Banyak Tekanan dari The Fed Hingga China, Nasib Timah Suram!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
Kamis, 01/09/2022 15:15 WIB
Foto: Dok.PT Timah

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga timah dunia terpantau melemah pada sesi perdagangan hari ini pasca rilis data PMI manufaktur China versi NBS di mana aktivitas manufaktur bulan ini naik dibandingkan bulan lalu.

Namun, China sebagai konsumen timah terbesar ini masih menerapkan kebijakan lockdown sehingga mendorong industri di China kembali lesu.

Harga timah di pasar logam dunia, London Metal Exchange (LME) pada Kamis (1/9/2022), pukul 14.15 WIB tercatat US$ 21.850 per ton, ambrol 4,31% dibandingkan harga penutupan kemarin yakni US$ 22.793 per ton.


Pesanan perusahaan solder hilir tidak meningkat secara signifikan pada bulan Agustus jika dibandingkan dengan bulan Juli. Sementara, perusahaan timah foil restock karena harga timah yang rendah dan antisipasi konsumsi yang lebih baik di semester kedua tahun ini.

Permintaan yang tertekan membuat harga timah akan terus bergerak sideways, kecuali ada peristiwa besar yang membalikkan keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar.

Apalagi, komentar yang hawkish dari Ketua bank sentral Amerika Serikat (AS) Jerome Powell pada Jumat (26/8) pekan lalu, kian menambah tekanan terhadap permintaan timah.

Pejabat The Fed menduga bahwa tanda-tanda pelandaian inflasi belum akan terjadi dalam waktu dekat dan inflasi belum mencapai puncaknya.

Alhasil, Powell mengindikasikan kenaikan suku bunga acuan lanjutan pada pertemuan September 2022 untuk meredam angka inflasi yang masih berada dekat dengan rekor tertingginya sejak 40 tahun.

Kekhawatiran resesi AS tentunya membuat negara-negara di dunia ikut ketar-ketir. Termasuk pula China di mana penguncian terus-menerus akibat Covid-19 pada akhirnya melemahkan permintaan timah.

Kekhawatiran tentang permintaan China diperkuat setelah otoritas kesehatan menutup pasar elektronik terbesar di dunia yaitu Huaqiangbei yang terletak di Shenzhen. Sebanyak 24 stasiun kereta bawah tanah (subway) juga ditutup sementara.

Pada Rabu kemarin, data PMI manufaktur China versi NBS telah dirilis, di mana aktivitas manufaktur bulan ini naik menjadi 49,4, dari sebelumnya di angka 49 pada bulan lalu.

Meski alami peningkatan, namun indeks manufaktur ini masih di level kontraksi karena berada di bawah level 50. Hal ini menunjukkan bahwa China sedang berjuang untuk bangkit dari perlambatan ekonominya.

PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas. Di bawahnya berarti kontraksi, sementara di atasnya ekspansi. Masih berkontraksinya manufaktur Negeri Panda disebabkan karena China masih menerapkan kebijakan nol Covid-19 atau zero Covid.

Negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping itu masih saja menerapkan kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19. Saat ada kluster penularan, maka jalan keluarnya selalu melakukan karantina wilayah alias lockdown.

Ini membuat perekonomian Negeri Panda maju-mundur. Saat 'keran' aktivitas masyarakat mulai dibuka, ekonomi mulai bergeliat, beberapa waktu kemudian 'digembok' lagi. Alhasil, industri di China kembali lesu.

Apalagi, China merupakan konsumen timah terbesar di dunia. Konsumsi timah China mencapai 216.200 ton pada tahun 2020. Sehingga permintaan dari Negeri Panda tersebut dapat berpengaruh terhadap harga timah dunia. Ketika permintaan naik, maka harga pun mengikuti.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aum/vap)