CNBC Indonesia Research

Kebijakan Jokowi Segera 'Suntik Mati' PLTU, Tepatkah?

Feri Sandria, CNBC Indonesia
15 November 2022 07:15
PLN Gandeng Perusahaan Korsel Kembangkan Teknologi Cofiring Hidrogen dan Amonia di PLTU.
Foto: dok. PLN

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden (Perpres) No. 112 tahun 2022 secara tegas mengultimatum percepatan transisi menuju energi yang lebih ramah lingkungan. Salah satu poin utamanya adalah moratorium pembangunan PLTU baru dan upaya memensiunkan dini sejumlah PLTU eksisting.

Akan tetapi, secara rinci peraturan tersebut masih memberikan ruang bagi pengembangan PLTU yang telah ditetapkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sebelum berlakunya Perpres 112 tersebut.

Pembatasan elektrifikasi dari sumber daya fosil ini merupakan bagian dari ambisi pemerintah agar mampu mencapai target emosi nol karbon pada tahun 2060. Hingga saat ini pemerintah RI berkomitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29% di tahun 2030, atau bisa mencapai 41% dengan kerja sama dibantu oleh pihak internasional. 

Agresivitas pemerintah terlihat dari pernyataan Menteri ESDM, Arifin Tasrif yang beberapa waktu lalu juga menyebutkan tahun ini pemerintah akan memensiunkan dua sampai tiga PLTU.

Menteri Arifin menambahkan, pensiun PLTU akan dilakukan secara bertahap karena masih akan ada pertumbuhan energi fosil hingga akhir dekade ini. Selain itu, untuk pajak karbon hingga 2025 juga akan dilakukan secara bertahap untuk diterapkan ke berbagai sektor.

Sementara itu, LSM energi hijau Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam studinya bersama University of Maryland mengungkapkan ada 12 PLTU yang berpotensi dipensiunkan dini hingga tahun depan. PLTU yang dimaksud merupakan yang masuk dalam kategori low hanging fruits (LHF) karena memiliki kinerja buruk dari berbagai sisi, mulai dari teknis, ekonomi hingga lingkungan.

Selanjutnya dalam gelaran COP27 Mesir, Menko Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebut pemerintah akan mengumumkan langkah purnabakti dini PLTU batu bara pada perhelatan KTT G20 pekan ini.

Untuk mengisi ruang kosong yang ditinggalkan batu bara, pemerintah menargetkan pencapaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sudah 23% di tahun 2025. Bauran EBT naik menjadi 42% pada tahun 2030 dan akan didominasi oleh Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).

Selanjutnya semua PLTU tahap pertama subcritical akan mengalami pensiun dini di tahun 2031, dengan bauran EBT mencapai 57% yang didominasi PLTS, hidro dan panas bumi.

Di tahun 2040, bauran EBT ditargetnya sudah mencapai 71%, lalu 87% di tahun 2050 dan akhirnya mampu mencapai 100% di tahun 2060 dengan emisi dari pembangkit listrik tidak ada sama sekali.

Berdasarkan data Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 yang dikeluarkan oleh PLN, pada tahun 2020 kapasitas PLTU PLN mencapai 31,95 GW atau setengah dari total bauran energi PLN. Sementara itu data Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2021 menyebut total kapasitas PLTU terpasang on-grid mencapai 36,67 GW (52% dari bauran energi), yang mana termasuk juga kapasitas dari pembangkit independen.

Dalam lima tahun terakhir porsi PLTU terhadap total energi listrik yang dibangkitkan relatif stagnan di kisaran 50%.

RUPTL terbaru yang dikeluarkan sebelum Perpres 112 menyebutkan akan ada penambahan kapasitas baru hingga 40 GW, yang mana sepertiga berasal dari PLTU. Pada tahun 2030 kapasitas PLTU akan mencapai 44,73 GW dengan porsi dalam bauran energi berkurang menjadi 45%.

Masih belum diketahui secara spesifik apakah RUPTL dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) akan kembali diperbaharui agar sejalan dengan keputusan presiden terbaru. Akan tetapi jika mengacu pada RUPTL dan RUEN, puncak kapasitas PLTU akan terjadi sepanjang tahun 2030 hingga 2040, meski secara proporsi turun.

Aturan baru yang ditetapkan presiden tersebut dapat saja mendorong puncak kapasitas PLTU akan semakin cepat.

Tahun ini, ramai-ramai emiten baru bara RI mencatatkan rekor pendapatan dan laba bersih. Perusahaan raksasa seperti Adaro Energy Indonesia (ADRO), Bayan Resources (BYAN) hingga BUMN batu bara Bukit Asam (PTBA) diuntungkan oleh harga komoditas yang lebih tinggi didorong permintaan tinggi pasca pandemi dan diperparah oleh krisis berkepanjangan di Eropa. Tahun ini harga batu bara global berkali-kali memecahkan rekor dan titik tertinggi dibukukan pada tanggal 5 September 2022 di harga US$ 463,75/ton

Akibat reli gila-gilaan tersebut, dalam sembilan bulan pertama tahun ini, ADRO mencatatkan laba bersih Rp 29 triliun, BYAN Rp 25 triliun, ITMG Rp 14 triliun dan PTBA Rp 10 triliun. Berkah tersebut juga dirasakan oleh emiten batu bara Keluarga Bakrie, Bumi Resources (BUMI) yang mampu mencatatkan laba Rp 10 triliun dan tercatat mampu melunasi kewajiban utangnya yang sempat berkepanjangan.

Meski demikian, perusahaan-perusahaan tersebut juga sadar bahwa 'kiamat' batu bara merupakan takdir yang tidak dapat dihindarkan. Sejumlah perusahaan batu bara mulai melakukan diversifikasi bisnisnya baik secara moderat atau bahkan pivot dengan signifikan.

Sejumlah perusahaan mulai melakukan hilirisasi hingga penggunaan energi rendah karbon untuk keperluan operasi. Beberapa yang lain malah melangkah lebih jauh mulai dari mendirikan PLTS hingga masuk ke industri kendaraan listrik.

Akan tetapi porsi besar dan utama bisnis perusahaan masih digerakkan oleh batu bara, komoditas yang berasal dari fosil tumbuhan. Sebagian besar perusahaan juga tidak terlalu agresif untuk mendorong perubahan dalam bisnis perusahaan. Hal ini sangat wajar karena kebutuhan energi untuk konsumsi domestik dari batu bara masih akan meningkat dalam dua dekade ke depan.

Kebijakan dalam negeri memang berpotensi menjadi sentimen buruk bagi perusahaan tambang batu bara di masa depan. Namun, hal paling ditakutkan adalah terkait kebijakan pemerintah negara tujuan ekspor batu bara RI, mengingat hanya sebagian kecil produksi nasional yang digunakan untuk keperluan domestik.

Mengacu pada aturan domestic market obligation (DMO) yang diberlakukan pemerintah, maka hanya sekitar 25% dari total produksi yang digunakan secara domestik.

Proyeksi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) juga mengungkapkan produksi baru bara nasional akan terus meningkat dan mencapai puncaknya di tahun 2030, lalu turun perlahan. Hingga tahun terakhir dalam proyeksi tersebut yakni 2045, produksi batu bara diperkirakan mencapai 671 juta ton atau sekitar 10% lebih tinggi dari output tahun 2021 lalu.

Artinya, perusahaan batu bara masih memiliki pangsa pasar yang besar, dengan tantangan utama berkutat pada permintaan yang dapat mempengaruhi harga serta kebijakan ekspor dan kebijakan bauran energi negara tujuan ekspor batu bara.

Tantangan lain adalah terkait susahnya investasi dan pendanaan yang kian kering akibat lembaga finansial yang mulai menghindari investasi hitam. Selanjutnya ada juga permasalahan pajak karbon yang sepertinya merupakan alasan utama sejumlah perusahaan mulai fokus hilirisasi dan diversifikasi bisnis EBT dan rendah karbon. Hal ini karena beban pajak karbon dapat menjadi penentu utama profitabilitas perusahaan kala harga batu bara tidak setinggi saat ini. Perusahaan dengan portofolio bisnis EBT dapat menggunakan karbon kredit untuk melunasi kelebihan emisi karbon dari operasi penambangan.

Data KESDM mencatat tahun lalu 45% dari ekspor batu bara RI masuk ke China, dengan India berkontribusi nyaris 17%. Secara total kedua negara tersebut bertanggung jawab atas 44% produksi batu bara nasional.

China sendiri menargetkan nol emisi karbon (net zero emissions/NZE) pada tahun 2060, sama dengan target pemerintah RI. Meski China melakukan penetrasi yang masif dan investasi jumbo di sektor EBT, puncak konsumsi batu bara tampaknya masih belum tercapai.

Tahun lalu, Presiden China Xi Jinping berjanji untuk "mengendalikan secara ketat" batu bara dan akan mengurangi penggunaannya mulai tahun 2026 dengan harapan emisi karbon dioksida (CO2) yang berakibat fatal bagi perubahan iklim bisa mencapai puncaknya sebelum 2030.

Sementara itu ambisi India dalam transisi energi lebih moderat dari Indonesia dan China, dengan target NZE diharapkan tercapai tahun 2070 atau sepuluh tahun lebih lambat. EBT untuk pembangkit listrik ditargetkan dapat mencapai porsi 50% pada tahun 2030, sedikit di bawah Indonesia.

Fakta tersebut memberikan ruang bernafas yang cukup lega bagi perusahaan batu bara, khususnya untuk jangka dekat dan menengah.

Selanjutnya tantangan utama perusahaan batu bara adalah terkait permintaan dan harga, serta aturan lain yang dapat menjadi disinsentif seperti pajak karbon.

Regulasi ketat untuk menurunkan emisi karbon, pada akhirnya tentu ikut menekan pendapatan negara dari sektor bisnis batu bara. Meski demikian dampak signifikan tidak akan terjadi secara langsung dan cepat, kecuali diperparah oleh tekanan harga.

Pemerintah memperoleh pendapatan dari setoran royalti (PNBP), iuran dan pajak yang dibayarkan oleh perusahaan tambang. Adapun porsi utama yang merupakan hidangan utama adalah royalti, mengingat kewajiban ini dibayarkan dari persenan penjualan, tanpa memedulikan untung rugi seperti setoran pajak.

Banyaknya pundi-pundi yang berpotensi diperoleh pemerintah juga didasari oleh besar kecilnya royalti - saat ini royalti batu bara ditetapkan dengan tingkat yang berbeda-beda. Terakhir tentu penerimaan royalti akan dipengaruhi oleh harga batu bara global.

Sejalan dengan prospek bisnis batu bara yang masih oke untuk jangka menengah, artinya pendapatan dari royalti juga ikut aman. Apabila harga dapat bertahan di rekor tertinggi, maka jumlah yang dikumpulkan negara juga akan naik, sejalan dengan kenaikan produksi.

Harga yang tinggi ikut membuat perusahaan tambang mengalami keuntungan, yang artinya ada tambahan setoran pajak yang akan diterima negara.

KESDM menyebutkan pada tahun 2021 realisasi PNBP minerba yang diterima negara mencapai Rp 75,16 triliun atau 192,2% dari target awal yakni Rp 39,1 triliun. Untuk tahun 2022, target penerimaan PNBP minerba ditetapkan sebesar Rp 42,36 triliun, yang mana tampaknya sangat mungkin terlewati karena tingginya harga komoditas batu bara dan sejumlah mineral utama lain tahun ini.

Setelah mencapai puncak produksi tertinggi penerimaan royalti dari batu bara berpotensi berkurang apalagi jika ditambah tekanan harga yang lebih lemah. Namun, kala masa itu datang, ekonomi Indonesia seharusnya telah mengalami industrialisasi pesat, sektor jasa mulai berkembang signifikan dan ketergantungan akan royalti dan sumber daya alam ikut berkurang.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular