Jakarta, CNBC Indonesia - Secara mengejutkan, Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menaikkan tingkat bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2022.
Kenaikan bunga acuan merupakan langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food.
Selain itu, kebijakan ini juga dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah di tengah tingginya ketidakpastian ekonomi global akibat perang Rusia dan Ukraina yang akhirnya memicu krisis di berbagai sektor.
Lantas, saat suku bunga bank sentral terkerek, apa yang terjadi? Apa dampak yang langsung dirasakan oleh masyarakat?
Kala suku bunga mengalami kenaikan, situasi ini tentu akan berpotensi mengerek bunga kredit. Artinya, pinjaman di seluruh subsektor kredit, misalnya sektor konsumsi akan semakin mahal karena bunga yang tinggi.
Selain itu, Bunga kartu kredit dan Kredit Tanpa Agunan (KTA) bisa meningkat. Begitu juga dengan Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Angsuran bisa menjadi mahal karena kredit yang tinggi.
Terutama Kredit Kepemilikan Rumah (KPR). Hal ini juga yang dicermati oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia memperkirakan masyarakat akan semakin sulit memiliki murah di tengah tren kenaikan suku bunga acuan.
"Untuk membeli rumah 15 tahun mencicil di awal berat, suku bunga dulu, prinsipalnya di belakang. Itu karena dengan harga rumah tersebut dan interest rate sekarang harus diwaspadai karena cenderung naik dengan inflasi tinggi," jelas Sri Mulyani
Di saat BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga, pemerintah saat ini tengah mengkaji opsi pengendalian subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Salah satu opsi yang mengemuka adalah menaikkan harga terutama BBM subsidi.
Sepanjang 2005-2022, pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi sebanyak lima kali yakni dua kali pada 2005, satu kali pada 2008, 2013, dan 2014. Kenaikan harga tersebut menunjukkan pola yang sama yaitu inflasi akan melonjak tajam begitu harga BBM dinaikkan.
Inflasi dampak lanjutan (second round effect) kerap kali lebih besar dibandingkan dampak pertama (first round effect). Pola tahunan juga menunjukkan sejumlah barang dan jasa juga akan selalu mengalami lonjakan harga, terutama tarif angkutan.
Hasil simulasi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) berjudul Dampak Kenaikan BBM 2005 terhadap Kemiskinan menunjukkan dampak inflasi dari kenaikan BBM tidak hanya menyentuh sektor transportasi.
Kenaikan harga BBM juga berdampak kepada harga padi, sayuran, hasil ternak, perikanan laut, gula, beras, pupuk, pertambangan, industri baja, listrik, gas, air bersih, konstruksi, perdagangan, restoran, hotel, angkutan kereta api, angkutan darat, pelayaran, angkutan air, angkutan udara, komunikasi, hingga keuangan.
Berkaca pada kebijakan kenaikan harga BBM yang ditempuh Presiden Jokowi pada November 2014, terjadi kenaikan harga yang begitu signifikkan kala harga BBM dinaikkan rata-rata 33,57%.
Pada saat itu, harga bensin premium dari Rp 6.500 per liter menjadi Rp8.500 per liter dan minyak solar dari Rp 5.500 per liter menjadi Rp 7.500 per liter. Pada November 2014, inflasi tercatat 1,50% sementara pada Desember menyentuh 2,46%.
Menyusul kenaikan harga BBM, tarif angkutan dalam kota menyesuaikan tarif sebesar 15 - 33%. Pada 2014, tarif angkutan dalam kota yang menyumbang inflasi sebesar 0,63%, tarif angkutan udara sebesar 0,22%, dan tarif angkutan antar kota sebesar 0,14%.