5 Kesialan IHSG Hingga Return Nyaris Impas, Tersisa 0,37%!
Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa pekan terakhir, pergerakan harian IHSG cenderung volatil. Bahkan, pada perdagangan akhir bulan lalu, IHSG sempat terkoreksi hingga lima hari beruntun. Per akhir pekan lalu, IHSG pun sudah terkoreksi selama dua pekan beruntun.
Pergerakan indeks yang kerap turun tajam pun membuat imbal hasil atau return IHSG hampir impas. Sepanjang tahun ini, IHSG hanya menyisakan return 0,37%.
Penyebab pertama IHSG cenderung 'grogi' adalah isu inflasi. Isu ini masih menjadi perhatian pasar hingga hari ini, di mana inflasi global masih cenderung meninggi dalam jangka pendek.
Terbaru di Amerika Serikat (AS), inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu kembali melonjak 9,1%secara tahunan (year-on-year/yoy).
Laju inflasi aktual tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar yang memprediksi hanya naik 8,8% secara tahunan.
Laju inflasi Juni 2022 juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 8,6% (yoy). Kini, inflasi AS sudah mencapai laju tertingginya sejak November 1981.
Inflasi inti AS yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa di luar harga pangan serta energi naik 5,9% (yoy). Pun lebih tinggi dari estimasi konsensus di angka 5,7%.
Pasar terus berekspektasi bahwa inflasi di Negeri Paman Sam bakal melandai. Tetapi nyatanya justru terus menanjak.
Tak hanya di AS saja, banyak negara mengalami lonjakan inflasi karena beberapa hal seperti rantai pasokan yang masih belum normal, permintaan yang mulai meninggi tetapi tidak dibarengi oleh penawaran yang ada, dan kondisi-kondisi tertentu yang membuat inflasi masih tinggi.
Di Indonesia sendiri, inflasi juga sudah perlu diperhatikan, di mana pada Juni lalu, IHK mencapai tingkat tertinggi dalam 5 tahun di angka 4,35% (yoy), sedangkan inflasi inti tercatat bergerak lebih lambat dari atau berada di angka 2,63% (yoy).
Inflasi inti sendiri merupakan komponen inflasi (IHK/headline inflation) yang cenderung menetap dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti permintaan-penawaran, nilai tukar hingga harga komoditas internasional. Sedangkan komponen lain dari IHK adalah inflasi non-inti, yakni komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya.
Meskipun harga pangan naik di keranjang inflasi, tetapi kenaikan harga energi global yang lebih tinggi tidak tercermin sempurna ke harga domestik karena adanya subsidi bahan bakar dan listrik.
Naiknya harga energi global telah mendorong seruan untuk rasionalisasi subsidi dan pengurangan pengendalian harga. Subsidi energi naik 56% tahun 2022 untuk mengurangi tekanan pada daya beli konsumen dan membatasi kekhawatiran inflasi.
Inflasi akan menjadi faktor kunci tahun ini karena tekanan untuk menurunkan subsidi, khususnya terkait penyesuaian varian bahan bakar non-subsidi, kenaikan makanan dan pajak akan menopang inflasi, dengan pemulihan permintaan turut menunjukkan risiko kenaikan inflasi yang lebih tinggi.
Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juni, BI telah menandai risiko inflasi yang melampaui target dan kemungkinan akan tetap tinggi di 2H22. Selain inflasi tinggi, saat ini rupiah juga masih tertekan melawan dolar AS.
Di lain sisi, melihat inflasi AS yang masih mengganas, pelaku pasar mulai memperkirakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bp). Hal ini menjadi isu kedua yakni kenaikan suku bunga bank sentral.
Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan The Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bp.
Namun setelah rilis data inflasi tersebut, pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bp, jika mengacu pada CME FedWatch.
"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC Internnational.
Sementara di Indonesia, meski belum diumumkan secara resmi oleh pihak bank sentral, sejumlah analis memperkirakan bahwa BI akan segera menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, dengan DBS mengharapkan kenaikan 75 bp pada akhir tahun ini.
Di lain sisi, dengan inflasi yang kembali melonjak di AS dan potensi semakin agresifnya The Fed, maka bukan hal mungkin resesi dapat kembali terjadi. Isu ketiga yakni resesi
Hal ini dapat dilihat dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), di mana imbal hasil (yield) Treasury tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-kembali menanjak ke level 3%, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun juga masih berada di level 3%.
Artinya, terjadi kurva inversi (inverted yield curve), di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi.
Bahkan, Bank of America mengatakan bahwa ekonomi AS akan jatuh ke dalam mild recession tahun ini dan tingkat pengangguran akan mencapai 4,3% tahun depan dari level sekarang di 3,6%.
(chd)