkan bahwa suku bunga yang lebih tinggi mulai berdampak pada ekonomi riil.
(chd/chd)