Minyak Mentah Turun, RI Kok Sibuk Naikkin Harga BBM?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
Kamis, 01/09/2022 17:25 WIB
Foto: Warga antre mengisi Bahan Bakar Minya (BBM) jenis Pertalite di SPBU Kuningan, Jakarta, Rabu (31/8/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Minyak mentah dunia beberapa waktu ini kembali terkoreksi hingga diperdagangkan di bawah level US$100/barel. Namun, isu kenaikan Bahan Bakar Motor (BBM) bersubsidi dalam negeri kian santer. Lalu, apa urgensi pemerintah untuk menaikkan BBM bersubsidi?

Pada Kamis (01/9/2022), pukul 09:25 WIB, harga minyak jenis brent di banderol US$ 96,49/barel, tergelincir 2,84% ketimbang posisi penutupan di hari sebelumnya. Sedangkan, jenis light sweet anjlok 2,28% ke US$ 89,55/barel.

Di sepanjang pekan ini, harga brent dan light sweet ambles yang masing-masing sebesar 3,06% dan 3,01%. Tidak hanya itu, sepanjang bulan kebelakang, harga brent dan light sweet juga jatuh yang masing-masing sebesar 3,79% dan 3,19%.


Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, harga minyak mentah dunia sempat melonjak dan stabil berada di atas level US$100/barel.

Namun, pada awal Agustus 2022 untuk jenis minyak brent mulai menunjukkan tren penurunan dan diperdagangkan hingga di bawah level US$ 100/barel. Sementara untuk jenis light sweet, harga sudah mulai turun pada 04 Juli 2022 dan berada di bawah level US$100/barel.

Ambruknya harga minyak mentah dipicu oleh kekhawatiran bahwa permintaan akan turun, setelah China mengalami perlambatan pada pertumbuhan ekonominya karena masih menerapkan kebijakan zero Covid. Artinya, ketika ada penambahan kasus penyakit akibat virus corona ini, maka pembatasan sosial kembali diketatkan, bahkan tidak segan melakukanlockdown.

Akhirnya, kebijakan tersebut membatasi aktivitas bisnis dan membuat pertumbuhan ekonominya mengalami perlambatan yang signifikan.

Biro Statistik China melaporkan pada Jumat (15/7/2022) bahwa PDB China pada kuartal II-2022 berada di 0,4% dan berada jauh dari pertumbuhan ekonomi pada kuartal sebelumnya yang mencapai 4,8%. Angka tersebut juga berada jauh dari konsensus pasar di 1%.

Padahal, China merupakan salah satu konsumen terbesar minyak mentah. Melansir laporan dari BP Statistical review of World Energy, pada 2021, China berkontribusi sebanyak 16% dari total importir minyak mentah dunia. Sehingga ketika ekonomi China mengalami perlambatan, maka kekhawatiran akan penurunan permintaan terhadap minyak mentah dunia meningkat.

Selain itu, tekanan inflasi menyebabkan bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga acuan, yang akan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Akibatnya, permintaan energi dikhawatirkan berkurang.

Di Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve/The Fed kemungkinan akan menaikkan suku bunga acuan 75 basis poin (bps) pada rapat 21 September. Mengutip CME FedWatch, peluangnya mencapai 72%.

Di Eropa pun demikian. Madis Muller, Pejabat European Central Bank/ECB, mengungkapkan kenaikan suku bung acuan 75 bps adalah salah satu opsi dalam rapat September.

"Saya rasa kenaikan suku bunga acuan 75 bps dalam rapat September mendatang akan menjadi opsi jika inflasi tidak kunjung membaik. Saya akan mengikuti rapat dengan pikiran terbuka. Namun kita semestinya tidak terlalu terkekang dalam mengambil kebijakan karena inflasi sudah terlalu tinggi untuk terlalu lama," papar Muller, seperti dikutip dari Reuters.

Namun, ketika harga minyak mentah mulai turun, justru di dalam negeri kian gencar wacana kenaikan harga BBM yang disebut-sebut akan naik dalam waktu dekat.


(aaf/aaf)
Pages