Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia lagi-lagi memiliki kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu melimpah, termasuk 'harta karun strategis timah. Akhir-akhir ini pemerintah terus menyuarakan serta memberikan sinyal terkait penyetopan ekspor timah ke luar negeri.
Selama ini, Indonesia menjadi negara pengekspor bahan mentah atau raw materials komoditas mineral, tanpa pernah sebelumnya memikirkan untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
Memang, ada dua hal yang memungkinkan Indonesia dapat berkembang menjadi Negara industri maju. Pertama, Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral terlengkap di dunia, walaupun bukan aktor utama dunia dalam keseluruhan raw material, namun Indonesia memiliki hampir sebagian besar sumber mineral penting.
Kedua, Indonesia memiliki sumber energi yang relatif besar dan beragam jenisnya, mulai dari minyak bumi, gas, batubara dan sumber-sumber energi terbarukan lainnya.
Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum dapat mengembangkan industrinya dengan baik, dikarenakan hasil tambang mineral yang dieksploitasi di perut bumi Indonesia masih di ekspor dalam bentuk raw material dengan nilai tambah yang sangat rendah.
Di satu sisi memang dalam hal raw material dan perdagangan komoditas, Indonesia memegang posisi kunci.Tapi sebagian besar perusahaan tambang telah mengikat kontrak penjualan hasil tambang dengan negara-negara maju, sehingga Indonesia tidak dapat mengendalikan harga komoditas tambangnya.
Pemerintah melalui Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan Pemerintah Indonesia akan menghentikan ekspor timah mulai tahun depan.
Maksud dari pelarangan ekspor timah ini bertujuan agar hilirisasi timah di dalam negeri semakin berkembang, sehingga nilai tambah ada di dalam negeri hal ini juga Hal ini untuk mengembangkan hilirisasi timah yang diketahui baru mencapai 5%. Sedangkan 95% lainnya dalam bentuk Tin Ingot diekspor ke luar negeri.
Apalagi, Indonesia merupakan pemilik sumber daya dan juga produsen timah terbesar kedua di dunia, setelah China.
Menurut data OEC World, Indonesia berkontribusi terhadap 34,1% nilai ekspor timah dunia pada 2020. Nilainya mencapai US$ 1,29 miliar atau Rp 18 triliun (kurs Rp15.000/US$).
Menurut data Kementerian ESDM, pada 2018 produksi timah nasional masih bisa mencapai 83.000 ton dengan ekspor mencapai 83.020 ton. Namun, di tahun-tahun berikutnya angka itu terus turun seperti terlihat pada grafik, hingga produksinya anjlok menjadi 34.610 ton dan ekspor menjadi 28.250 ton pada 2021.
Kemudian produksi timah nasional selama Januari-Mei 2022 baru mencapai 9.654,73 ton, masih jauh dari target produksi tahun ini yang sebesar 70.000 ton.
Dalam beberapa tahun belakangan setidaknya 98% produksi timah Indonesia memang ditujukan untuk pasar ekspor. Ini pun membuat Indonesia berstatus sebagai eksportir timah terbesar di dunia.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Mengkaji Dampak Baik-Buruk Larangan Ekspor Timah
Isu larangan ini kian mencuat karena jika jadi diberlakukan akan ada pro maupun kontra di dalamnya. Berikut catatan Tim Riset CNBC Indonesia dalam menimbang baik-buruk larangan ekspor timah tahun 2023.
Menguak Sisi Positif Larangan Ekspor Timah
Kementerian ESDM mencatat, pelarangan ekspor timah itu mengarah ke jenis timah batangan atau Tin Ingot 99,99% atau Sn 99,99.
Jika larangan ekspor timah dilakukan, Indonesia bisa mendapatkan keuntungan 6 kali lipat. Contohnya: 1 ton konsentrat 78% timah itu harganya di 2021 mencapai US$ 12.000 per ton. Jika sudah berubah menjadi 1 ton timah kasar maka harganya akan menjadi US$ 22.000.
Kemudian, bila timah menjadi Tin Soldier dalam 1 ton harganya bisa mencapai US$ 124.000 per ton. "1 ton Sn-nya di dalam 1 ton Soldier itu menjadi US$ 130.000. Artinya ada peningkatan hampir 6 kali dari pada konsentrat timah di awal. Ini sangat berpengaruh bagi perekonomian Indonesia.
Jika berbicara harga timah, saat ini memang timah diperdagangkan di level US$ 18.000, setelah pasca kekhawatiran tekanan ekonomi dari negara-negara di dunia utamanya China dan AS hingga isu resesi semakin yang kian mencuat.
Pasca perang Rusia-Ukraina meletus 24 Februari lalu, harga timah memang masih sulit terangkat. Berbagai sentimen negatif masih menyelimuti pasar mulai dari tekanan ekonomi global akibat inflasi dan suku bunga tinggi.
Di tambah lagi, China sebagai konsumen terbesar timah masih menerapkan kebijakan non Covid-19 bagi negaranya. Ini menyebabkan harga terus bergerak dalam tren yang rendah. Oleh sebab itu, hilirisasi komoditas timah pada jenis tin solder bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar pada harga yang lebih tinggi dari harga pasar saat ini.
Selain itu, Indonesia sebagai pemilik kekayaan timah terbesar ke 2 di dunia nampaknya memberikan keuntungan besar melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), PNBP Indonesia dari timah pada tahun 2021 mencapai Rp 1,1 triliun.
Pada tahun 2020 PNBP dari komoditas timah mencapai Rp 520 miliar. Setelah itu meningkat pada tahun 2021 menjadi Rp 1,1 triliun. Kemudian sampai triwulan II tahun 2022 ini PNBP melalui timah sudah mencapai Rp 707 miliar.
Pertimbangan sisi positif dari larangan ekspor timah ini tentunya juga belajar dari pelarangan ekspor bijih nikel. Seperti yang diketahui, dengan penyetopan ekspor timah dan memberlakukan hilirisasi, nilai ekspor dari komoditas timah akan melesat.
Ketika bijih nikel masuk dalam hilirisasi di dalam negeri, Indonesia mendapatkan nilai ekspor yang luar biasa. Menteri Investasi atau Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia mencatat, dari hilirisasi nikel, Indonesia pada tahun ini diprediksi akan mendapatkan sekitar US$ 30 miliar atau Rp 450-an triliun (kurs Rp 15.300-an per dolar AS).
Selain itu, pembangunan industri pengolahan dan pemurnian (smelter) termasuk untuk timah dan bauksit juga terus dikebut. Dengan kata lain, dampak larangan ekspor timah diharapkan dapat memacu proyek smelter di Tanah Air agar bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada negara.
Sampai sekarang pun gugatan di WTO oleh Uni Eropa belum selesai karena Indonesia juga mengajukan alasan-alasan yang masuk akal. Bagaimana pun, Indonesia berhak memutuskan untuk mengolah hasil tambangnya sendiri.
Yang jelas, dengan melakukan industrialisasi Indonesia mendapatkan banyak manfaat, yakni pertama pajak kepada pemerintah akan melompat. Kedua, industrialisasi akan membuka lapangan pekerjaan di Indonesia yang sangat banyak, bukan di negara lain.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Lalu, Bagaimana Sisi Negatif Jika Ekspor Timah Dilarang?
Alih-alih memberikan keuntungan, tetap tak bisa dipungkiri bahwa larangan ekspor timah bisa jadi malah berdampak negatif dalam jangka pendek hingga menengah. Meskipun kebijakan ini akan menguntungkan dalam jangka panjang. Kenapa?
Pertama, jika rencana pemerintah ini terwujud maka penerimaan negara akan turun. Dalam jangka pendek akan ada dampak penurunan nilai ekspor terhadap total ekspor Indonesia meskipun tak begitu signifikan.
Pemerintah memang harus matang dalam membuat peta jalan (roadmap) industri timah domestik yang realistis sebelum mengambil keputusan larangan ekspor timah dalam waktu dekat.
Jika terburu-buru dan hanya angan-angan akan keuntungan jangka panjang dikhawatirkan kapasitas serapan industri hilir belum bisa optimal dan malah akan memunculkan dampak negatif bagi perusahaan produsen balok timah atau tin ingot domestik.
Kedua, rencana pemerintah untuk menyetop ekspor timah pada tahun depan dinilai akan memberikan dampak yang kurang baik terhadap pertumbuhan ekonomi daerah penghasil timah di Indonesia.
Tim Riset CNBC Indonesia mengambil contoh Bangka Belitung. Peran timah cukup besar sebagai penopang utama ekonomi Bangka Belitung. Penambangan bijih timah itu menyumbang 63,61% terhadap lapangan usaha di Bangka Belitung. Sedangkan di PDRB (Produk Domestik Regional Bruto), penambangan turut menyumbang 6,07%.
Kemudian pada sektor pengolahan, industri logam dasar timah yang dilakukan perusahaan peleburan (Smelter) dan PT Timah telah menyumbang sekitar 46,13% dan di PDRB berkontribusi sebesar 9,6%.
Jika pemerintah tetap memutuskan melanjutkan kebijakan penyetopan ekspor timah, maka pabrik-pabrik hilirisasi sebagai pengolah bahan dasar timah sudah harus mulai dibangun.
Pertimbangan penyetopan ekspor timah perlu dilakukan karena dinilai akan berdampak sama dengan Crude Palm Oil (CPO) beberapa waktu lalu terhadap perekonomian masyarakat.
Di sisi lain, dari catatan CNBC Indonesia upaya pelarangan ekspor timah membuat kaget dan bingung para pengusaha dan eksportir.
Alasannya, belum ada peta jalan atau roadmap yang disusun oleh pemerintah berkenaan dengan hilirisasi timah itu. "Saya sendiri kaget dan bingung soalnya selama ini saya bertanya-tanya apakah ada roadmap yang jelas untuk hilirisasi timah ini," terang Jabin Sufianto ketua Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI) kepada CNBC Indonesia dalam Minig Zone.
Atas rencana pelarangan ekspor tersebut pemerintah belum melibatkan pelaku usaha dan akademisi yang memahami betul dunia pertimahan.
Sehingga ia menilai, pelarangan ekspor dan pengembangan hilirisasi di dalam negeri akan sangat tidak efektif apabila tidak ada road map-nya. "Ini bicara langsung akan dilarang-larang ekspor saja. Bukannya apa, pelarangan ekspor timah ini selalu senada dengan bauksit. Selalu ada kata-kata mentah," ungkap Jabin.
Selain itu, menurutnya sejauh ini ekspor timah yang dilakukan di Indonesia sendiri sudah memiliki nilai tambah. Di mana, ekspor timah berupa TIN Ingot dengan Sn 99,99 atau 99,99%.
Oleh karena itu, komoditas ekspor ini tidak bisa disamakan dengan success story pelarangan ekspor bijih nikel yang hanya memiliki kandungan 2%. "Yang saya bilang di Kementerian ESDM, bahwa kami sudah ekspor timah berkadar 99,99%, tidak mungkin sampai 100%. Bahkan PT Antam atau semua percetakan ga ada yang mengatakan 100%, jadi kita bingung, dibilang masih ada produk hilirnya, menurut saya itu sesuatu yang zero sampling. Maksudnya apa yang dikejar?" tandas Jabin.
Meskipun punya dampak positif dan negatif, memang, pelarangan ekspor timah dengan jenis tersebut belum diberlakukan. Pasalnya, saat ini pemerintah sedang membentuk tim Kelompok Kerja (Pokja) Timah untuk menganalisis hasil dari rencana hilirisasi timah tersebut.
Semoga yang terbaik untuk Indonesia dengan catatan tentunya memberikan nilai tambah bukan hanya pendapatan namun juga berimplikasi positif bagi masyarakat sekitar tambang atau smelter nantinya.
TIM RISET CNBC INDONESIA