
Minyak Mentah Turun, RI Kok Sibuk Naikkin Harga BBM?

Pemerintah Indonesia telah melonggarkan sejumlah pembatasan aktivitas dalam negeri setelah diterpa badai Covid-19 selama hampir dua tahun sejak Maret 2020. Sehingga, aktivitas perekonomian dalam negeri berangsur normal.
Sejalan dengan hal tersebut, permintaan akan minyak mentah pun naik. Seperti diketahui, minyak mentah merupakan bahan baku BBM yang digunakan masyarakat untuk beraktivitas.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan Impor hasil minyak sepanjang Januari-Juli 2022 menembus US$ 14,38 miliar atau naik 97,71%. Sementara itu, impor minyak mentah mencapai US$ 6,42 miliar atau melesat 62,38%.
Volume impor BBM termasuk untuk bahan bakar pesawat dan diesel menyentuh 14,31 juta ton pada Januari-Juli 2022 atau naik 17,63% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Volume impor LPG menyentuh 3,9 juta ton atau naik 40,92%.
Impor hasil minyak melonjak tajam sejak Maret tahun ini atau pasca perang Rusia-Ukraina meletus pada akhir Februari lalu. Pada periode Maret-Juli, rata-rata nilai impor hasil minyak mentah mencapai US$ 2,24 miliar per bulan. Padahal, pada empat bulan sebelum perang (November 2021-Februari 2022), nilai rata-rata impornya hanya US$ 1,73.
Nilai impor juga terus merangkak naik dari US$ 2,15 miliar pada Mei menjadi US$ 2,27 miliar pada Juni, dan US$ 2,36 miliar pada Juli.
Untuk minyak mentah, impor nya sangat fluktuatif. Impor sempat melonjak tajam pada April karena persiapan Lebaran Idul Fitri. Namun, angkanya tidak setinggi hasil minyak.
Kenaikan impor minyak mentah dan hasil minyak ini tentu saja akan membebani anggaran pemerintah mengingat sebagian besar komoditas tersebut akan diolah menjadi Pertalite yang harganya masih disubsidi.
Bahkan, lonjakan nilai impor BBM menjadi salah satu faktor yang membuat neraca perdagangan RI kian tipis surplusnya.
Neraca Perdagangan pada Juli 2022 hanya membukukan surplus senilai US$ 4,23 miliar, makin tergerus jika dibandingkan pada bulan sebelumnya di US$ 5,15 miliar. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan impor yang semakin tinggi dan dibarengi oleh penurunan ekspor karena melandainya harga komoditas di pasar international.