Review Komoditas

Harga Gas Meroket, Harga Pangan Melandai

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
01 August 2022 14:45
nikel
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas dunia yang diukur dengan S&P Goldman Sachs Commodity Index ambles sepanjang Juli 2022. Ketakutan akan resesi membayangi gerak komoditas baik energi, biji-bijian, sawit, hingga logam. Hanya gas alam yang melesat karena 'perang' gas Rusia.

Commodity Index tercatat 692,64, lebih rendah 2,34% secara point-to-point (ptp) dibandingkan bulan sebelumnya di 709,23. Sektor energi terdiri dari batu bara, minyak mentah dunia, dan gas alam.

Jawaranya adalah harga gas alam, meroket hingga 51,71% ptp sepanjang Juni, ditutup di US$ 8,23 per mmbtu.

Perusahaan gas Rusia, Gazprom, memangkas pasokan gas ke Eropa lewat jaringan Nord Stream 1 hanya akan mengalirkan gas sebesar 33 juta meter kubik (mcm) atau 20% dari kapasitas maksimal. Padahal sebelumnya Gazprom sudah pangkas aliran gasnya hanya 40% lewat Nord Stream 1 karena perawatan turbin di Kanada. Setelah agenda perawatan selama 11-21 Juli 2022.

Masalahnya, yang bermasalah tidak hanya pipa milik Gazprom. Aliran gas melalui rute pipa lain, seperti Ukraina, juga telah turun sejak serangan Rusia ke Ukraina.

Aliran gas dari Rusia lewat pipa ke Eropa yang belum 100%. Ini menimbulkan kekhawatiran terjadinya krisis energi terutama saat musim dingin.

Rusia adalah pemasok utama gas alam lewat pipa ke Eropa. Menurut catatan BP Statistical Review 2022, Rusia memenuhi 45,25% pasokan gas alam ke Eropa lewat pipa. Jumlahnya mencapai 167 miliar meter kubik (bcm) dari total impor gas alam Eropa lewat pipa 369,1 bcm. Pipa Nord Stream 1 sendiri mengangkut 55 bcm gas per tahun dari Rusia ke Jerman di bawah Laut Baltik.

Dampaknya juga terasa ke batu bara yang naik 9,91%, ditutup di US$ 405,5 per ton. Batu bara telah dilirik negara-negara di eropa sebagai alternatif dari gas alam yang dominan sebagai pembangkit energi listrik. Sehingga ada ekspektasi meningkatnya permintaan batu bara. Permintaan naik, harga mengikuti.

Sementara dua acuan harga minyak mentah dunia, brent dan light sweat atau West Texas Intermediate (WTI), kompak melemah. Masing-masing turun 4,18% ptp dan 6,75% ptp. Harganya ditutup di US$ 110,01 per barel dan US$ 98,62 per barel.

Harga minyak mentah dunia melanjutkan tren turun yang dimulai sejak Juni yang disebabkan oleh kenaikan suku bunga agresif bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed). Kebijakan monEter yang ketat saat ini merupakan langkah besar karena meningkatkan kemungkinan resesi AS. Ditambah dengan prospek ekonomi China yang diperkirakan melambat karena aktivitas lockdown akibat gelombang baru virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19).

Resesi atau perlambatan ekonomi AS dan China dapat membuat permintaan minyak mentah terutama untuk bahan bakar menyusut.

Meski demikian, harga minyak pada paruh kedua bulan menguat karena pasokan yang ketat dan kenaikan suku bunga The Fed sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 2,25% - 2,5% yang sudah diantisipasi pasar sebelumnya.

Stok minyak Amerika Serikat (AS) pada pekan yang berakhir 22 Juli 2022 berkurang drastis 4,52 juta barel. Penurunan stok minyak AS terjadi karena ekspor yang mencapai 4,5 juta barel/hari pada pekan lalu. Ini adalah angka ekspor minyak terbesar sepanjang sejarah Negeri Paman Sam. Sayangnya sentimen ini masih tidak mampu mengembalikan rugi sebelumnya.

Harga Komoditas EnergiSumber: Refinitiv

Harga komoditas logam cenderung melemah sepanjang Juli 2022. Harga tembaga pada Juli ditutup di US$ 7.917,5 per ton, turun 3,89% ptp. Sementara timah turun 5,31% ptp di US$ 25.407 per ton. Nikel berhasil menguat 4,06% menjadi US$ 23.619 per ton.

Sepanjang bulan harga logam industri terus dibayangi oleh ekspektasi kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserves/The Fed) yang agresif paska pengumuman inflasi yang tembus 9,1%, tercepat dalam 40 tahun terakhir.

Para pelaku pasar cemas kenaikan suku bunga akan memantik perlambatan ekonomi AS, bahkan hingga resesi. Akibat dari resesi adalah prospek permintaan tembaga sebagai logam industri akan menyusut.

Kecemasan itu saat ini jadi kenyataan. Ekonomi AS mencatatkan kontraksi sebesar 0,9% pada kuartal II-2022. Artinya, ekonomi Negara Paman Sam sudah terkontraksi selama dua kuartal.

Pada kuartal I-2022, pertumbuhan mereka juga terkontraksi 1,6%. Secara teknikal, ekonomi AS sudah masuk resesi. Hal ini yang kemudian menekan harga logam.

Harapan untuk melihat lebih banyak stimulus pada proyek infrastruktur China menjadi penahan penurunan harga logam. Sebab stimulus dipercaya dapat memperkuat permintaan logam setelah pertemuan Politbiro China pada akhir bulan untuk membahas kebijakan ekonomi untuk sisa tahun ini.

China sendiri adalah konsumen tembaga olahan terbesar di dunia. Menurut Statista, konsumsi tembaga mencapai 54% persen dunia. Sementara China adalah konsumen terbesar nikel di dunia dengan konsumsi sebesar 1,31 juta ton pada 2020 dan  konsumsi timah China mencapai 216.200 ton pada tahun 2020, melansir Statista.  Sehingga permintaan dari China memiliki pengaruh terhadap harga logam dunia.

Harga logam mulia dunia, emas dan perak, bergerak searah sepanjang Juni 2022. Pada Juli 2022 harga emas dunia ditutup di US$ 1.765,22 per troy ons, turun 2,31% ptp. Sedangkan harga perak tercatat US$ 20,32 per ons.

Logam mulia mulai dilepas oleh investor sejak pengumuman laju inflasi Amerika Serikat (AS) yang mencapai 9,1% pada Juni. Meskipun safe hafen secara tradisional adalah pelindung aset ketika inflasi sedang tinggi. Namun inflasi yang tinggi memicu kenaikan suku bunga bank sentral di dunia.

Saat inflasi AS dirilis, pasar melihat Th Fed akan lebih agresif. Saat itu, Menurut perangkat FedWatch milik CME group, para pelaku pasar melihat probabilitas sebesar 78,6% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin menjadi 2,5% - 2,75%.

Sementara pada pertemuan akhir tahun, pasar melihat suku bunga The Fed bisa mencapai 3,5% - 3,75%.

Suku bunga yang naik akan meningkatkan biaya peluang memegang logam mulia yang tidak memberikan imbal hasil. Permintaan pun turun, harga mengikuti.

Selain itu, logam mulai juga tertekan oleh mata uang dolar Amerika Serikat (AS) yang melesat hingga mencapai posisi tertinggi dalam 20 tahun terakhir. Namun, setelah The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga harga logam mulia berangsur bangkit dari posisi terendahnya.

The Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 2,25% hingga 2,5% pada Kamis (28/7/2022) dini hari waktu Indonesia.

Kebijakan tersebut sesuai dengan ekspektasi pelaku pasar. Pernyataan bos The Fed Jerome Powell terkait dampak negatif kenaikan suku bunga terhadap ekonomi AS juga mendorong perak. Pernyataan Powell menjadi sinyal jika The Fed kemungkinan akan sedikit mengerem kebijakan agresif mereka.

Kebijakan tersebut dianggap tidak se-hawkish ekspektasi saat inflasi Amerika Serikat (AS) melaju ke tingkat tercepat dalam 40 tahun terakhir, yakni 9,1% year-on-year/yoy. 

Harga Logam MuliaSumber: Refinitiv

Komoditas pangan yakni biji-bijian dan minyak nabati harganya melandai sepanjang Juni. Harga gandum global turun 7,03% ptp sepanjang Juli 2022 menjadi US$ 807 per gantang. Sementara minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) turun 12,65% ptp menjadi MYR 4.289/ton.

Harga biji-bijian terjun dari posisi tertingginya karena perkiraan produksi yang meningkat pada 2022-2023. Organisasi pangan dan tanaman global (FAO) memperkirakan produksi gandum menjadi 770,3 juta ton. Sementara perkiraan ekspor gandum global menjadi 190,6 juta ton dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 188,9 juta ton.

Sementara untuk jagung, meningkatnya ketersediaan tanaman di Argentina dan Brasil karena panen yang berkembang pesat. Perbaikan kondisi panen di AS juga membebani harga, ujar FAO.

Minyak sawit dunia sepanjang Juni merosot karena pasar dunia dibanjiri pasokan dari Indonesia. Indonesia tercatat telah mengeluarkan izin ekspor minyak sawit untuk gabungan melalui skema Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 3,84 juta ton, sehingga jika ditotalkan hingga saat ini total kuota ekspor sekitar 5,3 juta ton di bawah skema DMO dan percepatan ekspor.

Dengan begitu, tampaknya penurunan harga CPO hari ini karena pasokan ekspor CPO Indonesia mulai membanjiri pasar nabati dunia yang tidak sebanding dengan permintaannya.

Diketahui, China merupakan konsumen CPO kedua terbesar dunia, masih menerapkan kebijakan zero Covid sehingga membatasi kegiatan bisnis. Akibatnya permintaan diprediksikan masih turun.

Harga Gandum, Jagung, SawitSumber: Refinitiv

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular