Gak Takut Inflasi AS, IHSG Yakin Menghijau Hari Ini

Putra, CNBC Indonesia
14 July 2022 15:28
Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: Layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (9/5/2022). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan Kamis (14/7/2022). IHSG tetap perkasa meski bursa saham Amerika Serikat (AS) rontok.

Sempat merah pada awal perdagangan, IHSG terpantau ditutup menanjak 0,74% ke angka 6.690,087 dengan nilai transaksi harian terpantau berada di angka Rp 10,6 triliun.

Pergerakan IHSG hari ini sepertinya enggan mengekor Wall Street yang berguguran pasca rilis data inflasi AS yang meninggi di mana kondisi ini semakin memicu kecemasan bahwa resesi akan mendekat lebih cepat.

Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Juni melesat 9,1% secara tahunan (year on year/yoy) atau jauh melampaui ekspektasi pasar yang sebesar 8,8%. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang inflasi bulan sebelumnya di 8,6% dan menjadi rekor inflasi tertinggi dalam 41 tahun terakhir.

Inflasi inti, yang mengecualikan barang dengan harga volatil seperti makanan dan energi, juga melambung, yakni sebesar 5,9%, melampaui estimasi yang memperkirakan angka 5,7%. Inflasi inti dianggap mencerminkan daya beli masyarakat.

Rilis data IHK tersebut akan mendorong bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 basis poin (bp) di pertemuan selanjutnya. Padahal, bulan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 75 bp (terbesar sejak 1994) ke 1,5-1,75%.

"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC International.

Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan the Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bps.

Namun setelah rilis data inflasi tersebut pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bps, jika mengacu pada CME FedWatch.

Semakin agresif the Fed dalam menaikkan suku bunga acuan, maka risiko outflows dari negara berkembang seperti Indonesia akan semakin tinggi.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun - yang menjadi acuan pasar - bertambah 7 basis poin ke 3,03%, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun melompat 11 basis poin menjadi 3,16%.

Artinya, terjadi kurva inversi di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(trp/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular