Kronologi Kasus Penipuan Indosurya Rp 106 T, Terbesar di RI!

dhf, CNBC Indonesia
29 September 2022 13:55
Karangan Bunga dan Poster Aksi Damai Indosurya (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Karangan Bunga dan Poster Aksi Damai Indosurya (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kasus koperasi simpan pinjam (KSP) Indosurya kembali membuat heboh. Sebab, nilai penggelapannya mencapai Rp 106 triliun. Nilai ini menjadikan Indosurya sebagai kasus dengan nilai penggelapan terbesar di Indonesia.

Kasus ini sejatinya sudah menjadi perhatian publik sejak beberapa tahun ke belakang. Semua bermula pada medio 2020.

Tepatnya pada 24 Februari, beberapa nasabah mulai menerima surat dari koperasi Indosurya bahwa uang di deposito atau simpanan tidak bisa dicairkan. Uang itu baru bisa diambil 6 bulan sampai 4 tahun tergantung nominal asset under management (AUM).

Kemudian pada 7 Maret, para nasabah mengaku menerima pemberitahuan via WA bahwa nasabah bisa menarik tabungan mereka mulai 9 maret 2020 dengan batas pengambilan Rp 1 juta per nasabah.

Setelah itu pada 12 maret 2020 nasabah menerima undangan untuk bertemu dengan pihak ISP. Pada pertemuan tersebut setiap nasabah diminta memilih opsi pembayaran yang diinginkan, opsi tersebut tergantung AUM dari setiap nasabah dengan tempo pembayaran antara 3 tahun hingga 10 tahun.

Isu soal KSP Indosurya pun mereda, namun hanya sesaat. Kisaran Juni 2021, isu KSP Indosurya kembali menyeruak.

DPR-RI bahkan sempat memanggil pihak Kementerian Koperasi terkait isu ini. Dari sini terungkap, rupanya KSP Indosurya telah gagal bauar hingga masuk dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)

Putusan pertama jatuh pada tanggal 17 Juli 2020. Kemudian ada proses banding dan PKPU sudah diputuskan akhir Desember 2020.

"Kemudian sudah berjalan proses saat ini adalah proses pembayaran kewajiban berdasarkan putusan PKPU. Jadi homologasi yang sudah disepakati dan sudah diputuskan oleh sidang Pengadilan Niaga Jakarta Pusat," ujar eputi Bidang Perkoperasian Kemenkop dan UKM Ahmad Zabadi kala itu.

"Memang kemudian dari informasi yang kami ikuti proses pembayaran ini kan baru dimulai Januari kemarin dan ini akan berlangsung sampai 2026. Memang panjang," sambungnya.

Ia juga menanggapi soal kabar adanya nasabah yang belum menerima pembayaran sejak Januari 2021. Ahmad mengungkapkan, berdasarkan data yang didapat Kedeputian Perkoperasian Kemenkop dan UKM, sebagian pembayaran sudah berjalan sesuai jadwal yang ditetapkan dalam homologasi.

"Hanya saja memang yang terakhir dengan alasan sebagian dari fixed asset yang dijadikan sebagai jaminan itu belum selesai penjualannya sehingga informasi terakhir, dua bulan terakhir ini kira-kira April-Mei kami dapatkan informasi agak tersendat," kata Ahmad.

"Tetapi secara umum, kami ikut memantau ini dari sisi pembayaran pengembalian kewajiban ini sejauh yang kami ikuti untuk pembayaran ini masih dapat berjalan. Dan kami akan terus ikuti karena ini masih awal dan ini masih akan berlangsung sampai tahun 2026. Saya kira demikian," lanjutnya.

Fakta menarik juga ditemukan setelah para nasabah sempat melakukan rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR-RI pada Mei 2020 lalu.

alah satu nasabah ISP yakni Rendy mengungkapkan bagaimana siasat ISP terhadap para anggota karena berbentuk koperasi maka penyimpan dana disebut anggota.

"Selama ini kita dianggapnya nasabah, kita nggak tahu keanggotaan koperasi. Jadi sama marketing kita hanya dianggap nasabah," kata Rendy dalam rapat virtual dengan Komisi VI, Jumat (8/5/2020).

Rendy kemudian menyadari dia seharusnya berstatus sebagai anggota koperasi ISP. Namun faktanya, dia justru menemukan hal yang aneh karena status keanggota ISP sengaja dibuat abu-abu.

Ternyata dalam aturan ISP, untuk menjadi anggota ada simpanan wajib dan simpanan pokok yang harus dipenuhi. Namun hal itu tidak diberitahukan kepada para anggota.

Hal itu karena berdasarkan anggaran dasar rumah tangga, disebutkan bahwa ada simpanan wajib yang setiap bulan disetor Rp 20 juta dan simpanan pokok Rp 500.000. Hanya saja informasi ini tidak disampaikan. "Nah itu kita tidak diinformasikan [soal simpanan itu]," ungkapnya.

Maka sadarlah Rendy bahwa dia dan teman-temannya tidak berstatus anggota koperasi lantaran tidak membayar simpanan wajib dan simpanan pokok.

Akan tetapi, setelah kejadian gagal bayar menyeruak ke publik, para nasabah juga tidak disebut sebagai nasabah. Rendy merasa ada kesengajaan yang dibuat rancu terhadap status anggota ISP.

"Jadi kalau mengacu pada UU koperasi kita bukan anggota koperasi, kalau dibilang nasabah kemarin katanya koperasi tidak ada nasabah, jadi anggota. Jadi kami tidak ada kejelasan, menurut saya ini kebohongan publik," tegas.

Dalam kesempatan itu, Herman Khaeron, dari Fraksi Partai Demokrat mengatakan Kementerian Koperasi dan UKM mesti ada data soal kasus ini.

"Kemenkop harus ada data, PPATK-nya, ini ya betul betul sudah kita antisipasi. Kita tergagap-gagap sudah ISP tidak punya data, data nasabah apalagi data transaksinya. Seolah olah sistem koperasi jadi sistem yang rentan terhadap penggelapan uang pinjaman nasabah," tegasnya.

"Yang kita inginkan, simpanan di koperasi, tingkat desa, kecamatan, tidak termonitor. Duit itu yang terjadi perputaran di bawah. Inilah cara pandang mengapa koperasi dari oleh untuk itu ada. Ini catatan ke depan Komisi VI meminta Kemenkop membuat dasar hukum yang lebih kuat mengenai pengawasan eksternal, sejauh ini belum terakomodir," katanya.

Kasus gagal bayar KSP Indosurya berujung pada penahanan tiga tersangka. Ketiganya adalah, Ketua KSP Indosurya Cipta, Henry Surya dan Head Admin Indosurya, June Indri bebas.

Namun, ketiganya bebas dari penahanan pada pertengahan tahun ini. Alasannya karena masa penahanan 120 hari sudah habis.

Meski begitu, Henry dan June masih berstatus tersangka. Kasus yang menjeratnya juga tetap berlanjut.

Menko Polhukam Mahfud MD buka suara terkait dibebaskannya dua tersangka KSP Indosurya dari rutan Bareskrim Polri.
Ia sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM bahwa kasus ini merupakan kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan.

"Merespons reaksi publik atas rasa keadilan dalam kasus KSP Indosurya yang dua tersangkanya dilepaskan maka saya sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM. Kesimpulannya, kasus ini adalah kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan," kata Mahfud mengutip laman detik.com, Rabu.

Mahfud menjelaskan, dua tersangka tersebut dibebaskan dari rutan lantaran masa penahannya sudah habis. Dia menyebut Kejaksaan Agung sedang memastikan pembuktian di pengadilan nanti akan berjalan lancar.

Mahfud melanjutkan, dirinya mendukung Bareskrim Polri untuk menangkap kembali dua tersangka yang sudah dikeluarkan dari rutan dengan locus dan delik yang berbeda. Dia mengatakan kasus tersebut harus terus berjalan.

"Kita mendukung Bareskrim menangkap lagi 2 tersangka dalam kasus terkait yang locus dan tempus delictinya beda. PPATK sudah lama menjejak, kasus ini ini harus jalan," ungkapnya.

Kasus KSP Indosurya kini telah masuk tahap persidangan. Dari sini terungkap, nilai penggelapan dana nasabah mencapai Rp 106 triliun.

Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (JAM-Pidum) Kejagung Fadil Zumhana mengatakan, nilai tersebut berdasarkan hasil laporan analisis (HLA) yang dilakukan Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Mengingat besarnya nilai uang yang digelapkan, ia meminta kasus KSP Indosurya harus menjadi perhatian nasional.

Terlebih, belum ada kasus yang menyebabkan kerugian masyarakat mencapai Rp 106 triliun. ""Ini kasus yang menarik perhatian nasional karena kerugian sepanjang sejarah belum ada kerugian yang dialami Rp106 triliun oleh masyarakat Indonesia," seperti dikutip dari CNN Indonesia, Kamis (29/9/2022).

Fadil mengatakan saat ini perkara tersebut telah disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat dengan terdakwa Cipta Henry Surya selaku Ketua KSP Indosurya dan Direktur Keuangan KSP Indosurya Cipta June Indria.

Ia mengakui penanganan perkara tersebut memang sempat tersendat saat prapenuntutan. Kendati demikian, Fadil memastikan pihaknya berusaha melindungi korban dalam persidangan tersebut dengan mengungkap peristiwa pidana yang terjadi.

"Kami berupaya bagaimana kerugian korban bisa kami selamatkan sehingga berdasarkan berkas perkara bisa disita Rp2,5 triliun," jelas Fadil.

Lebih lanjut, dirinya juga meminta agar masyarakat lebih berhati-hati dalam memilih tempat berinvestasi. Sebab sekarang banyak perusahaan yang justru merugikan masyarakat.

Di sisi lain, Kejagung juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ikut memantau proses persidangan guna membantu pengusutan kasus tersebut.

"Kami minta bantuan dari KPK untuk mengikuti perkembangan persidangan perkara ini supaya proses yang dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, transparan, dan secara yuridis sudah dibuat sesuai ketentuan hukum pidana," tuturnya.

Dalam perkara ini, para tersangka didakwa dengan Pasal 46 Undang-Undang Perbankan dengan ancaman pidana 15 tahun dengan kumulatif Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana 20 tahun. Adapun satu tersangka lainnya, yaitu Suwito Ayub masih berstatus buronan.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular