Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kembali tertekan pada penutupan perdagangan Selasa (29/11/2022), tercermin dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah yang kompak melemah, serta, pasar obligasi masih bergerak variatif.
Melansir data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG kembali ditutup di zona merah, terkoreksi tipis 0,08% ke posisi 7.012,07.
Meski IHSG melemah, asing masih net buy senilai Rp 777,21 miliar di seluruh pasar. Nilai transaksi indeks kemarin juga mencapai sekitar Rp 15 triliun dengan melibatkan 25 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,5 juta kali. Sebanyak 238 saham menguat, 274 saham melemah dan 191 saham stagnan.
Saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBCA) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya pada perdagangan hari ini, yakni mencapai Rp 802,9 miliar.
Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 734,8 miliar dan saham PT Astra International Tbk (ASII) di posisi ketiga sebesar Rp 701,1 miliar.
IHSG terbebani oleh empat indeks sektoral, yakni sektor teknologi yang terjun bebas 2,8%, sektor keuangan tertekan 0,19%, serta sektor transportasi dan infrakstrutur yang melemah masing-masing sebesar 0,15% dan 0,01%.
Dibalik tertekannya kinerja saham Tanah Air. Sebaliknya, Indeks Hang Seng Hong Kong memimpin penguatan bursa Asia-Pasifik pada hari ini, yakni meroket 5,24% ke posisi 18.204,68. Sedangkan Shanghai Composite China juga ditutup bergairah yakni melejit 2,31% menjadi 3.149,75.
Sementara untuk indeks Straits Times Singapura melonjak 1,12% ke posisi 3.276,36, ASX 200 Australia menguat 0,33% ke 7.253,3, dan KOSPI Korea Selatan melesat 1,04% menjadi 2.433,39.
Sedangkan, indeks Nikkei 225 Jepang melemah 0,48% ke posisi 28.027,84.
Hal serupa terjadi pada nilai tukar rupiah yang juga berakhir melemah 0,13% ke Rp 15.740/US$. Dengan begitu, Mata Uang Garuda telah tertekan selama tiga hari beruntun dari pekan lalu.
Pada perdagangan kemarin, rupiah sebenarnya sempat menguat ke Rp 15.690/US$ pada awal perdagangan. Tetapi tidak lama langsung berbalik melemah 0,17% menyentuh Rp 15.746/US$. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak 16 April 2020. Rupiah terbebani oleh laju indeks dolar AS yang terpantau menguat 0,15% ke posisi 106,8.
Bahkan, Mata Uang Tanah Air diprediksikan akan menutup tahun di kisaran Rp 15.500- 16.000/US$. Perkiraan ini dipaparkan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk. David E. Sumual saat dihubungi CNBC Indonesia pada Selasa (29/11/2022). Menurutnya, nilai tukar rupiah masih undervalued dan dia menilai sulit untuk mengharapkan penguatan rupiah dalam sisa tahun ini.
"Memang agak susah rupiah menguat secara fundamental karena tekanan kebijakan moneter the Fed," ujar David.
Selain tekanan the Fed, dia melihat permintaan dolar AS masih besar di akhir tahun ini. Tingginya permintaan ini dipicu oleh kenaikan impor barang konsumsi dan kebutuhan dolar dari masyarakat yang berwisata ke luar negeri di akhir tahun.
Namun, dia mengingatkan bahwa secara volatilitas, nilai tukar rupiah termasuk yang paling rendah dibandingkan emerging market atau negara berkembang lainnya.
"Jangan dilihat levelnya, Rp16.000 itu 1% atau 2% (dari level saat ini, Rp 15.700). Paling penting bagi pengusaha itu volatilitasnya," paparnya.
Harga obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) kembali ditutup bervariasi pada perdagangan kemarin, ditandai dengan bervariasinya pergerakan imbal hasil (yield) SBN. Namun, hanya SBN tenor 15 tahun yang masih diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.
Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 15 tahun turun 1,2 basis poin (bp) ke posisi 6,934 pada perdagangan hari ini.
Sementara untuk yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) cenderung tidak berubah yakni masih berada di posisi 6,947%.
Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.
Beralih ke Negeri Paman Sam, bursa saham Wall Street berakhir cenderung melemah pada perdagangan Selasa (29/11), di mana investor masih menantikan rilis data ekonomi pekan ini.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) berakhir naik tipis 0,01% ke 33.852,53. Namun, indeks S&P 500 terkoreksi 0,16% ke 3.957,63 dan Nasdaq Composite tergelincir 0,59% ke 10.983,78.
Dengan begitu, indeks S&P 500 dan Nasdaq telah terkoreksi selama tiga hari beruntun sejak pekan lalu.
Pekan ini, investor global menantikan data yang akan rilis mulai dari produk domestic bruto dan data pekerjaan untuk mengetahui bagaimana kinerja ekonomi.
Selain itu, investor juga menantikan jadwal pidato Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) Jerome Powell di Hutchins Center pada hari ini waktu setempat untuk mencari petunjuk apakah Fed akan memperlambat atau menghentikan kenaikan suku bunga.
"Pasar telah mengalihkan fokus dari akhir musim rilis kinerja keuangan kuartal ketiga dan hal tersebut hanya menjadi faktor tambahan yang mungkin akan mempengaruhi Fed dalam mempertimbangkan keputusan pada Desember," tutur Direktur Investasi Bank AS Bill Northery dikutip CNBC International.
"Investor jelas fokus pada jalan ke depan daripada melihat ke kaca spion," tambahnya.
Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup terkoreksi pada perdagangan kemarin karena pasar masih menantikan rilis data ekonomi pekan ini termasuk rilis data pekerjaan hingga pidato Jerome Powell Ketua Fed.
Terkoreksinya bursa Wall Street, tentunya menjadi sinyal negatif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street tertekan, ada potensi IHSG ikut melemah.
Sementara itu, hari ini sentimen penggerak pasar cukup ramai dari dalam maupun luar negeri.
Pertama, agenda terpenting dari Tanah Air yakni Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 pada hari ini pukul 10:00 WIB, yang akan mengusung tema Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju.
Pertemuan yang dihadiri ratusan bankir dan pelaku industri keuangan tersebut memiliki dua agenda penting yakni mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dan Gubernur BI Perry Warjiyo.
Presiden biasanya akan menyampaikan pernyataan dan pandangan ekonominya untuk tahun ini dan tahun depan. Menarik ditunggu apakah Presiden Jokowi akan menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan moneter BI yang agresif.
Pada pertemuan tersebut, Gubernur BI juga akan menyampaikan sejumlah target dan sasaran BI untuk tahun depan mulai dari pertumbuhan ekonomi, kredit, hingga laju inflasi.
BI juga akan memaparkan agenda terpenting mereka untuk setahun ke depan, baik kebijakan moneter maupun prudensial mereka.
Pandangan dan arahan tersebut sangat ditunggu oleh para pemangku kepentingan dan akan menjadi referensi, khususnya bagi pelaku industri, investor dan kalangan dunia usaha dalam menentukan berbagai kebijakan maupun keputusan bisnis ke depan.
Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro bahwa PTBI akan membahas 3 poin yang krusial untuk dicermati oleh investor.
- Memastikan bahwa pemerintah akan selalu berada di pasar dan mencegah risiko eksternal berdampak besar ke Indonesia
- Memastikan policy coordination antara pemerintah, BI, dan OJK, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat
- Memastikan bahwa pemerintah akan selalu berkomitmen untuk mendorong investasi masuk ke Tanah Air karena investasi merupakan major engine untuk mencegah penurunan ekonomi Indonesia.
Risiko eksternal salah satunya tekanan bagi rupiah. Terpuruknya nilai tukar rupiah bisa memberikan dampak besar, mulai dari risiko kenaikan inflasi, membengkaknya beban impor migas, hingga beban utang dalam pemerintah dan korporasi dalam bentuk dolar AS.
Selain itu, stabilitas nilai tukar juga penting guna memberikan kenyamanan bagi investor asing saat berinvestasi di dalam negeri.
Kedua, investor perlu mencermati agenda dari Negeri Paman Sam mulai dari pidato dari Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di Hutchins Center pukul 13:30 waktu setempat.
Pada pidatonya, Powell akan membahas proyeksi ekonomi, inflasi, dan situasi pasar tenaga kerja. Investor global sangat menantikan momen tersebut guna menangkap sinyal arah kebijakan yang berpotensi akan diambil Fed pada pertemuannya di 13-14 Desember 2022.
Selain itu, rilis laporan tenaga kerja nasional ADP dan angka lowongan pekerjaan AS per Oktober 2022 juga patut dicermati, untuk mengetahui situasi terkini dari pasar tenaga kerja setelah The Fed agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan angka inflasi.
Konsensus analis Trading Economics memprediksikan laporan tenaga kerja nasional ADP yang mengukur perubahan tenaga kerja sektor swasta non-pertanian, akan bertambah hanya 200.000 pekerjaan pada November 2022. Lebih sedikit jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 239.000 pekerjaan.
Sementara, Biro Statistik AS juga akan merilis data Job Opening and Labour Turnover Survey (JOLTS) per Oktober akan mulai menurun menjadi 10,3 juta pekerjaan, turun dari bulan sebelumnya di 10,717 juta pekerjaan.
Pada saat ini, berita buruk menjadi berita baik, jika data tenaga kerja mulai menunjukkan penurunan maka akan menguatkan potensi bahwa The Fed akan menurunkan laju kenaikan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya. Sebab, pasar tenaga kerja yang mulai melambat, tentu akan menahan konsumsi masyarakat sehingga inflasi menjadi lebih mudah diturunkan.
Sebaliknya, jika pasar tenaga kerja masih kuat, disertai dengan kenaikan upah yang cukup tinggi maka konsumsi masyarakat akan tetap kuat. Hal ini berisiko menahan inflasi di level tinggi.
Ketiga, bank investasi raksasa global berbasis di New York, Goldman Sachs memproyeksikan bahwa ekonomi AS tahun depan mampu menghindari resesi karena inflasi mulai melandai dan tingkat pengangguran akan naik.
Goldman mengungkapkan inflasi PCE (personal consumption expenditure) inti AS akan turun dari level 5% saat ini menjadi ke kisaran 3% pada akhir tahun depan. Selanjutnya, tingkat pengangguran di AS diperkirakan anak naik sebesar 50 bps.
Goldman juga optimis bahwa ekonomi AS dapat menghindari resesi karena data aktivitas ekonomi yang baru dilaporkan sama sekali tidak memperlihatkan kondisi yang mendekati resesi.
Laporan PDB lanjutan menunjukkan pertumbuhan 2,6% (disetahunkan) di Q3, non-farm payrolls tumbuh 261 ribu di bulan Oktober, dan ada 225 ribu klaim pengangguran awal di minggu pertama November.
Dalam Survei The Wall Street Journal pada periode Oktober lalu, Goldman memperkirakan peluang AS mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan hanya 35%. Estimasi tersebut merupakan yang terendah dari sekitar 60 forcaster yang disurvei, dengan median berada di angka 65%.
Kendati begitu, Goldman Sachs memprediksikan bahwa Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga mencapai kisaran 5-5,25% di akhir tahun depan atau total kenaikan sebesar 125 bps, yang ditulis dalam laporan Macro Outlook 2023.
Analis Goldman juga mengantisipasi bahwa bank sentral AS tahun depan kemungkinan tidak akan melonggarkan kebijakan moneter dengan pemotongan suku bunga acuan.
Kenaikan 125 bps tersebut diprediksi akan terjadi dalam empat kali siklus, mulai dari yang pertama bulan depan sebesar 50 poin. Sementara itu tahun depan The Fed diharapkan akan semakin melambatkan laju kenaikan suku bunga menjadi masing-masing 25 bps dalam tiga kali kesempatan yakni pada Februari, Maret dan Mei.
 Sumber: Goldman Sachs Skenario kenaikan suku bunga The Fed |
Dengan pasar tenaga kerja yang tangguh dan inflasi yang masih tinggi, Goldman tidak melihat adanya pemotongan suku bunga pada tahun 2023 kecuali jika ekonomi benar-benar memasuki resesi.
Dalam skenario ekonomi AS tanpa resesi, Goldman mengharapkan The Fed baru akan melaksanakan pemotongan tipis pertama sebesar 25 bps pada kuartal kedua 2024.
Berita baiknya yakni ekonomi AS dapat menghindari resesi, tapi di satu sisi kenaikan suku bunga acuan oleh Fed tentunya dapat menekan bank sentral dunia lainnya untuk mengekor bank sentra utama tersebut. Guna meminimalisir tekanan terhadap nilai mata uang, terutama di emerging market tak terkecuali Indonesia.
Jika suku bunga terus dinaikkan, padahal di satu sisi masih banyak negara di dunia yang masih mengalami inflasi tinggi, maka hal tersebut dapat berpotensi meningkatkan terjadinya resesi di negara-negara lainnya.
Berikut beberapa data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:
- NBS Manufaktur China per November 2022 (08:30)
- Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 (10:00)
- ADP Tenaga Kerja AS November 2022 (20:15)
- Data Lowongan Pekerjaan AS Oktober 2022 (22:00)
- Pidato Ketua Fed Jerome Powell (01:30)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPSLB PT Bank KB Bukopin Tbk (BBKP) (09:30)
- RUPST PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) (10:00)
- RUPSLB PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) (10:00)
- RUPSLB PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk (MFMI) (10:00)
- RUPSLB PT Sreeya Sewu Indonesia Tbk (SIPD) (14:00)
- Right Issue PT Mitra Investindo Tbk (MITI)
Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q III-2022 YoY) | 5,72% |
Inflasi (Oktober 2022 YoY) | 5.71% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus/Defisit Anggaran (APBN 2022) | (3,92% PDB) |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q III-2022) | 1,3% PDB |
Surplus/Defisit Neraca Pembayaran Indonesia (Q II-2022) | (US$ 1,3 miliar) |
Cadangan Devisa (Oktober 2022) | US$ 130,2 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA