Jakarta, CNBC Indonesia - Pertempuran bank-bank Singapura dalam menaikkan bunga simpanan menjadi alarm bahaya bagi Indonesia. Perang bunga tersebut dikhawatirkan semakin menguras pasokan dolar Amerika Serikat (AS) di pasar domestik.
Dalam beberapa bulan terakhir, bank-bank Singapura bersaing ketat dalam menarik dana nasabah. Tiga bank besar mereka DBS, OCBC Bank, dan UOB bahkan sangat agresif dalam menaikkan bunga simpanan, termasuk deposito berdenominasi dolar AS.
Dilansir dari Channel News Asia, perang bunga pun kini tengah terjadi di industri perbankan Singapura.
Perang bunga simpanan di Singapura merupakan langkah industri perbankan untuk menarik lebih banyak nasabah di tengah kebijakan moneter bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang sangat agresif.
Dengan memiliki lebih banyak simpanan maka perbankan diharapkan bisa menekan bunga pinjaman kepada calon peminjam.
Langkah sangat agresif baru saja dilakukan UOB. Pada awal Desember 2022, bank terbesar ketiga di Singapura tersebut menaikkan bunga simpanan UOB One Account dari 3,6% menjadi 7,8% per tahun.
Tingkat bunga tersebut adalah yang tertinggi sejak jenis simpanan tersebut dikenalkan pada tujuh tahun lalu.
UOB juga menawarkan bunga tinggi untuk deposito dolar AS. Untuk tenor 1-12 bulan, bunga nya menyentuh 3,8 - 4,66%. Bandingkan dengan bunga deposito dolar AS di BCA yang ada di kisaran 0,75-1,75%
Sebelum UOB, DBS dan OCBC juga berlomba-lomba menaikkan bunga simpanan agar menarik lebih banyak nasabah, termasuk eksportir Indonesia.
Bunga deposito dolar AS tenor 1-12 bulan di OCBC kini ada di 3,63- 4,55% sementara di DBS di 3,87 - 4,72%.
Kisaran bunga tersebut berselisih hampir 2% dibandingkan tingkat bunga penjaminan valas Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) 1 bulan yang di angka 1,75%, berlaku untuk periode 9 Desember 2022 hingga 31 Januari 2023.
Data Bahana Sekuritas menunjukkan bunga deposito denominasi dolar AS di bank-bank Singapura kini jauh lebih tinggi dibandingkan bank dalam negeri.
Kondisi ini merupakan anomali dan hampir tidak pernah terjadi pada 12 tahun terakhir. Pengecualian terjadi pada 2018 di mana pada tahun tersebut The Fed mengumumkan kebijakan moneter ketatnya.
Dalam kondisi normal, bunga deposito simpanan dolar AS di bank Indonesia akan lebih tinggi 2% dibandingkan bunga di bank Singapura.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan yang terjadi saat ini.
Sejak awal 2022, bank-bank Singapura dengan cepat menaikkan bunga simpanan mereka sejalan dengan kenaikan suku bunga acuan di Singapura dan di AS.
 Foto: Bahana Sekuritas Perbandingan bunga deposito di bank Indonesia dan Singapura |
Deposito dolar AS UOB untuk tenor 1 bulan, misalnya, naik dari kisaran 0% pada Januari 2022 meloncat ke 4,4%. Sementara itu, bunga penjaminan valas LPS bergerak dari 0,25% pada Janauari 2022 menjadi 1,75%.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan Bank Indonesia (BI) dan pemerintah tentu sadar dengan perang rate di bank-bank Singapura dan tidak akan berdiam diri.
Pasalnya, perkembangan pasar keuangan di Singapura akan sangat berdampak kepada pasar keuangan domestik.
"Situasi ini mungkin memperngaruhi outlook suku bunga BI. Terlebih, respon bank-bank lokal terhadap kenaikan suku bunga BI yang agresif BI masih lamban," tutur Satria, kepada CNBC Indonesia.
Sementara itu, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan agresivitas bank Singapura kemungkin masih akan berlanjut. Mereka aka menaikkan bunga simpanan begitu BI menaikkan suku bunga.
"Bank-bank di Singapura pasti akan langsung adjust suku bunga valasnya. BI akan kembali menaikkan suku bunga acuannya dan kalau kalah bersaing ya memang akan tight liquidity valasnya," ujar Andry, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan bank-bank dalam negeri bisa saja mengikuti langkah bank-bank Singapura dengan menaikkan bunga deposito valas. Namun, tidak semua bank akan mampu melakukannya.
"Tergantung kondisi likuiditas masing-masing bank dan projection dari loan growth ke depannya. Kalau masih ample, mestinya penyesuain terbatas," ujar Andry.
Lebih besarnya bunga deposito dolar AS di Singapura merupakan salah satu faktor keringnya pasokan dolar di Tanah Air. Dengan iming-iming bunga yang lebih tinggi, eksportir Indonesia akan lebih tertarik menaruh pendapatan ekspor atau dana valas mereka di Singapura.
Kondisi tersebut setidaknya tercermin dari cadangan devisa (cadev). Cadev Indonesia terus menurun pada tahun ini. Kondisi ini berbanding terbalik dengan besarnya surplus neraca perdagangan 2022.
Cadev pada akhir November 2022 tercatat US$ 134 miliar. Jika menilik posisi cadev per Desember 2021 yang tercatat US$ 144,9 miliar maka pada tahun ini cadev sudah terkuras US$ 10,9 miliar.
Padahal, surplus neraca perdagangan Januari-Oktober 2022 menembus US$ 45,52 miliar.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode 2019. Posisi cadev per Desember 2019 mencapai US$ 129,18 miliar atau naik US$ 8,48 miliar sepanjang tahun tersebut.
Neraca perdagangan pada 2019 tercatat defisit sebesar US$ 3,2 miliar.
Semakin menipisnya cadev di tengah limpahan surplus neraca perdagangan adalah cerminan jika banyak devisa hasil ekspor (DHE) yang tidak mampir ke Indonesia tapi malah parkir di negara lain.
Untuk mengurangi praktek tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah meminta Bank Indonesia (BI) membentuk mekanisme agar dolar AS di Tanah Air bertahan lebih lama.
"Dari BI (Bank Indonesia) bisa buat sebuah mekanisme sehingga ada periode tertentu cadangan devisa yang bisa disimpan dan diamankan di dalam negeri," jelas Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Rabu (7/1/2022).
Secara aturan, Indonesia memang belum bisa memaksa eksportir untuk menahan DHE nya dalam jangka waktu tertentu atau mengkonversi dolar mereka.
Aturan yang ada hanya meminta eksportir untuk melaporkan dan memasukkan DHE ke bank dalam negeri. Tidak ada kewajiban untuk menahannya dalam jangka waktu tertentu sehingga DHE bisa keluar dengan cepat.
Indonesia juga tidak lagi menganut rezim kontrol devisa. Indonesia kini menganut rezim devisa bebas sejak dikeluarkannya Undang-Undang mengenai Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar diatur di dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1999.
Dalam rezim devisa bebas maka negara membebaskan lalu lintas devisa di mana perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk/residen dan non penduduk/non-resident termasuk aset dan kewajiban luar negeri.
Goncangan pasar keuangan pada 2018 menjadi pelajaran pahit bagi Indonesia. Derasnya capital outflow membuat nilai tukar rupiah ambruk.
Pemerintah dan BI kemudian mengeluarkan aturan kepada eksportir untuk melaporkan pendapatan ekspor mereka. Pemerintah juga memberikan insentif yakni pajak yang lebih rendah untuk simpanan dolar AS.
Sesuai Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 212/PMK.03/2018, besaran tarif pajak deposito dolar AS berbeda-beda besarnya, tergantung berapa lama DHE tersebut di parkiran.
Besaran tarifnya berkisar antar 0% hingga 10% dengan jangka waktu satu bulan hingga lebih dari enam bulan. Semakin lama DHE diparkirkan di perbankan nasional, maka semakin murah tarif pajak yang diterimanya.
BI juga menerbitkan peraturan Bank Indonesia Nomor 21/14/PBI/2019 tentang Devisa Hasil Ekspor dan Devisa Pembayaran Impor.
Aturan tersebut mewajibkan eksportir untuk melaporkan pendapatan ekspor dan memasukkan DHE mereka. BI juga memberikan sanksi kepada eksportir yang tidak patuh.
Pertengahan Juli lalu, BI bahkan memperpanjang batas waktu pengajuan pembebasan Sanksi Penangguhan Ekspor (SPE) hingga akhir Desember 2022.
TIM RISET CNBC INDONESIA