
Kripto Tak Seindah Prediksi, Bitcoin Cs Hancur Lebur!

Kondisi pasar kripto di tahun 2022 cenderung berbalik dengan tahun 2021. Di 2021, banyak orang yang membela habis-habisan aset digital ini, hingga membuatnya semakin 'naik daun'. Tetapi tahun ini, kripto malah makin ditinggalkan.
Orang-orang yang mulai meninggalkan kripto bukanlah tanpa sebab. Hal ini karena banyaknya serangkaian peristiwa yang justru sangat merugikan investor yang memiliki aset kripto di portofolionya.
Hal ini juga terbukti dengan terus mendatarnya Bitcoin dan Ethereum menjelang akhir tahun, seakan keduanya tak lagi mempunyai 'cahaya'.
Namun banyak yang bertanya-tanya, apakah tahun 2022 merupakan tahun yang paling 'apes' bagi kripto, dibandingkan dengan kejatuhan terparah sebelumnya di tahun 2014?
Tren bearish kripto di 2022 cenderung mirip dengan 2014, di mana kasus serupa FTX juga pernah terjadi, yakni di bursa kripto asal Jepang, Mt Gox. Kejadian Mt. Gox terjadi karena adanya kasus peretasan secara masif, sehingga membuat bursa kripto tersebut pun mengalami kejatuhan.
Ketika Mt Gox pailit, banyak bursa lainnya yang ikut terseret karena aset bursa tersebut banyak yang disimpan di situ dan tidak bisa cair dari Mt Gox. Kejadian FTX dan Mt Gox efeknya sistematik dan domino.
Namun, menurut perusahaan analisis blockchain Chainalysis, ternyata keruntuhan FTX berdampak lebih kecil jika dibandingkan dengan keruntuhan Mt Gox.
Bahkan, platform penyedia data on-chain Glassnode menyatakan, bear market imbas dari ambruknya Mt. Gox hampir satu dekade lalu masih lebih parah dari bear market tahun ini.
Dalam sebuah utas di Twitter pada 23 November lalu, Kepala Peneliti Chainalysis, Eric Jardine, mengatakan kejatuhan Mt. Gox lebih mematikan karena pada saat itu 46% dari total inflow seluruh bursa berasal dari Mt Gox. Angkanya cukup besar jika dibandingkan dengan inflow FTX yang hanya 13% dari total inflow seluruh bursa.
Inflow bursa di tahun ini juga terbagi antara centralized exchange (CEX) dan decentralized exchange (DEX), seperti Uniswap dan Curve. Jadi, tidak ada kesempatan bagi CEX untuk menguasai bursa kripto sendirian, seperti yang dilakukan Mt Gox.
Jardine menjelaskan, saat kripto kolaps pada 2014, Mt. Gox merupakan bursa kripto terbesar di dunia yang menangani lebih dari 70% volume perdagangan Bitcoin secara global. Posisinya berbeda dengan FTX yang merupakan bursa kripto terbesar kedua di dunia dengan volume perdagangan yang jauh di bawah Binance.
Dengan dominasi yang cukup besar dalam ekosistem kripto, keruntuhan Mt. Gox membawa malapetaka yang juga jauh lebih besar jika dibandingkan dengan keruntuhan FTX. Terlebih Bitcoin yang hilang dari Mt. Gox mencapai 840.000, terbesar sepanjang sejarah peretasan kripto.
Setelah porak-poranda oleh Mt. Gox, industri kripto harus menjalani masa pemulihan dengan volume transaksi on-chain yang stagnan selama lebih dari setahun sebelum akhirnya kembali menggeliat.
Peretasan Mt. Gox saat itu berperan besar menekan nilai Bitcoin hingga 85% dari ATH di US$ 1.100 menjadi US$ 211. Setelah mencapai bottom pada Januari 2015, Bitcoin baru kembali mencapai ATH baru pada Desember 2017.
Sementara itu, meski belum diketahui ada berapa banyak perusahaan yang akan terkena efek domino dari keruntuhan FTX, insiden ambruknya bursa kripto milik Sam Bankman-Fried (SBF) ini telah menekan harga Bitcoin hingga 25% ke titik terendah dalam siklus bear market kali ini. Bitcoin juga sudah turun hingga 77% dari ATH-nya di US$ 69.000 pada November 2021.
Menurut data CryptoQuant, nilai kerugian FTX dan Mt. Gox dalam dolar AS hampir setara. Sebanyak 840.000 Bitcoin yang diretas dari Mt. Gox saat itu senilai dengan US$ 460 juta. Sementara 20.000 Bitcoin yang hilang dari FTX saat ini senilai sekitar US$ 400 juta.
Jardina yakin perbandingan ini bisa memberikan rasa optimis bagi investor bahwa sebenarnya industri kripto pernah mengalami kehancuran yang lebih buruk dari FTX. Waktu kemudian membuktikan pasar bisa kembali bangkit dan bahkan lebih kuat dari sebelumnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)[Gambas:Video CNBC]
