Awas! Duet Pertalite-Rupiah Bisa Bikin Pelaku Usaha Tekor

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 September 2022 14:10
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertalite dan Solar masih kencang berhembus, meski harga BBM non subsidi mengalami penurunan.

Sempat beredar kabar pemerintah akan mengumumkan kenaikan harga Pertalite dan Solar pada 31 Agustus kemarin, tetapi nyatanya masih tertunda. Kenaikan Pertalite maupun Solar sepertinya pasti akan terjadi, tinggal masalah waktunya saja.

Kode keras sudah muncul saat pemerintah sudah mengeluarkan bantuan sosial (Bansos) senilai Rp 24 triliun, sebagai bantalan bagi warga yang terdampak kenaikan harga BBM.

Namun, dampak kenaikan BBM subsidi tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga sektor finansial dan dunia usaha.

Sejarah berkata, rupiah selalu menjadi korban saat harga BBM subsidi dinaikkan. Saat nilai tukar rupiah terpuruk, dunia usaha akan terkena imbasnya, terutama yang mengandalkan impor. Tidak hanya dari kenaikan BBM subsidi, rupiah juga mendapat tekanan dari luar negeri, di mana bank sentral Amerika Serikat (AS) sangat agrersif dalam menaikkan suku bunga.

Kenaikan itu masih akan dilakukan hingga tahun depan, dan suku bunga tinggi akan ditahan dalam waktu yang lama. Alhasil, ada risiko rupiah akan tertekan hingga tahun depan.

Pada Juli lalu, rupiah sempat menembus ke Atas Rp 15.000/US$, sebelum bisa bangkit ke kisaran Rp 14.600/US$ pada pertengahan Agustus lalu.

Tetapi isu kenaikan Pertalite serta The Fed yang terus agresif membuat rupiah kembali melemah dan berada di kisaran Rp 14.880/US$ pada perdagangan Kamis (1/9/2022) siang.

Sepanjang tahun ini, rupiah tercatat melemah sekitar 4,4%.

Jika rupiah terus melemah, maka beban impor akan semakin meningkat yang membenani dunia usaha. Hal ini dikatakan oleh Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Margo Yuwono saat mengumumkan inflasi Indonesia hari ini.

Margo melihat impor bahan baku mengalami tren peningkatan yang bisa menjadi kabar baik, sekaligus harus waspada.

"Kita perlu perhatikan impor bahan baku, sejak 2020 sampai Juli 2022 menunjukkan impor mengalami peningkatan, bisa karena volume dan harga. Tapi catatannya peningkatan impor bahan baku sinyal baik bagi ekonomi, tapi pelemahan nilai tukar bisa jadi beban pelaku usaha dalam negeri. Ini perlu diwaspadai ke perkembangan harga secara umum di Indonesia," kata Margo dalam konferensi pers hari ini.

Berdasarkan data dari BPS, nilai impor bahan baku/penolong pada Juli 2022 US$ 16,7 miliar, melesat 44,5% dari Juli 2021. Sementara pada periode Januari - Juli 2022, nilainya mencapai US$ 106,8 miliar, melesat 32,4% dari periode yang sama tahun lalu.

bpsFoto: BPS

Impor bahan baku/penolong ini berkontribusi sebesar 77,66% terhadap total impor di semester I. Sementara itu impor barang modal yang berkontribusi sebesar 14,23% juga melesat 28,5% year-on-year (yoy) di semester I menjadi US$ 19,57 miliar.

Ketika nilai tukar rupiah melemah, maka beban impor pelaku usaha akan membengkak. Jika beban impor tersebut tidak diteruskan ke konsumen, maka pengusaha akan tekor. Sementara jika diteruskan ke konsumen, artinya inflasi di dalam negeri akan semakin meninggi. Apalagi melihat porsi bahan baku/penolong yang lebih dari 77% dari total impor. Dampaknya ke inflasi tentu akan besar.

BPS melaporkan inflasi pada Agustus sebesar 4,69% (yoy) melandai dari bulan sebelumnya 4,94% yang merupakan level tertinggi sejak 2015. Meski melandai, jika nilai tukar rupiah terpuruk saat harga pangan masih tinggi, maka ke depannya inflasi bisa jadi akan meninggi lagi.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kenaikan Pertalite Bisa Bikin Rupiah Jeblok

Stabilitas nilai tukar rupiah memang sangat penting bagi importir agar beban usahanya tidak membengkak. Di tengah isu kenaikan BBM subsidi, nilai tukar rupiah kembali menjadi perhatian.

Jika melihat ke belakang, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi), BBM subsidi dinaikkan sebanyak 5 kali. SBY menaikkan sebanyak 4 kali, sementara Jokowi sekali di 2014 saat pertama kali menjabat sebagai RI 1.

Pada 2005 lalu, SBY menaikkan BBM subsidi sebanyak dua kali, pada Maret sebesar 29% dan pada Oktober sebesar 114%.

Kemudian pada Mei 2008, pemerintah kembali menaikkan BBM sebesar 28% pada Mei 2008. Sebelum selesai menjabat dua periode, SBY juga menaikkan BBM sebesar 30% pada Juni 2013.

Jokowi yang mulai menjabat menjadi presiden sejak Oktober 2014 langsung menggebrak dengan menaikkan BBM sebesar 34%.

Rupiah pun selalu terpuruk saat kenaikan tersebut. Di akhir Oktober 2014, sebelum kenaikan BBM Premium, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Desember. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38%year-on-year(yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering The Fed.

Pada 2008, BBM dinaikkan Mei, tidak lama berselang rupiah melemah sekitar 1,7%. Sementara di 2005 saat dua kali kenaikan, rupiah merespon berbeda. Kenaikan pertam direspon dengan merosot 5,9%, sementara yang kedua malah menguat 6,5%.

Jika dilihat sepanjang tahun, setiap terjadi kenaikan BBM rupiah selalu tercatat melemah. Pada 2005 pelemahannya sekitar 6%, dan 2008 sebesar 15,5%.

2013 lebih parah lagi, rupiah jeblok lebih dari 26%, sekali lagi karena ada isu tapering The Fed. Terakhir 2014, pelemahan rupiah tipis 1,8%, tetapi karena BBM baru dinaikkan pada bulan November. Pelemahan rupiah berlanjut hingga 2015, tercatat sekitar 11%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular