IHSG & Rupiah Jeblok, Ada Apa Ekonomi RI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang tutup tahun bukan momen yang indah bagi pasar keuangan di Tanah Air. Rupiah mencatat pelemahan 3 hari beruntun melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (29/11/2022).
Dari pantauan CNBC Indonesia, rupiah bahkan menyentuh level terlemah dalam lebih dari dua setengah tahun terakhir.
Mata uang Garuda sebenarnya sempat menguat ke Rp 15.690/US$ kemarin, Selasa (30/11/2022). Sayangnya, penguatan rupiah tidak bertahan lama. Rupiah berbalik melemah 0,17% menyentuh Rp 15.746/US$. Mengutip data Refinitiv, Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 16 April 2020.
Di akhir perdagangan, rupiah berada di Rp 15.740/US$, melemah 0,13% di pasar spot.
Di saat bersamaan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tampak terseok-seok di level 7.000. Pada perdagangan kemarin, IHSG kembali mencicipi zona merah setelah terdepresiasi 0,23% ke 7.000,25.
Pergerakan IHSG memang tercatat bergerak sideways dalam 2 bulan terakhir. IHSG hanya bergerak di rentang 7.000 hingga 7.100 dan jarang mampu bertahan lama di atas level 7.100.
Melihat pergerakan rupiah dan IHSG, tak pelak publik bertanya ada apa sebenarnya dengan kondisi ekonomi Indonesia?
Pelemahan rupiah memang menjadi sorotan pada semester kedua tahun ini. Agresifitas bank sentral AS digadang-gadang menjadi pemicu pelemahan rupiah. Di sisi lain, permintaan dolar AS untuk kebutuhan impor dan wisata akhir tahun ke luar negeri ikut menekan mata uang Garuda.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menegaskan bahwa pihaknya tengah berusaha keras membalikkan posisi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus melemah di atas Rp 15.600 ke posisi titik tengah di kisaran Rp 15.000.
"Kami coba ke titik tengah yang pernah kami sampaikan dulu yaitu Rp 15.000. Ini pun dengan kejadian Juli sampai sekarang sudah effort yang luar biasa," kata Perry dalam rapat kerja dengan DPR RI, dikutip Rabu (30/11/2022).
Upaya membalikkan posisi rupiah ke titik tengah perkiraan pertengahan tahun lalu sebesar Rp 14.800-15.200 ini menurutnya bagian dari upaya BI untuk menjaga konsistensi pergerakan rupiah di tengah tekanan perekonomian global.
Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Indonesia membukukan kinerja gemilang hampir sepanjang tahun ini. Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan bahwa ekonomi Indonesia telah tumbuh 6,6% sejak pandemi hingga saat ini.
Menurut Sri Mulyani, pertumbuhan yang tinggi ini menunjukkan pemulihan ekonomi Indonesia yang lebih baik dari negara lain. Bahkan, jauh lebih baik jika dibandingkan dengan beberapa negara maju di G20.
Hal ini dirasakan Sri Mulyani karena pertumbuhan ekonomi Indonesia yang cukup baik secara kuartalan.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia empat kuartal berturut-turut di atas 5%, sudah 6,6% di atas prapendemi level. Pemulihan relatif kuat dan cepat dibandingkan negara lain," jelas Sri Mulyani dalam konferensi APBN Kita beberapa waktu lalu.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal I-2022 tumbuh 5% (year on year/yoy), meningkat menjadi 5,4% (yoy) pada Kuartal II-2022 dan naik lagi menjadi 5,7% (yoy) pada Kuartal III-2022.
Namun, jangan senang dulu, CEIC Leading Indicator menunjukkan kinerja ekonomi Tanah Air turun selama enam bulan berturut-turut, menjadi 94.38 pada September lalu dari 99.11 di bulan Agustus.
Artinya, perekonomian Indonesia mengalami kontraksi karena berada di bawah angka 100. CEIC Leading Indicator adalah sebuah indikator prediksi situasi ekonomi keluran CEIC berdasarkan gabungan sejumlah data penting dalam negeri seperti inflasi, pasar finansial, moneter, pasar tenaga kerja, konstruksi, perdagangan hingga industri.
Salah satu yang menjadi pemicunya adalah penurunan harga komoditas yang membuat kinerja ekspor Indonesia tertekan. Harga minyak kelapa sawit memang turun pada September, rerata US$ 1,078.5 per ton di September, turun 44% dari puncak harga di Maret.
Ini juga terkonfirmasi pada catatan ekspor nonmigas bulan September lalu yang turun 10,31% dibanding Agustus 2022, menjadi US$23,48 miliar. Meskipun, secara tahunan naik 19,26%.
Hal yang sama juga dikonfirmasi secara moneter, dimana terjadi perlambatan likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada September 2022.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan posisi M2 pada bulan lalu tercatat sebesar Rp7.962,7 triliun atau tumbuh 9,1% (yoy), setelah tumbuh sebesar 9,5% (yoy) pada Agustus 2022.
![]() Petugas menghitung uang dolar di tempat penukaran uang Dolarindo, Melawai, Blok M, Jakarta, Senin, (7/11/ 2022) |
Tidak hanya itu, kinerja sektor manufaktur Indonesia mulai mengalami kontraksi dalam dua bulan terakhir. Hal ini ditandai dengan penurunan kinerja Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur Indonesia.
PMI manufaktur Indonesia pada Oktober tercatat sebesar 51,8 atau turun dari capaian September sebesar 53,7. Penurunan ini dipicu oleh kondisi ekonomi global yang melambat.
Fenomena ini rupanya ditangkap oleh Sri Mulyani. Dia pun mengaku mulai waspadai sektor manufaktur di Indonesia.
"Yang perlu kita lihat dan waspada adalah PMI Manufaktur kita. Selama 14 bulan ini ada di level ekspansif, namun di bulan terakhir adanya penurunan. Ini yang harus kita waspadai, karena menyangkut manufaktur yang penting," jelas Sri Mulyani.
Meskipun melambat, Sri Mulyani mencatat kapasitas produksi mengalami peningkatan dan mendekat level sebelum pandemi. "Sektor manufaktur sebetulnya terus meningkatkan kegiatan, hingga kapasitas produksi sama seperti sebelum pandemi," tuturnya.
Namun, Sri Mulyani masih ragu apakah level tersebut akan mampu bertahan dalam menghadapi gejolak perekonomian ke depan.
"Melihat level ini bisa dan harus bertahan di dalam menghadapi guncangan-guncangan global. Ini menjadi tantangan kita memasuki tahun 2023," ujar Sri Mulyani lagi.
Dengan demikian, Sri Mulyani telah mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2022 ini akan mengalami perlambatan. Hal ini mempertimbangkan siklus ekonomi yang biasanya mengalami perlambatan di akhir tahun dan efek high base dari tahun lalu.
[Gambas:Video CNBC]
Top! Jelang Rilis Data Ekonomi AS, IHSG Sesi I Berakhir Hijau
(haa/haa)