Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini menjadi pekan terakhir di tahun 2022, di mana hanya beberapa hari lagi kita akan memasuki tahun baru 2023.
Banyak momen, mulai dari yang baik dan buruk terjadi di tahun ini. Namun, 2022 menjadi tahun yang kelam bagi industri kripto, padahal sebelumnya banyak yang memprediksi nilainya akan semakin tinggi.
Berbeda dengan tahun 2021, di mana kripto sempat naik daun akibat masih adanya pandemi Covid-19, sehingga orang-orang masih berbondong-bondong untuk memburu aset digital tersebut.
Bahkan di 2021, kripto mencetak kinerja terbaiknya, di mana kripto terbesar seperti Bitcoin dan Ethereum berhasil mencetak level tertinggi sepanjang masanya atau all time high (ATH), dua kali hanya dalam waktu setahun saja.
Tahun ini, 'buah manis' tersebut malah berbalik menjadi 'buah pahit'. Pasalnya, Bitcoin dan kripto lainnya jeblok di tahun ini.
Pada awal tahun ini, pergerakan kripto sudah mulai lesu dan sudah mulai membentuk tren bearish, karena bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) mengubah kebijakan easy money-nya menjadi hard money.
The Fed yang sebelumnya masih bersikap dovish, mulai tahun ini bersikap hawkish, di mana kenaikan suku bunga mulai terjadi pada tahun ini.
Inflasi yang sudah mulai sulit terbendung menjadi alasannya untuk bersikap hawkish. Alhasil, pasar kripto yang sebelumnya seperti bunga yang sedang mekar, pada tahun ini justru layaknya bunga yang sudah mulai layu.
Bitcoin, Ethereum, dan kripto lainnya mulai menjauhi level ATH pada awal tahun ini, setelah terhendus sikap hawkish The Fed. Bitcoin yang sebelumnya sempat bertengger di level psikologis US$ 65.000, pada awal tahun ini bertenggeri di level psikologis US$ 40.000.
Hingga hari ini, Bitcoin masih cenderung sideways di kisaran US$ 16.000, di mana Bitcoin terus bertahan di level tersebut sekitar satu bulan terakhir. Sepanjang tahun ini, Bitcoin ambruk hingga 64,58%.
Sedangkan untuk Ethereum, juga diperdagangkan di kisaran harga US$ 1.100 - 1.200 dalam sebulan terakhir. Adapun sepanjang tahun ini, Ethereum juga anjlok hingga 67,62%.
Setelah The Fed mengindikasikan untuk memerangi inflasi dengan cara menaikkan suku bunga, sekitar satu bulan kemudian, perang pecah di tanah bekas Uni Soviet, di mana Rusia-Ukraina memanas.
Pada 20 Februari 2022, menjadi titik awal panasnya kedua negara tersebut. Alasannya yakni Rusia tidak terima jika Ukraina bergabung dengan NATO.
Alhasil, kripto semakin merana dengan panasnya situasi di Rusia-Ukraina.
Dengan makin merananya kripto, banyak orang yang mulai khawatir bahwa eksistensi kripto mulai redup. Mereka mulai melakukan aksi pelepasan kripto sebagai bentuk kekhawatiran dari makin panasnya geopolitik Rusia-Ukraina saat itu.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Mei lalu, aksi lepas investor kripto pun mulai memakan korban, di mana salah satu developer kripto yakni Terraform Labs dihadapkan dengan kondisi yang sulit, di mana dua koin digital (token) besutannya yakni TerraUSD (UST) dan Terra Luna (LUNA) secara bersamaan ambruk dari level tertingginya menjadi level terendah sepanjang masanya.
Alhasil, kejatuhan UST dan LUNA pun membuat aset kripto semakin merana dan disinilah 'kehancuran' kripto dimulai.
Sebelum 'hancur', token LUNA sempat menyentuh ATH pada April lalu, yakni nyaris US$ 120 per keping, atau tepatnya di US$ 119,18 per keping. Namun pada pertengahan Mei tahun ini, token LUNA ambruk hingga 90%, hanya dalam sehari saja.
LUNA yang sempat dihargai nyaris US$ 120 per keping, ambruk hingga sekitar US$ 0,2. LUNA juga sempat menjadi aset kripto dengan kapitalisasi pasar terbesar keenam dengan nilai nyaris US$ 42 miliar.
Kejatuhan LUNA bukan tanpa sebab, token tersebut seperti menjadi 'tumbal' dari jatuhnya token UST yang gagal mempertahankan pasaknya di US$ 1. Asal tahu saja, token UST sempat ambruk ke 20 sen dolar, sehingga LUNA pun dipaksa untuk menyelamatkan sister coin-nya, UST, agar kembali ke US$ 1, dengan cara dibakar.
UST berbeda dengan stablecoin lainnya, di mana UST tidak punya aset dasar (underlying asset) berupa uang tunai dan aset lain yang disimpan sebagai cadangan sebagai pendukung tokennya.
UST menggantinya dengan campuran kode kompleks, bersama dengan 'saudara tokennya' yang masuk ke dalam kategori altcoin yakni Terra (LUNA), untuk menstabilkan harga.
Secara sederhana, protokol Terra menghancurkan dan membuat unit baru yakni UST dan LUNA untuk menyesuaikan pasokan. Jadi saat harga UST turun di bawah US$ 1, maka bisa dikeluarkan dan ditukarkan dengan LUNA, dengan begitu pasokan UST jadi lebih langka dan harganya bisa naik.
Namun, upaya penyelamatan UST pun gagal dan pada akhirnya membuat LUNA semakin merana. Alhasil, Bitcoin, Ethereum, dan kripto lainnya pun makin merana akibat makin parahnya koreksi UST dan LUNA.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Terraform Labs untuk menyelamatkan keduanya, di mana salah satunya yakni membuat koin baru dengan koin lama dilabeli 'classic', sehingga koin baru seakan menjadi 'nyawa' baru bagi UST dan LUNA. Tetapi, upaya ini pun juga gagal menarik perhatian investor.
Investor sudah cenderung tidak percaya lagi dengan proyek-proyek yang digarap oleh Terraforms Labs, baik itu membuat koin baru atau upaya lainnya. Bahkan, kejatuhan UST dan LUNA juga dikerapkan oleh aksi penipuan dari sang developer Terraform Labs yakni Do Kwon.
Bahkan, Do Kwon hingga kini masih menjadi buronan dunia dan parahnya, Kwon juga masih aktif di Twitter, di mana dia juga tidak jarang men-tweet terkait kripto. Bukannya menyesal, tetapi Do Kwon justru semakin besar kepala.
Hingga kini, belum diketahui penyebab pasti hancurnya UST dan LUNAw. Namun, peranan Do Kwon terbilang cukup besar terkait dengan kejatuhan UST dan LUNA.
Setelah peristiwa jatuhnya UST dan LUNA, cobaan yang dihadapi oleh kripto tidak berhenti sampai disitu saja. Sekitar satu bulan setelah kejadian Terra, mulai ada kejadian di mana beberapa perusahaan kripto besar dilanda krisis keuangan yang menyebabkan perusahaan tersebut terancam bangkrut.
Adapun perusahaan tersebut yakni Celsius Networks dan Three Arrows Capital (3AC). Keduanya merupakan perusahaan kripto dengan jenis usaha yang berbeda, tetapi juga melayani usaha yang sama yakni peminjaman kripto.
Celsius merupakan perusahaan crypto landing yang berbasis di New Jersey, Amerika Serikat (AS). Celsius membuat heboh dunia kripto setelah pihaknya membekukan penarikan dan transfer antar akun investor dengan alasan untuk menstabilkan likuiditas.
Dalam sebuah video yang dipublikasikan saat itu, kepala keuangan perusahaan mengatakan Celsius, bersama dengan perusahaan kripto sejenis lainnya telah melihat penebusan meningkat setelah crash cryptocurrency pertama di awal Mei lalu karena kejatuhan stablecoin Terra, UST.
Bahkan, Celsius juga telah berinvestasi dalam protokol Anchor yang menawarkan return hingga 20% untuk deposit TerraUSD (UST). Saat harga UST jatuh, Celsius menarik lebih dari US$ 535 juta aset kripto dari Anchor.
Dengan hal ini, tentunya krisis Celsius merupakan dampak secara langsung dari kejatuhan Terra, karena Celsius sendiri memiliki eksposur di Terra.
Alhasil, krisis Celsius pun berdampak ke perusahaan lainnya, terutama perusahaan-perusahaan yang menjadi debiturnya.
Pada Oktober 2021, aset Celsius mencapai US$ 25 miliar. Tetapi pada Mei lalu, asetnya turun menjadi US$ 11,8 miliar.
Belum selesai masalah Celsius, krisis kembali menerpa kripto, di mana perusahaan serupa yakni 3AC juga terkena krisis akibat masalah likuiditas, mirip seperti yang dialami oleh Celsius.
3AC (Three Arrows Capital) merupakan salah satu perusahaan dana lindung nilai kripto (crypto hedge fund) terbesar di dunia. 3AC bermarkas di Singapura.
Bahkan, 3AC sempat dinyatakan gagal bayar (default) oleh salah satu krediturnya yakni Voyager Digital, sebuah perusahaan broker kripto yang berbasis di New York, AS.
Saat itu, 3AC gagal memenuhi kewajiban pinjamannya senilai lebih dari US$ 670 juta atau sekitar Rp 9,93 triliun (asumsi kurs Rp 14.825/US$) kepada Vogaer.
Adapun secara terperinci, 3AC gagal membayar kembali pinjamannya sebesar US$ 350 juta (Rp 5,19 triliun) dalam bentuk stablecoin USD Coin (USDC) dan sebanyak 15.250 Bitcoin yang dipatok dolar AS dengan nilainya sekitar US$ 323 juta (Rp 4,79 triliun).
Namun, banyak yang mengisukan bahwa masalah 3AC sudah mulai terjadi jauh sebelum krisis likuiditas, di mana tampaknya masalah 3AC dimulai pada awal Juni 2022, setelah Zhu men-tweet yang agak samar bahwa perusahaan sedang "dalam proses berkomunikasi dengan pihak terkait" dan "berkomitmen penuh untuk menyelesaikan masalah ini".
Ada yang beranggapan bahwa 3AC tersandung krisis likuditas karena 3AC gagal memenuhi margin call saat itu, tetapi ada pula yang beranggapan bahwa penyebab jatuhnya 3AC bukan karena gagal memenuhi margin call, tetapi lebih dari itu.
Bahkan, ada isu bahwa 3AC juga memiliki eksposur Terra, sehingga kejatuhannya juga dampak langsung dari hancurnya token dan ekosistem Terra.
Lagi dan lagi, kasus 3AC pun turut menyulitkan kripto untuk bangkit kembali saat itu.
Beberapa bulan setelah kasus 3AC dan Celsius, Bitcoin sempat sedikit pulih dari koreksi parahnya, hingga menyentuh level psikologis US$ 24.000. Ethereum pun juga sama, yakni sempat nyaris menyentuh level psikologis US$ 2.000.
Kemudian pada September lalu, sempat ada kabar baik yang juga menjadi sejarah baru yakni dari proses upgrade blockchain Ethereum, di mana upgrade ini disebut sebagai Ethereum Merge atau The Merge.
Upgrade ini dilakukan untuk mengubah sistem kerja blockchain Ethereum, dari sebelumnya bersistem proof-of-work (PoW) menjadi proof-of-stake (PoS).
Namun, sejarah baru ini pada akhirnya tidak dapat mengangkat Ethereum benar-benar mencapai level psikologis US$ 2.000. Bahkan, Ethereum pun kembali ke bawah US$ 2.000.
Setelah beberapa bulan setelah kejadian 'klimaks' Celsius dan 3AC pada Juni-Juli lalu, krisis kembali menghantui pasar kripto, di mana bursa kripto terbesar kedua di dunia yakni FTX pun tak luput dari krisis parah kripto.
Awal hingga pertengahan November lalu menjadi awal mula terjadinya krisis FTX dan memicu 'longsor' untuk ketiga kalinya di pasar kripto.
Awal mula krisis likuiditas yang membuat heboh di kalangan investor adalah berasal dari situs berita kripto, CoinDesk pada 2 November lalu melaporkan adanya kebocoran balance sheet Alameda Research, perusahaan afiliasi FTX yang sangat bergantung pada token utilitas FTX, yakni FTX Token (FTT).
Alameda tidak hanya memiliki banyak FTT di neraca, tetapi juga telah menggunakan FTT sebagai jaminan pinjaman. Eksekutif menyangkal hal ini dan mengatakan itu melukiskan gambaran yang tidak lengkap yang tidak mencerminkan lindung nilai (hedging) yang mengimbangi pertukaran yang ada.
Beberapa hari setelah kabar tersebut tersebar, FTT senilai US$ 584 juta ditransfer ke bursa kripto Binance sebagai bagian dari proses likuidasi. CEO Binance Changpeng Zhao kemudian menegaskan ini adalah langkah yang disengaja. Hal tersebut memicu penarikan FTT besar-besaran.
Di tengah kisruh ini, Caroline Ellison, CEO Alameda menuliskan di akun Twitter-nya menawarkan untuk membeli kembali FTT dengan harga pasar yang berlaku saat itu. Dia juga men-tweet bahwa Alameda Research memiliki aset US$ 10 miliar yang tidak dilaporkan dalam neraca yang bocor.
Kemudian pada 7 November lalu, harga FTT terus menurun dan Alameda mulai menjual token Solana (SOL) untuk menjaga harga FTT di atas US$ 22 per keping.
Sementara itu, Zhao menjual FTT untuk membeli token Binance (BNB). FTX hentikan penarikan aset, namun CEO FTX, Sam Bankman-Fried (SBF) menyatakan jika FTX masih baik-baik saja, aset-aset juga baik-baik saja, yang saat ini tweet-nya sudah dihapus.
Pada Selasa pekan lalu, penurunan FTT makin tak terhindarkan akibat penarikan besar-besaran oleh trader yang memegang token tersebut. Pada akhirnya FTT anjlok 72%.
SBF kemudian meminta bantuan pada Zhao dan pemilik Binance tersebut mengatakan akan mengakuisisi FTX namun perlu melakukan due diligence lebih dulu.
Dua hari kemudian, Binance pun mengurungkan niatnya untuk mengakuisisi FTX, karena Zhao menilai masalah FTX terlalu besar untuk diatasi. Mulai dari sini, regulator Amerika Serikat (AS) dilaporkan mulai menyelidiki FTX karena masalah likuiditas dan dugaan penyelewengan dana.
Alhasil, setelah Binance batal mengakuisisi FTX, pasar merespons negatif dengan melepas kepemilikannya di kripto, termasuk di Bitcoin dan Ethereum, yang membuat harganya kembali merana, setelah sempat pulih.
SBF pun mengumumkan bahwa Alameda akan menghentikan perdagangan pada hari Kamis sebagai upaya untuk menyelamatkan FTX. Namun, SBF belum menyerah dan masih berusaha untuk mencari cara untuk meningkatkan likuiditas.
Tetapi bagaimanapun, krisis FTX memang sudah sulit untuk ditanggulangi dan terancam dilanda kebangkrutan. FTX masih membutuhkan dana sekitar US$ 9,4 miliar. SBF dilaporkan dalam pembicaraan untuk mengumpulkan uang dari pertukaran saingan OKX dan penerbit stablecoin Tether (USDT).
Dia juga mencari suntikan dana dari investor FTX saat ini, termasuk Sequoia Capital. Dia berhasil mencapai kesepakatan dengan Justin Sun, pendiri jaringan blockchain Tron, untuk memungkinkan pemegang token terkait Tron menarik kepemilikan mereka dari FTX.
Pada 11 November, FTX pada akhirnya mengajukan kebangkrutan Chapter 11. Manajemen FTX juga mengumumkan bahwa SBF mengundurkan diri sebagai CEO. Kini SBF tengah menghadapi serangkaian sidang atas dugaan penyebab krisis yang terjadi di FTX dan Alameda.
Kondisi pasar kripto di tahun 2022 cenderung berbalik dengan tahun 2021. Di 2021, banyak orang yang membela habis-habisan aset digital ini, hingga membuatnya semakin 'naik daun'. Tetapi tahun ini, kripto malah makin ditinggalkan.
Orang-orang yang mulai meninggalkan kripto bukanlah tanpa sebab. Hal ini karena banyaknya serangkaian peristiwa yang justru sangat merugikan investor yang memiliki aset kripto di portofolionya.
Hal ini juga terbukti dengan terus mendatarnya Bitcoin dan Ethereum menjelang akhir tahun, seakan keduanya tak lagi mempunyai 'cahaya'.
Namun banyak yang bertanya-tanya, apakah tahun 2022 merupakan tahun yang paling 'apes' bagi kripto, dibandingkan dengan kejatuhan terparah sebelumnya di tahun 2014?
Tren bearish kripto di 2022 cenderung mirip dengan 2014, di mana kasus serupa FTX juga pernah terjadi, yakni di bursa kripto asal Jepang, Mt Gox. Kejadian Mt. Gox terjadi karena adanya kasus peretasan secara masif, sehingga membuat bursa kripto tersebut pun mengalami kejatuhan.
Ketika Mt Gox pailit, banyak bursa lainnya yang ikut terseret karena aset bursa tersebut banyak yang disimpan di situ dan tidak bisa cair dari Mt Gox. Kejadian FTX dan Mt Gox efeknya sistematik dan domino.
Namun, menurut perusahaan analisis blockchain Chainalysis, ternyata keruntuhan FTX berdampak lebih kecil jika dibandingkan dengan keruntuhan Mt Gox.
Bahkan, platform penyedia data on-chain Glassnode menyatakan, bear market imbas dari ambruknya Mt. Gox hampir satu dekade lalu masih lebih parah dari bear market tahun ini.
Dalam sebuah utas di Twitter pada 23 November lalu, Kepala Peneliti Chainalysis, Eric Jardine, mengatakan kejatuhan Mt. Gox lebih mematikan karena pada saat itu 46% dari total inflow seluruh bursa berasal dari Mt Gox. Angkanya cukup besar jika dibandingkan dengan inflow FTX yang hanya 13% dari total inflow seluruh bursa.
Inflow bursa di tahun ini juga terbagi antara centralized exchange (CEX) dan decentralized exchange (DEX), seperti Uniswap dan Curve. Jadi, tidak ada kesempatan bagi CEX untuk menguasai bursa kripto sendirian, seperti yang dilakukan Mt Gox.
Jardine menjelaskan, saat kripto kolaps pada 2014, Mt. Gox merupakan bursa kripto terbesar di dunia yang menangani lebih dari 70% volume perdagangan Bitcoin secara global. Posisinya berbeda dengan FTX yang merupakan bursa kripto terbesar kedua di dunia dengan volume perdagangan yang jauh di bawah Binance.
Dengan dominasi yang cukup besar dalam ekosistem kripto, keruntuhan Mt. Gox membawa malapetaka yang juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan keruntuhan FTX. Terlebih Bitcoin yang hilang dari Mt. Gox mencapai 840.000, terbesar sepanjang sejarah peretasan kripto.
Setelah porak-poranda oleh Mt. Gox, industri kripto harus menjalani masa pemulihan dengan volume transaksi on-chain yang stagnan selama lebih dari setahun sebelum akhirnya kembali menggeliat.
Peretasan Mt. Gox saat itu berperan besar menekan nilai Bitcoin hingga 85% dari ATH di US$ 1.100 menjadi US$ 211. Setelah mencapai bottom pada Januari 2015, Bitcoin baru kembali mencapai ATH baru pada Desember 2017.
Sementara itu, meski belum diketahui ada berapa banyak perusahaan yang akan terkena efek domino dari keruntuhan FTX, insiden ambruknya bursa kripto milik Sam Bankman-Fried (SBF) ini telah menekan harga Bitcoin hingga 25% ke titik terendah dalam siklus bear market kali ini. Bitcoin juga sudah turun hingga 77% dari ATH-nya di US$ 69.000 pada November 2021.
Menurut data CryptoQuant, nilai kerugian FTX dan Mt. Gox dalam dolar AS hampir setara. Sebanyak 840.000 Bitcoin yang diretas dari Mt. Gox saat itu senilai dengan US$ 460 juta. Sementara 20.000 Bitcoin yang hilang dari FTX saat ini senilai sekitar US$ 400 juta.
Jardina yakin perbandingan ini bisa memberikan rasa optimis bagi investor bahwa sebenarnya industri kripto pernah mengalami kehancuran yang lebih buruk dari FTX. Waktu kemudian membuktikan pasar bisa kembali bangkit dan bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA