Macro Insight

Inflasi Terus Melandai, Saatnya Suku Bunga BI Ditahan?

maesaroh, CNBC Indonesia
01 February 2023 14:45
Harga Bahan Pokok di Pasar Tradisional (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Harga Bahan Pokok di Pasar Tradisional (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia terus melandai menjadi 5,28% (year on year/yoy) pada Januari 2023. Melandainya inflasi diharapkan bisa menjadi kabar gembira bagi pasar keuangan serta memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk menahan suku bunga pada bulan ini.

Inflasi pada Januari menurun cukup tajam dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat 5,51% (yoy).  Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengumumkan inflasi bulanan (month to month/mtm) pada Januari 2023 mencapai 0,34%.

Inflasi bulanan pada Januari juga terbilang rendah dibandingkan rata-rata dalam lima tahun sebelumnya yang tercatat 0,43%. Inflasi (mtm) jauh lebih rendah dibandingkan pada Desember 2022 yang tercatat 0,66%.

Inflasi Januari juga lebih rendah dibandingkan konsensus pasar. Polling yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Januari ada di angka 0,44% (mtm) dan 5,40 (yoy).

Sementara itu, inflasi inti tercatat 0,33% (mtm) dan 3,27% (ytd).

Kepala BPS Margo Yuwono menjelaskan melandainya inflasi (mtm) disebabkan oleh kenaikan harga pada cabai merah, beras, ikan segar, rokok filter, dan cabai rawit.
Sebagai catatan, pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau rata-rata 10% per 1 Januari 2023.

Sementara itu, penyumbang inflasi (yoy) masih disumbang oleh kelompok transportasi, terutama bensin.

Margo mengatakan inflasi ke depan akan sangat ditentukan oleh harga diatur pemerintah, pasokan bahan pangan, imported inflation, serta kebijakan suku bunga bank sentral.

"Beberapa komoditas itu berpengaruh karena cuaca iklim, saat ada gangguan cuaca kalau stoknya tidak bagus itu supplynya bisa terganggu. Kuncinya pada pengelolaan stock yang bagus dan distribusi," tutur Margo, pada konferensi pers perkembangan inflasi Januari, Rabu (1/2/2023).

Inflasi menjadi salah satu kekhawatiran terbesar Presiden Joko Widodo atau Jokowi sejak tahun lalu. Pasalnya, inflasi melambung sejak awal 2022 karena dihantam berbagai kenaikan harga pangan dan energi. Di antaranya adalah minyak goreng, cabai rawit, telur ayam, hingga BBM subsidi.

Presiden Jokowi bahkan sampai mengizinkan pemimpin daerah untuk menggunakan anggaran mereka guna meredam laju inflasi.

Sebagai catatan, inflasi kelompok volatile pada Juli2022 menembus 11,47% (yoy) atau tertinggi sejak Januari 2014 (11,91%). Inflasi kelompok volatile sudah turun drastis ke kisaran 5,66% (yoy) pada Januari 2023.

Melandainya inflasi pada Januari menjadi kabar baik bagi pasar keuangan Indonesia. Semakin melandainya inflasi juga menunjukkan bahwa dampak kenaikan harga BBM subsidi mulai terkikis.

Seperti diketahui, dampak kenaikan harga BBM subsidi pada awal September 2022 semua dikhawatirkan akan membuat inflasi Indonesia melambung setidaknya dalam beberapa bulan.

Namun, inflasi hanya melonjak pada September 2022 yakni 5,95% (yoy) dan

Inflasi (yoy) dengan cepat melandai menjadi 5,71% pada Oktober, sebesar sebesar 5,42% pada November dan 5,51% pada Desember 2022.

Inflasi inti yang semua dikhawatirkan terus melonjak juga mulai melandai dari 3,36% pada Desember 2022 menjadi 3,27% pada Januari 2023.

Sebagai catatan, inflasi inti akan menjadi pertimbangan utama Bank Indonesia (BI) dalam menentukan kebijakan moneternya.

Dengan inflasi inti yang melandai, BI diharapkan akan mengakhiri kenaikan suku bunga pada bulan ini.  BI diharapkan mempertahankan suku bunga pada bulan ini.

Terlebih, bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo juga mengatakan kenaikan suku bunga sudah memadai untuk menjangkar inflasi inti ke target sasaran BI.

"Kalau tidak ada informasi yang extraordinary, yang kita tidak bisa kita lihat dan kondisi di luar perkiraan, maka kata memadai sudah bisa menjawab pertanyaan tersebut," tutur Perry, bulan lalu.

BI sudah menaikkan kebijakan sebesar 225 basis points (bps) sejak Agustus 2022 lalu hingga Januari 2023. BI bahkan menaikkan suku bunga sangar agresif sebesar 75 bps pada September, Oktober, dan November 2022.

Ancaman inflasi inti ke depan adalah lonjakan permintaan menjelang Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri pada Maret dan April 2023.

Bila inflasi pada periode tersebut terjaga dan tidak ada kebijakan drastis pada energi tahun ini maka BI diharapkan mulai mengendurkan kebijakan moneternya dengan memangkas suku bunga.

Melandainya inflasi Januari juga diharapkan bisa membantu stabilitas rupiah.  Dengan inflasi yang rendah maka real rate investasi akan terjaga sehingga aset berdenominasi rupiah masih menarik bagi investor asing.

Laju inflasi yang melandai juga akan menjaga daya beli yang pada akhirnya akan berdampak positif kepada perusahaan. Perusahaan berbasis consumer goods akan diuntungkan seperti PT Unilever Indonesia, PT Mayora Indah, PT Indofood Sukses Makmur Tbk, PT Nippon Indosari Corpindo Tbk, hingga PT Wing Surya.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular