Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Rabu kemarin.
Sedangkan untuk mata uang rupiah, pada perdagangan kemarin ditutup kembali melemah dihadapan dolar Amerika Serikat (AS), setelah pada Selasa lalu sempat menguat.
Di penutupan perdagangan rupiah tembus ke Rp 15.495/US$, melemah 0,19% di pasar spot. Dengan demikian, rupiah masih berada di posisi terlemahnya dalam 2,5 tahun terakhir. Tepatnya sejak 30 April 2020.
Tak hanya rupiah saja, mata uang Asia-Pasifik juga kompak melemah dihadapan sang greenback. Rupee India menjadi yang paling parah pelemahannya yakni melemah 0,78%.
Berikut pergerakan rupiah dan mata uang utama Asia-Pasifik melawan dolar AS pada Rabu kemarin.
Sementara di pasar surat berharga negara (SBN) pada perdagangan kemarin harganya ditutup kompak melemah, menandakan bahwa investor cenderung melepasnya.
Beralih ke Amerika Serikat (AS), bursa saham Wall Street ditutup di zona merah pada perdagangan Rabu kemarin, karena kenaikan imbal hasil obligasi pemerintah AS yang melemahkan momentum dari musim rilis pendapatan di AS.
Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) dibuka melemah 0,33% ke posisi 30.423,81, S&P 500 terkoreksi 0,67% ke 3.695,16, dan Nasdaq Composite merosot 0,89% menjadi 10.680,51.
Wall Street melemah disebabkan karena yield obligasi pemerintah AS (US Treasury) kembali naik pada perdagangan Rabu kemarin.
Dilansir dari CNBC International, yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun melonjak 12,4 basis poin (bp) menjadi 4,561%. Sedangkan untuk yield Treasury benchmark tenor 10 tahun melesat 14 bp menjadi 4,138% pada perdagangan kemarin.
"Obligasi itu sangat membebaninya ... sayang sekali melihat pendapatan yang bagus terbuang sia-sia," kata JJ Kinahan, CEO IG Amerika Utara di Chicago, dikutip dari Reuters.
Wall Street melemah meski masih ada sentimen positif dari rilis kinerja keuangan emiten di AS. Adapun emiten yang baru saja merilis kinerja keuangannya pada kuartal III-2022 yakni perusahaan teknologi Netflix dan perusahaan maskapai United Airlines.
Saham Netflix ditutup melonjak 13,1%, sebagai operator streaming yang berkinerja paling baik di S&P 500, setelah perseroan berhasil menarik 2,4 juta pelanggan baru di seluruh dunia pada kuartal III-2022, lebih dari dua kali lipat perkiraan konsensus, dan diproyeksikan pelanggan akan bertambah 4,5 juta pada akhir tahun ini.
Sedangkan saham maskapai United Airlines melesat lebih dari 5%, setelah kinerja keuangan perseroan berhasil melampaui perkiraan di kuartal III-2022.
Laba per saham (EPS) perseroan mencapai US$ 2,81 per saham yang disesuaikan dengan pendapatan sebesar US$ 12,88 miliar. Analis yang disurvei oleh Refinitiv memperkirakan EPS perusahaan mencapai US$ 2,28 per saham menjadi US$ 12,75 miliar pada kuartal III-2022.
Sedangkan pendapatan dari jarak tempuh per kursi yang tersedia naik 25,5%, dibandingkan dengan periode yang sama pada 2019
"Pasar secara keseluruhan agak tergantung di sana, saya tidak ingin mengatakannya dengan baik, tetapi tidak seburuk yang dapat diberikan bahwa 4% adalah garis demarkasi yang benar-benar menekan ekuitas," ujar Keith Lerner, co-CIO dan kepala strategi pasar di Truist Advisory Services, dilansir dari CNBC International.
Para pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali mengindikasikan bahwa The Fed akan agresif untuk meredam inflasi.
Presiden The Fed Minneapolis, Neel Kashkari pada Selasa lalu menyatakan bahwa The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga acuan di atas 4,75%, jika inflasi yang mendasarinya tidak berhenti melesat.
Survei "Beige Book" The Fed tentang aktivitas ekonomi menunjukkan perusahaan mencatat tekanan harga tetap tinggi, meskipun ada beberapa pelonggaran di beberapa distrik, sementara pasar tenaga kerja menunjukkan beberapa tanda pendinginan.
Kekhawatiran tentang resesi kembali muncul di kalangan investor karena The Fed terus mengikuti jalur hawkish yang dilapisi dengan kenaikan suku bunga.
Hal ini membuat beberapa perusahaan di AS kembali merubah proyeksi pendapatannya, dengan beberapa perusahaan dan analis merevisi prospek mereka ke bawah untuk kuartal mendatang.
Pasar juga memperkirakan The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan November mendatang.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 94,5% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Di lain sisi, efek dari agresivitas The Fed di pasar perumahan terus tumbuh. Data perumahan baru, ukuran konstruksi perumahan baru, turun 8,1% pada September lalu, sebagai tanda terbaru dari ekonomi AS yang mulai kehilangan tenaga.
Sektor properti dan perumahan telah terpukul sangat keras oleh kenaikan suku bunga The Fed tahun ini, di mana tingkat hipotek telah melonjak, membuat pembangun rumah waspada meningkatkan pasokan.
Pada hari ini, pelaku pasar bakal memantau beberapa sentimen, di mana salah satunya yakni pergerakan bursa saham Wall Street yang mulai kembali melemah pada perdagangan Rabu kemarin.
Wall Street menghentikan reli dua hari beruntunnya karena kenaikan yield Treasury, di mana yield Treasury tenor 10 tahun mencapai level tertingginya sejak tahun 2008.
Wall Street melemah meski masih ada sentimen positif dari rilis kinerja keuangan beberapa emiten di AS kemarin.
Namun, para pejabat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali mengindikasikan bahwa The Fed akan agresif untuk meredam inflasi.
Kini, kekhawatiran tentang resesi kembali muncul di kalangan pelaku pasar karena The Fed terus mengikuti jalur hawkish yang dilapisi dengan kenaikan suku bunga.
Hal ini membuat beberapa perusahaan di AS kembali merubah proyeksi pendapatannya, dengan beberapa perusahaan dan analis merevisi prospek mereka ke bawah untuk kuartal mendatang.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 94,5% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bp dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Selain itu, investor juga cenderung menanggapi negatif dari rilis data inflasi di Inggris dan Uni Eropa.
Di Inggris, inflasi pada September 2022 tercatat sebesar 10,1% (year-on-year/yoy),naik dari bulan sebelumnya sebesar 9,9% dan menyamai catatan tertinggi dalam 40 tahun pada Juli lalu.
Inflasi itu juga melampaui ekspektasi para ekonom yang meramalkan angka 10% (yoy).
Tingginya inflasi Inggris seiring dengan melonjaknya biaya hidup di negara tersebut yang turut dipicu oleh melambungnya harga energi sebagai imbas dari perang Rusia di Ukraina.
Sementara itu, inflasi September 2022 secara bulanan (month-to-month/mtm) tercatat sebesar 0,5%, sama seperti bulan sebelumnya. Namun, besarannya juga di atas ekspektasi sebesar 0,4% (mtm).
Sedangkan di Uni Eropa, inflasi pada September 2022 tercatat sebesar 9,9% secara tahun tahunan (year-on-year/yoy), sedikit di bawah estimasi awal sebesar 10%.
Meskipun begitu, berdasarkan data yang dirilis EUROSTAT, inflasi itu lebih tinggi dari bulan sebelumnya sebesar 9,1% sekaligus menjadi rekor tertinggi sepanjang sejarah pencatatan yang dimulai pada 1991.
Angka itu juga jauh di atas target bank sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sebesar 2%. Hal tersebut memperkuat alasan ECB untuk terus memperketat kebijakan moneternya, utamanya dengan menaikkan suku bunga.
Adapun, tingginya angka inflasi itu terjadi seiring dengan nilai mata uang euro yang mencapai titik terendah dalam 20 tahun dan krisis energi yang melanda.
Tekanan tertinggi datang dari harga energi yang naik hingga 40,7% (yoy), diikuti oleh makanan, alkohol, dan tembakau sebesar 11,8% (yoy), jasa 4,3% (yoy), dan barang industri non energi sebesar 11,8% (yoy).
Sementara itu, inflasi inti September 2022, yang tidak termasuk harga bergejolak, tercatat sebesar 4,8% atau sesuai dengan ekspektasi. Angka tersebut naik dari bulan sebelumnya sebesar 4,3%.
Adapun, inflasi September 2022 secara bulanan (month-to-month/mtm) tercatat sebesar 1,2% atau sesuai dengan proyeksi. Namun, angka itu naik dari bulan sebelumnya sebesar 0,6%.
Pada hari ini, pelaku pasar bakal kembali memantau beberapa data penting lainnya, di mana salah satunya yakni kebijakan suku bunga acuan bank sentral China (People Bank of China/PBoC).
Konsensus pasar Trading Economics memproyeksikan bahwa bank sentral Negeri Panda akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya kali ini.
Suku bunga pinjaman (loan prime rate/LPR) tenor 1 tahun diprediksikan tetap di level 3,65%, sedangkan LPR tenor 5 tahun diprediksi bertahan di level 4,3%.
Sebelumnya pada Senin lalu, PBoC memutuskan untuk tetap mempertahankan suku bunga medium term lending facility (MLF) di level 2,75%.
PBOC juga telah menyuntikkan pinjaman MLF satu tahun senilai 500 miliar yuan (US$ 69,45 miliar) ke sistem perbankan pada Senin lalu, sesuai dengan jumlah yang jatuh tempo bulan ini dan tidak menghasilkan injeksi atau penarikan likuiditas secara bersih.
Beberapa pengamat mengatakan bahwa PBoC masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga di sisa tahun ini karena operasi pasar terbuka terbaru bank sentral mengisyaratkan bahwa sikap kebijakan akomodatif dapat terus mendorong pemulihan ekonomi.
Zhang Xu, analis pendapatan tetap di Everbright Securities, mengatakan bahwa PBOC telah membuat rollover MLF penuh bahkan ketika suku bunga pasar relatif rendah, memberikan sinyal yang jelas bahwa bank sentral bersedia untuk meningkatkan dukungan untuk ekonomi riil.
Laporan Kongres Nasional Partai Komunis China ke-20 yang disampaikan pada Minggu lalu, telah menggarisbawahi bahwa negara harus terus fokus pada ekonomi riil dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dengan latar belakang seperti itu, Zhang mengatakan mengurangi rasio persyaratan cadangan atau jumlah uang tunai yang harus disisihkan bank sebagai cadangan dapat menjadi opsi kebijakan yang layak dalam beberapa bulan mendatang untuk menekan biaya pembiayaan perusahaan, sebuah proses yang dapat mengurangi LPR.
Adapun dari dalam negeri, pelaku pasar akan memfokuskan perhatiannya ke Bank Indonesia (BI), di mana pada hari ini, hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI selama dua hari akan dirilis.
BI diperkirakan melanjutkan kebijakan agresif pada bulan ini. Proyeksi tersebut sejalan dengan data historisnya di mana bank sentral tak ragu mengerek suku bunga tinggi saat ketidakpastian global meningkat.
Polling CNBC Indonesia yang melibatkan 13 lembaga/institusi memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bp pada hari ini.
Artinya, ada kemungkinan BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bp selama dua bulan beruntun setelah melakukan yang sama pada September lalu.
Ekonom Bahana Sekuritas Satria Sambijantoro mengatakan BI kemungkinan besar akan melakukan agresif pada pekan ini.
"Situasi pada Oktober jelas tidak kondusif dibandingkan pada dua bulan sebelumnya. Yield di tingkat global meningkat yang membuat rupiah terus tertekan. BI juga relatif terlambat dalam menaikkan suku bunga dibandingkan bank sentral lain," tutur Satria dalam laporannya Is 75-point rate hike possible from BI?.
Bahkan, proyeksi paling ekstrem pun muncul, di mana BI akan mempertimbangkan kenaikan 75 bp, meskipun kecenderungan mengarah kepada dosis 50 bp.
Hal tersebut diungkapkan dalam laporan riset dari Bahana Sekuritas yang disusun oleh Kepala Ekonom, Putera Satria Sambijantoro dan timnya.
"Kenaikan suku bunga 75 bp secara aktif dipertimbangkan dalam pertemuan itu (RDG). Walaupun, pejabat BI akhirnya menyelesaikan dengan kenaikan suku bunga 50 bps, banyak yang sebenarnya condong ke arah pergerakan 75 bp daripada hanya 25 bp, karena mereka khawatir tentang penyempitan perbedaan hasil dengan AS dan potensi kenaikan kuat dalam inflasi inti domestik," tulis Bahana Sekuritas, dalam laporannya, Rabu (19/10/2022).
Dengan demikian, kecenderungan kenaikan 50 bp cukup kuat sesuai konsensus ekonom. Namun, Bahana melihat dosis 75 bp menjadi 5,0% dapat dilakukan jika BI ingin menanamkan kepercayaan ke pasar.
Selain itu, BI tertinggal di belakang bank sentral lainnya. Kondisi saat ini, likuiditas dolar perlahan susut di pasar. Jelas ini masa-masa sulit setelah windfall profit dari kenaikan harga komoditas reda.
Sejalan dengan itu, Gubernur BI, Perry Warjiyo telah memberikan sinyal bahwa kenaikan suku bunga yang dilakukan BI akan bersifat 'frontloading'.
Ini jelas membuka kemungkinan kenaikan yang cukup tinggi dari suku bunga acuan, BI-7 Day Reverse Repo Rate (BI-7DRRR) bulan Oktober ini.
Pelaku pasar tentunya menunggu kepastian seberapa besar suku bunga akan dinaikkan. Jika kenaikan hanya 25 bp, bisa menjadi sentimen negatif, sebab selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Rilis data neraca perdagangan Jepang periode September 2022 (06:50 WIB),
- Rilis data ekspor-impor Jepang periode September 2022 (06:50 WIB),
- Rilis data tingkat pengangguran Australia periode September 2022 (07:30 WIB),
- Keputusan suku bunga bank sentral China (08:15 WIB),
- Rilis data indeks harga produsen Jerman periode September 2022 (13:00 WIB),
- Rilis data indeks keyakinan bisnis Prancis periode Oktober 2022 (13:45 WIB),
- Keputusan suku bunga Bank Indonesia (14:30 WIB),
- Rilis data transaksi berjalan Uni Eropa periode Agustus 2022 (15:00 WIB),
- Rilis data klaim pengangguran mingguan Amerika Serikat periode pekan 16 Oktober (21:00 WIB),
- Rilis data penjualan rumah yang sudah dibangun Amerika Serikat periode September 2022 (21:00 WIB).
Â
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Rilis kinerja keuangan PT Matahari Department Store Tbk periode kuartal III-2022 (estimasi),
- RUPS Luar Biasa PT Perintis Triniti Properti Tbk (10:00 WIB),
- RUPS Tahunan PT Menara Capital Nusantara Tbk (10:30 WIB),
- RUPS Luar Biasa PT Tera Data Indonesia Tbk (14:00 WIB).
Â
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2022 YoY) | 5,44% |
Inflasi (September 2022 YoY) | 5,95% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (September 2022) | 4,25% |
Surplus Anggaran (APBN 2022) | 3,92% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q2-2022 YoY) | 1,1% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q2-2022 YoY) | US$ 2,4 miliar |
Cadangan Devisa (September 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA