Duh Rupiah! Awal Tahun Rp 14.200/US$, Kini Rp 15.600/US$

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
21 October 2022 15:42
Dollar-Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah tak berdaya dilibas dolar Amerika Serikat (AS) di sepanjang tahun ini. Namun, performa rupiah masih lebih baik jika dibandingkan dengan mata uang lainnya di Asia.

Melansir Refinitiv, pada awal tahun ini, rupiah masih diperdagangkan di level Rp 14.200/US$, tapi kemudian terus bergerak melemah. Bahkan, di sepanjang tahun ini, rupiah melemah lebih dariĀ 9% terhadap dolar AS dan berada di atas Rp 15.600/US$. Posisi tersebut menjadi yang terendah sejak 16 April 2020 atau 2,5 tahun yang lalu.

Rupiah melemah paling tajam pada bulan September 2022, terkoreksi hingga 2,59% terhadap dolar AS.

Terkoreksinya Mata Uang Garuda dipicu oleh menguatnya dolar AS atau fenomena 'strong dollar'. Per 21 Oktober 2022, indeks dolar AS terpantau telah melesat 17,82% secara year to date (ytd) di pasar spot. Bahkan pada akhir September lalu, indeks dolar AS sempat menyentuh rekor tertingginya sejak 20 tahun di posisi 114,7.

Keperkasaan si greenback ditopang oleh agresifnya bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk menaikkan suku bunga acuan guna meredam angka inflasi yang melonjak. Di sepanjang 2022, The Fed terpantau telah menaikkan suku bunga sebanyak 300 basis poin dan mengirim suku bunga acuan dari 0,25% hingga ke 3%-3,25%.

The Fed berupaya untuk menurunkan angka inflasi AS yang melonjak. Pada Juni 2022, inflasi AS berada di 9,1% secara tahunan (yoy) dan menjadi posisi tertinggi selama 40 tahun. Namun, pada September 2022, inflasi AS mulai melandai dan berada di 8,2% (yoy). Meski melandai, angka inflasi AS masih berada di posisi yang tinggi jauh dari target Fed di 2%.

Inflasi yang 'mendarah daging' tersebut, tampaknya akan direspon dengan kenaikan suku bunga lanjutan oleh Fed pada FOMC bulan November 2022. Melansir alat ukur FedWatch, sebanyak 96,5% analis memprediksikan Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps, sedangkan sisanya memproyeksikan sebesar 50 bps.

Pada awalnya, Bank Indonesia (BI) memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan rendah di 3,5% dan telah bertahan sejak Februari 2021 hingga Juli 2022 karena angka inflasi Indonesia masih dinilai cukup rendah jika dibandingkan dengan negara lainnya.

Namun, pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada Agustus 2022, BI mengejutkan pelaku pasar dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps dan mengirim tingkat suku bunga ke 3,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan.

Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan kenaikan ini merupakan langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan BBM nonsubsidi dan volatile food.

Diketahui, pada awal September silam, pemerintah Indonesia memutuskan untuk menaikkan harga jual bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi Petralite (RON 90) dari Rp 7.650 per liter menjadi Rp 10.000 per liter dan harga solar subsidi naik menjadi Rp 6.800 per liter dari Rp 5.150 per liter.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), konsumsi Petralite, mencapai hampir 80% dari total konsumsi BBM. Sehingga, kenaikan harga pada Petralite, tentunya menyumbang angka inflasi naik. Angka inflasi Indonesia pun melonjak ke 5,95% (yoy) pada September dari 4,69%.

Setelahnya, BI pun terus menaikkan suku bunga acuannya sebanyak dua kali yang masing-masing sebesar 50 bps. Kini, suku bunga acuan BI berada di 4,75%.

Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang terlalu tinggi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasaran 3% plus minus 1% lebih awal ke paruh pertama 2023.

"Juga memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah permintaan domestik yang menguat," tambah Perry.

Meski begitu, perdagangan Jumat (21/10/2022) rupiah masih melemah 0,39% terhadap dolar AS ke Rp 15.630/US$.

Tekanan terhadap Mata Uang Tanah Air, tampaknya masih akan berlanjut. BI memperkirakan bahwa bank sentral pimpinan Bos 'Jerome Powell' tersebut masih akan terus menaikkan suku bunga acuan hingga suku bunga berada di 4,5% pada tahun ini dan 4,75% pada tahun depan.

Situasi ini merupakan salah satu yang akan membuat dunia bergejolak ke depannya. AS perlu menaikkan suku bunga acuan untuk meredam lonjakan inflasi dalam beberapa waktu terakhir. Konsekuensinya adalah ekonomi negeri Paman Sam tersebut akan melambat hingga resesi.

"Perlambatan terutama terjadi di AS, yang perkiraan tahun depan 1,2% dari tahun ini 2,5%. Eropa 0,7% demikian juga di negara lain termasuk juga di Tiongkok," jelasnya.

Agresivitas AS, kata Perry juga berdampak terhadap mata uang. Dolar AS dimungkinkan terus menguat dan memukul mata uang negara lain.

Lantas, bagaimana dengan mata uang lainnya di Asia?

Kurs rupiah dan banyak mata uang di dunia sangat bergantung pada keadaan dolar AS. Pasalnya, dolar AS merupakan mata uang cadangan dunia.

Pada Mei 2021, International Monetary Fund (IMF) melaporkan bahwa lebih dari 61% dari semua cadangan bank asing dalam mata uang dolar AS. Sementara sebanyak 40% dari utang dunia menggunakan mata uang dolar AS.

Penggunaan dolar AS yang mendominasi pasar keuangan dunia, membuat negara-negara di dunia kian bergantung pada si greenback. Apalagi, tahun ini dolar AS telah melesat tajam, sehingga menekan laju pergerakan mata uang di dunia.

Melansir Refinitiv, mata uang di Asia terpantau kompak tertekan di sepanjang tahun ini. Tak terkecuali rupiah.

Namun, rupiah berhasil menduduki juara ketiga di Asia, hanya kalah dengan dolar Hong Kong dan dolar Singapura yang terkoreksi lebih kecil masing-masing sebesar 0,7% dan 5,3%. Sementara, rupiah melemah 8,5% terhadap dolar AS.

Bahkan, yen Jepang yang menyandang status mata uang safe haven, terkoreksi tajam sebanyak 23,3% dan kini berada di posisi terendahnya sejak 2 Agustus 1990.

Meski performa rupiah masih terbilang cukup baik di Asia, tapi masih harus waspada. Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah saat ini masih dalam angka under value. Artinya kondisi saat ini lebih sangat dipengaruhi faktor sentimen. Sehingga ketika katalis negatif terjadi di pasar keuangan global, tentu akan menekan laju rupiah.

Saat ini, investor global cenderung akan beralih pada aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi dunia. Apalagi dengan kenaikan suku bunga yang sangat agresif dari bank sentral AS.

"Liquidity is the king currently. Bagaimana pengelolaan likuiditas valas harus diperkuat dari sisi DHE (Devisa Hasil Ekspor), cadangan devisa, dan cash flow management," tutur Josua.

Jika pelemahan rupiah terus berlanjut di atas level Rp 15.000/US$ sampai akhir tahun, maka asumsi pemerintah untuk nilai tukar rupiah dalam APBN 2022 akan meleset.

Pada APBN, kurs dipatok sebesar Rp 14.350 per US$. Sementara menurut perubahan APBN sesuai Peraturan Presiden No.98 tahun 2022, kurs dipatok Rp 14.450 per US$.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular