Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup tertekan pada perdagangan Rabu (10/1) dan memperparah kinerja buruk IHSG yang tercatat mengawali tahun 2023 sebagai salah satu indeks acuan dengan performa paling buruk di kancah global.
Pada perdagangan Rabu IHSG berakhir di 6584,453 atau terkoreksi 0,57% secara harian. Kemarin, IHSG kembali secara eksklusif diperdagangkan di zona merah, sebelum akhirnya mampu memangkas pelemahan jelang akhir sesi perdagangan. Sejak awal tahun, IHSG telah membukukan pelemahan 3,89%.
Emiten perbankan raksasa tercatat menjadi pemberat (laggard) IHSG. Dua emiten big four yakni Bank Mandiri (BMRI) dam Bank Rakyat Indonesia (BBRI) menduduki posisi teratas daftar laggard IHSG. Sementara itu emiten penopang IHSG mayoritas berasal dari perusahaan yang bergerak di sektor pertambangan.
Kemarin, sektor finansial menjadi salah satu yang paling tertekan, dan tercatat kinerjanya sedikit lebih baik dari sektor layanan kesehatan. Sedangkan sektor energi, konsumer non-primer dan logistik menjadi tiga sektor yang mengalami apresiasi.
Investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih (net buy) senilai Rp 1,29 triliun di seluruh pasar dan secara total sejak awal tahun telah mencapai Rp 2,86 triliun. Lagi-lagi saham yang dilego asing berasal dari sektor perbankan yakni BBCA, BBRI dan BMRI. Sementara itu saham emiten tambang menjadi yang paling banyak dikoleksi asing kemarin. Lalu ecara berurutan Adaro Energy Indonesia (ADRO) dan Merdeka Copper Gold (MDKA) menjadi saham yang paling diserbu investor asing.
Dengan IHSG masih melanjutkan anomali, Mayoritas bursa Asia-Pasifik kembali ditutup di zona hijau kemarin, di tengah sikap investor yang menanti rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) dan China besok. Selain IHSG, hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona merah.
Sebelumnya, sejak awal tahun bursa Asia selain Indonesia memang berada dalam tren penguatan, salah satunya disebabkan oleh kembalinya kepercayaan investor karena China yang kembali membuka ekonominya secara lebih luas.
Dari pasar keuangan lain, nilai tukar rupiah tercatat menguat tajam 0,58% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 15.480/US$. Dengan penguatan tersebut rupiah menjadi mata uang Asia dengan kinerja terbaik kemarin.
Penguatan tersebut tampaknya merupakan respons langsung atas revisi aturan Devisa Hasil Ekspor (DHE). Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang DHE, dengan beberapa sektor baru masuk ke dalam daftar yang harus menempatkan DHE kepada regulator.
Dengan DHE bisa ditahan lama di dalam negeri, pasokan dolar AS tentunya akan kembali bertambah, rupiah tentu bisa menguat.
Selain itu, investor asing mulai masuk lagi ke pasar obligasi sekunder. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR), pada 1 - 10 Januari terjadi capital inflow hingga Rp 12 triliun.
Masuknya kembali dana asing di pasar obligasi tampaknya terlihat dari harganya yang menguat, dengan yield Surat Berharga Negara (SBN) untuk semua tenor tercatat turun.
Pasar saham Amerika Serikat (AS) ditutup naik pada perdagangan Rabu (11/1) waktu New York, karena investor semakin yakin bahwa data inflasi yang akan diumumkan malam ini akan menjadi sentimen positif bagi kenaikan suku bunga The Fed yang lebih teredam.
Indeks S&P 500 berakhir menguat 1,28%, dengan Dow Jones Industrial Average naik 0,80%. Sementara itu, indeks padat teknologi Nasdaq terapresiasi 1,76%.
Perhatian investor Wall Street untuk sisa perdagangan minggu ini kemungkinan akan fokus pada laporan inflasi Desember, yang akan dirilis Departemen Tenaga Kerja malam ini waktu Indonesia. Konsensus Trading Economics memperkirakan tingkat inflasi melandai menjadi 6,5% secara tahunan (yoy), turun dari 7,1% sebulan sebelumnya.
Manajer uang mengatakan mereka bersiap untuk perdagangan yang berpotensi bergejolak setelah rilis data. Data inflasi dalam beberapa bulan terakhir telah memicu perubahan besar dalam kinerja pasar saham. Turunnya inflasi akan menjadi tanda yang menggembirakan bagi investor.
Data inflasi terbaru ini akan menjadi faktor penting dalam pertemuan The fed berikutnya, yang dimulai pada 31 Januari.
Federal-funds futures, yang digunakan oleh investor dan pedagang sebagai barometer potensi kenaikan suku bunga acuan menunjukkan peluang 77% bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga sebesar 25 bps, menurut CME Group. Jika sesuai ekspektasi, kenaikan tersebut akan menjadi pelambatan dari kenaikan 50 bps bulan lalu dan menandai kenaikan suku bunga terkecil sejak Maret.
Pejabat bank sentral AS sejauh ini telah mengindikasikan bahwa mereka belum selesai dengan kenaikan suku bunga. Ketua Fed Jerome Powell mengatakan Selasa bahwa bank sentral tetap berkomitmen untuk menurunkan inflasi dengan menahan pertumbuhan ekonomi.
Pengungkapan kinerja keuangan kuartal terakhir tahun lalu yang akan dimulai oleh perusahaan perbankan akhir minggu ini juga tetap menjadi perhatian utama para investor. Secara keseluruhan, analis memperkirakan perusahaan S&P 500 melaporkan penurunan pendapatan kuartalan pertama mereka dari tahun ke tahun sejak penyebaran pandemi Covid-19 pada tahun 2020.
Pertama investor patut menyimak dampak dari pembukaan kembali ekonomi China secara lebih luas, yang pada dasarnya merupakan berita positif bagi perekonomian RI, mengingat negara pimpinan Xi Jinping ini merupakan mitra dagang utama. Meski demikian, kondisi ini juga dapat menjadi tantangan bagi pasar ekuitas domestik.
Pembukaan ekonomi tersebut dapat memperparah sentimen buruk yakni kaburnya investor asing dari pasar saham dalam negeri. Investor asing bisa saja keluar dari pasar keuangan Indonesia dan masuk ke China untuk membeli aset yang masih dianggap undervalued, atau murah secara valuasi.
Meski dapat menjadi sentimen bagi pasar modal secara luar, jika dilihat secara spesifik terdapat sejumlah sektor yang akan diuntungkan atas pembukaan ekonomi China tersebut, salah satunya yang bergerak di sektor batu bara dan sektor pendukung bisnis lainnya, seperti pelayaran. Pembukaan ekonomi yang lebih luas, berarti akan meningkatkan konsumsi yang pada akhirnya menambah permintaan batu bara yang mana RI menjadi penyuplai utama bagi China.
Masih dari China, investor juga perlu menyimak sejumlah data ekonomi China yang akan diumumkan pagi ini. Data tersebut adalah tingkat inflasi dan Indeks Harga Produsen (IHP) untuk bulan Desember lalu. Konsensus Trading Economics memperkirakan inflasi China periode tersebut bakal kembali naik menjadi 1,8% secara tahunan (yoy), namun melambat secara bulanan. Sementara itu IHP diperkirakan akan kembali tumbuh negatif secara tahunan (yoy) di tengah melemahnya permintaan domestik karena pembatasan COVID yang ketat dan penurunan harga komoditas.
Selanjutnya investor juga patut memperhatikan pergerakan harga sejumlah komoditas utama dunia, termasuk yang menjadi unggulan di Indonesia. Sejumlah emiten di sektor energi, pertambangan hingga perkebunan pergerakannya sering kali ditopang oleh naik turunnya harga di pasar global.
Emas menjadi salah satu komoditas yang belakangan rajin menguat, didorong oleh ambruknya indeks dolar. Indeks dolar sendiri mulai mengalami penurunan karena investor berharap The Fed akan segera berhenti menaikkan suku bunga acuannya.
Sementara itu, dua komoditas ekspor unggulan RI yakni batu bara dan CPO masih berada dalam tren penurunan sepanjang tahun ini.
Selain itu, investor juga perlu mewanti-wanti sejumlah data ekonomi penting dari mancanegara yang akan diumumkan akhir pekan ini. Data tersebut dapat menjadi proksi bagi kondisi ekonomi yang lebih luas serta pegangan bagi bank sentral untuk menentukan arah kebijakan moneter.
Malam ini waktu Indonesia, AS yang akan mengumumkan data inflasi yang sangat ditunggu-tunggu oleh investor karena pembacaannya akan sangat mempengaruhi arah kebijakan The Fed. Konsensus pasar Trading Economics memperkirakan inflasi AS akan melandai menjadi 6,5% secara tahunan (yoy) dari bulan sebelumnya 7,1% (yoy).
Kemudian akhir pekan ini Inggris akan mengumumkan data pertumbuhan ekonomi atau Produk Domestik Bruto (PDB) pada November 2022 yang diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 0,2%. Turunnya PDB Inggris dapat memberikan gambaran ekonomi Eropa yang diperkirakan akan segera masuk ke jurang resesi.
Lalu ada juga pembacaan awal sentimen konsumen AS untuk periode Januari 2022. Indeks sentimen konsumen yang dipublikasikan oleh University of Michigan merupakan salah satu indikator yang paling dapat diandalkan untuk memprediksi terjadinya resesi di AS.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
Data transaksi berjalan Jepang November (06.30)
Data neraca dagang Australia November (07.30)
Data ekspor impor Australia November (07.30)
Tingkat inflasi China Desember (08.30)
Indeks Harga Produsen China Desember (08.30)
Tingkat inflasi AS Desember (20.30)
Hari ini setidaknya terdapat dua agenda korporasi yakni:
Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) Dafam Property Indonesia (DFAM) dan Chandra Asri (TPIA)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
TIM RISET CNBC INDONESIA