Newsletter

Dear BI, Ekonomi Global Makin Suram! Rupiah Tolong Diamankan

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
30 November 2022 05:58
Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2020 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Presiden Joko Widodo dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2020 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Pelaku pasar di dalam negeri perlu mencermati sentimen dari pergerakan bursa saham Wall Street yang ditutup terkoreksi pada perdagangan kemarin karena pasar masih menantikan rilis data ekonomi pekan ini termasuk rilis data pekerjaan hingga pidato Jerome Powell Ketua Fed.

Terkoreksinya bursa Wall Street, tentunya menjadi sinyal negatif bagi pasar saham Asia dan Indonesia karena bursa saham Paman Sam tersebut menjadi kiblat pasar saham dunia. Jika Wall Street tertekan, ada potensi IHSG ikut melemah.

Sementara itu, hari ini sentimen penggerak pasar cukup ramai dari dalam maupun luar negeri.

Pertama, agenda terpenting dari Tanah Air yakni Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 pada hari ini pukul 10:00 WIB, yang akan mengusung tema Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju.

Pertemuan yang dihadiri ratusan bankir dan pelaku industri keuangan tersebut memiliki dua agenda penting yakni mendengarkan pidato Presiden Joko Widodo, atau Jokowi, dan Gubernur BI Perry Warjiyo.

Presiden biasanya akan menyampaikan pernyataan dan pandangan ekonominya untuk tahun ini dan tahun depan. Menarik ditunggu apakah Presiden Jokowi akan menyampaikan pandangannya mengenai kebijakan moneter BI yang agresif.

Pada pertemuan tersebut, Gubernur BI juga akan menyampaikan sejumlah target dan sasaran BI untuk tahun depan mulai dari pertumbuhan ekonomi, kredit, hingga laju inflasi.

BI juga akan memaparkan agenda terpenting mereka untuk setahun ke depan, baik kebijakan moneter maupun prudensial mereka.

Pandangan dan arahan tersebut sangat ditunggu oleh para pemangku kepentingan dan akan menjadi referensi, khususnya bagi pelaku industri, investor dan kalangan dunia usaha dalam menentukan berbagai kebijakan maupun keputusan bisnis ke depan.

Menurut Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro bahwa PTBI akan membahas 3 poin yang krusial untuk dicermati oleh investor.

  1. Memastikan bahwa pemerintah akan selalu berada di pasar dan mencegah risiko eksternal berdampak besar ke Indonesia
  2. Memastikan policy coordination antara pemerintah, BI, dan OJK, terutama untuk menjaga daya beli masyarakat
  3. Memastikan bahwa pemerintah akan selalu berkomitmen untuk mendorong investasi masuk ke Tanah Air karena investasi merupakan major engine untuk mencegah penurunan ekonomi Indonesia.

Risiko eksternal salah satunya tekanan bagi rupiah. Terpuruknya nilai tukar rupiah bisa memberikan dampak besar, mulai dari risiko kenaikan inflasi, membengkaknya beban impor migas, hingga beban utang dalam pemerintah dan korporasi dalam bentuk dolar AS. 

Selain itu, stabilitas nilai tukar juga penting guna memberikan kenyamanan bagi investor asing saat berinvestasi di dalam negeri.

Kedua, investor perlu mencermati agenda dari Negeri Paman Sam mulai dari pidato dari Ketua bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di Hutchins Center pukul 13:30 waktu setempat.

Pada pidatonya, Powell akan membahas proyeksi ekonomi, inflasi, dan situasi pasar tenaga kerja. Investor global sangat menantikan momen tersebut guna menangkap sinyal arah kebijakan yang berpotensi akan diambil Fed pada pertemuannya di 13-14 Desember 2022.

Selain itu, rilis laporan tenaga kerja nasional ADP dan angka lowongan pekerjaan AS per Oktober 2022 juga patut dicermati, untuk mengetahui situasi terkini dari pasar tenaga kerja setelah The Fed agresif menaikkan suku bunga acuannya untuk menurunkan angka inflasi.

Konsensus analis Trading Economics memprediksikan laporan tenaga kerja nasional ADP yang mengukur perubahan tenaga kerja sektor swasta non-pertanian, akan bertambah hanya 200.000 pekerjaan pada November 2022. Lebih sedikit jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya di 239.000 pekerjaan.

Sementara, Biro Statistik AS juga akan merilis data Job Opening and Labour Turnover Survey (JOLTS) per Oktober akan mulai menurun menjadi 10,3 juta pekerjaan, turun dari bulan sebelumnya di 10,717 juta pekerjaan.

Pada saat ini, berita buruk menjadi berita baik, jika data tenaga kerja mulai menunjukkan penurunan maka akan menguatkan potensi bahwa The Fed akan menurunkan laju kenaikan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya. Sebab, pasar tenaga kerja yang mulai melambat, tentu akan menahan konsumsi masyarakat sehingga inflasi menjadi lebih mudah diturunkan.

Sebaliknya, jika pasar tenaga kerja masih kuat, disertai dengan kenaikan upah yang cukup tinggi maka konsumsi masyarakat akan tetap kuat. Hal ini berisiko menahan inflasi di level tinggi.

Ketiga, bank investasi raksasa global berbasis di New York, Goldman Sachs memproyeksikan bahwa ekonomi AS tahun depan mampu menghindari resesi karena inflasi mulai melandai dan tingkat pengangguran akan naik.

Goldman mengungkapkan inflasi PCE (personal consumption expenditure) inti AS akan turun dari level 5% saat ini menjadi ke kisaran 3% pada akhir tahun depan. Selanjutnya, tingkat pengangguran di AS diperkirakan anak naik sebesar 50 bps.

Goldman juga optimis bahwa ekonomi AS dapat menghindari resesi karena data aktivitas ekonomi yang baru dilaporkan sama sekali tidak memperlihatkan kondisi yang mendekati resesi.

Laporan PDB lanjutan menunjukkan pertumbuhan 2,6% (disetahunkan) di Q3, non-farm payrolls tumbuh 261 ribu di bulan Oktober, dan ada 225 ribu klaim pengangguran awal di minggu pertama November.

Dalam Survei The Wall Street Journal pada periode Oktober lalu, Goldman memperkirakan peluang AS mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan hanya 35%. Estimasi tersebut merupakan yang terendah dari sekitar 60 forcaster yang disurvei, dengan median berada di angka 65%.

Kendati begitu, Goldman Sachs memprediksikan bahwa Fed masih akan menaikkan suku bunga acuannya hingga mencapai kisaran 5-5,25% di akhir tahun depan atau total kenaikan sebesar 125 bps, yang ditulis dalam laporan Macro Outlook 2023.

Analis Goldman juga mengantisipasi bahwa bank sentral AS tahun depan kemungkinan tidak akan melonggarkan kebijakan moneter dengan pemotongan suku bunga acuan.

Kenaikan 125 bps tersebut diprediksi akan terjadi dalam empat kali siklus, mulai dari yang pertama bulan depan sebesar 50 poin. Sementara itu tahun depan The Fed diharapkan akan semakin melambatkan laju kenaikan suku bunga menjadi masing-masing 25 bps dalam tiga kali kesempatan yakni pada Februari, Maret dan Mei.

Skenario kenaikan suku bunga The FedSumber: Goldman Sachs
Skenario kenaikan suku bunga The Fed

Dengan pasar tenaga kerja yang tangguh dan inflasi yang masih tinggi, Goldman tidak melihat adanya pemotongan suku bunga pada tahun 2023 kecuali jika ekonomi benar-benar memasuki resesi.

Dalam skenario ekonomi AS tanpa resesi, Goldman mengharapkan The Fed baru akan melaksanakan pemotongan tipis pertama sebesar 25 bps pada kuartal kedua 2024.

Berita baiknya yakni ekonomi AS dapat menghindari resesi, tapi di satu sisi kenaikan suku bunga acuan oleh Fed tentunya dapat menekan bank sentral dunia lainnya untuk mengekor bank sentra utama tersebut. Guna meminimalisir tekanan terhadap nilai mata uang, terutama di emerging market tak terkecuali Indonesia.

Jika suku bunga terus dinaikkan, padahal di satu sisi masih banyak negara di dunia yang masih mengalami inflasi tinggi, maka hal tersebut dapat berpotensi meningkatkan terjadinya resesi di negara-negara lainnya.

(aaf/aaf)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular