5 Kesialan IHSG Hingga Return Nyaris Impas, Tersisa 0,37%!

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
14 July 2022 17:30
Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC IndonesiaBeberapa pekan terakhir, pergerakan harian IHSG cenderung volatil. Bahkan, pada perdagangan akhir bulan lalu, IHSG sempat terkoreksi hingga lima hari beruntun. Per akhir pekan lalu, IHSG pun sudah terkoreksi selama dua pekan beruntun.

Pergerakan indeks yang kerap turun tajam pun membuat imbal hasil atau return IHSG hampir impas. Sepanjang tahun ini, IHSG hanya menyisakan return 0,37%.

Penyebab pertama IHSG cenderung 'grogi' adalah isu inflasi. Isu ini masih menjadi perhatian pasar hingga hari ini, di mana inflasi global masih cenderung meninggi dalam jangka pendek.

Terbaru di Amerika Serikat (AS), inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu kembali melonjak 9,1%secara tahunan (year-on-year/yoy).

Laju inflasi aktual tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar yang memprediksi hanya naik 8,8% secara tahunan.

Laju inflasi Juni 2022 juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 8,6% (yoy). Kini, inflasi AS sudah mencapai laju tertingginya sejak November 1981.

Inflasi inti AS yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa di luar harga pangan serta energi naik 5,9% (yoy). Pun lebih tinggi dari estimasi konsensus di angka 5,7%.

Pasar terus berekspektasi bahwa inflasi di Negeri Paman Sam bakal melandai. Tetapi nyatanya justru terus menanjak.

Tak hanya di AS saja, banyak negara mengalami lonjakan inflasi karena beberapa hal seperti rantai pasokan yang masih belum normal, permintaan yang mulai meninggi tetapi tidak dibarengi oleh penawaran yang ada, dan kondisi-kondisi tertentu yang membuat inflasi masih tinggi.

Di Indonesia sendiri, inflasi juga sudah perlu diperhatikan, di mana pada Juni lalu, IHK mencapai tingkat tertinggi dalam 5 tahun di angka 4,35% (yoy), sedangkan inflasi inti tercatat bergerak lebih lambat dari atau berada di angka 2,63% (yoy).

Inflasi inti sendiri merupakan komponen inflasi (IHK/headline inflation) yang cenderung menetap dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti permintaan-penawaran, nilai tukar hingga harga komoditas internasional. Sedangkan komponen lain dari IHK adalah inflasi non-inti, yakni komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya.

Meskipun harga pangan naik di keranjang inflasi, tetapi kenaikan harga energi global yang lebih tinggi tidak tercermin sempurna ke harga domestik karena adanya subsidi bahan bakar dan listrik.

Naiknya harga energi global telah mendorong seruan untuk rasionalisasi subsidi dan pengurangan pengendalian harga. Subsidi energi naik 56% tahun 2022 untuk mengurangi tekanan pada daya beli konsumen dan membatasi kekhawatiran inflasi.

Inflasi akan menjadi faktor kunci tahun ini karena tekanan untuk menurunkan subsidi, khususnya terkait penyesuaian varian bahan bakar non-subsidi, kenaikan makanan dan pajak akan menopang inflasi, dengan pemulihan permintaan turut menunjukkan risiko kenaikan inflasi yang lebih tinggi.

Pada Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Juni, BI telah menandai risiko inflasi yang melampaui target dan kemungkinan akan tetap tinggi di 2H22. Selain inflasi tinggi, saat ini rupiah juga masih tertekan melawan dolar AS.

Di lain sisi, melihat inflasi AS yang masih mengganas, pelaku pasar mulai memperkirakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bp). Hal ini menjadi isu kedua yakni kenaikan suku bunga bank sentral.

Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan The Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bp.

Namun setelah rilis data inflasi tersebut, pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bp, jika mengacu pada CME FedWatch.

"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC Internnational.

Sementara di Indonesia, meski belum diumumkan secara resmi oleh pihak bank sentral, sejumlah analis memperkirakan bahwa BI akan segera menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, dengan DBS mengharapkan kenaikan 75 bp pada akhir tahun ini.

Di lain sisi, dengan inflasi yang kembali melonjak di AS dan potensi semakin agresifnya The Fed, maka bukan hal mungkin resesi dapat kembali terjadi. Isu ketiga yakni resesi

Hal ini dapat dilihat dari pasar obligasi pemerintah AS (US Treasury), di mana imbal hasil (yield) Treasury tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-kembali menanjak ke level 3%, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun juga masih berada di level 3%.

Artinya, terjadi kurva inversi (inverted yield curve), di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi.

Bahkan, Bank of America mengatakan bahwa ekonomi AS akan jatuh ke dalam mild recession tahun ini dan tingkat pengangguran akan mencapai 4,3% tahun depan dari level sekarang di 3,6%.

Inflasi yang terus meninggi, bank sentral yang semakin agresif menaikan suku bunga, dan potensi resesi yang kembali terjadi bukanlah tidak memiliki penyebab.

Salah satu penyebab ketiga isu tersebut mencuat adalah adanya perang Rusia-Ukraina yang hingga kini masih berlangsung.

Meski perang keduanya terlihat seperti perang saudara, tetapi dengan Negara Barat yang sudah ikut campur, maka hal ini dapat berdampak kemana-mana.

Apalagi, Negara Barat yang menerapkan sanksi ekonomi kepada Rusia, kemudian Rusia membalasnya turut mempengaruhi kondisi global yang menyebabkan rantai pasokan semakin terganggu dan kenaikan harga komoditas energi yang tidak terbendung. Keduanya yang menjadikan inflasi terus meninggi.

Rusia merupakan salah satu negara eksportir komoditas energi terbesar di dunia, baik komoditas minyak, gas alam, maupun komoditas energi lainnya.

Bicara minyak, Rusia juga menjadi negara pemasok minyak mentah terbesar kedua di dunia. Maka dari itu, ketika terjadi perang harga minyak dunia langsung melonjak berkali-kali lipat dan menyebabkan krisis energi di mana-mana.

Tak hanya minyak saja, perang tersebut juga mengakibatkan kenaikan harga komoditas internasional lainnya, seperti batu bara, bauksit, nikel hingga minyak kelapa sawit. Hal ini karena meningkatnya permintaan akan komoditas tersebut.

Ukraina juga tidak kalah penting dalam perdagangan dunia. Negara tersebut adalah salah satu pemasok pangan seperti gandum terbesar di dunia. Sehingga ketika Ukraina tak mampu mengelola pangan gandumnya dalam skala nasional, maka pasokan gandum untuk internasinal akan terganggu dan disini awal muncul krisis pangan, terutama dari gandum.

Ketika itu terjadi, maka hal tersebut menyebabkan lebih banyak tekanan dalam rantai pasokan dunia yang sudah terhambat akibat pandemi virus Corona (Covid-19). Proses pengiriman barang juga terganggu karena harus memutar lebih jauh akibat adanya perang.

Rantai pasokan yang terganggu tidak hanya di komoditas energi dan pangan, hampir seluruh sektor juga berdampak sama akibat perang Rusia-Ukraina.

Di Indonesia, sendiri, dampak dari perang Rusia-Ukraina pun terlihat. Mulai dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax hingga potensi kenaikan harga mie.

Meski pandemi Covid-19 tidak terlalu menjadi isu yang memperberat IHSG lagi, tetapi isu ini masih perlu dicermati, di mana diantaranya yakni kondisi Covid-19 di China dan tentunya di dalam negeri.

Di China, pandemi Covid-19 kembali memburuk setelah ditemukannya subvarian baru Omicron BA.5.2.1. Padahal pada akhir bulan lalu, Pemerintah China telah melakukan pelonggaran terkait masa karantina Covid-19 bagi para pelancong.

Hingga kini, China masih menerapkan kebijakan zero Covid-19, artinya tidak bisa mentoleransi ketika ada penambahan kasus penyakit akibat virus corona ini.

Ketika jumlah kasus mulai meningkat, maka pembatasan sosial kembali diketatkan, bahkan tidak segan melakukan pembatasan wilayah (lockdown).

Hal tersebut tentunya bagus untuk meredam penyebaran Covid-19, tetapi akan berdampak buruk bagi perekonomian China.

Sebelumnya, pemerintah China kembali melakukan lockdown di kota Wugang, provinsi Henan, di mana kota Wugang ditutup selama tiga hari setelah ditemukan satu infeksi Covid-19.

Ini pertama kalinya sebuah kota di China dikunci berdasarkan satu kasus, negara itu memiliki rekam jejak bereaksi cepat hanya terhadap satu atau beberapa infeksi.

Sementara di kota Shanghai, pemerintah setempat pada Senin lalu memutuskan untuk kembali melakukan pengujian massal kepada warganya. Hal ini dilakukan setelah kota itu menemukan subvarian Omicron Covid-19, BA.5.

Mengutip Reuters, kota pusat bisnis China itu akan melakukan pengujian massal dari Selasa, hingga Kamis hari ini. Pengujian ini juga akan menjadi akses bagi warga untuk menuju ke lokasi publik maupun transportasi umum.

Langkah Pemerintah Shanghai terkait pengujian ini dilakukan setelah pejabat kesehatan China menyebutkan bahwa Omicron BA.5 dapat menghindari antibodi yang diciptakan oleh vaksin Covid-19.

China melaporkan 352 infeksi baru Covid-19 yang ditularkan di dalam negeri per Minggu, 10 Juli lalu, di mana 46 di antaranya bergejala dan 306 tanpa gejala. Hal ini diungkapkan langsung Komisi Kesehatan Nasional.

Sementara itu, beberapa wilayah China telah mengalami penguncian ketat akibat kebijakan nol-Covid yang diterapkan Negeri Tirai Bambu. Ini memungkinkan sebuah kota diisolasi penuh meski hanya ada satu penemuan kasus.

Sementara itu di Indonesia, kasus Covid-19 dalam beberapa waktu terakhir mengalami kenaikan secara konsisten, setelah sebelumnya sempat melandai selama beberapa bulan.

Hal ini dipicu oleh subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, yang kini mendominasi kasus Covid-19 di Tanah Air.

Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Budi Gunadi Sadikin bahkan menyampaikan bahwa sebaran subvarian tersebut mencapai persentase hingga 80%. Bahkan angka sebaran dari subvarian Omicron ini di DKI Jakarta mencapai 100%.

Per Rabu kemarin, Satuan Tugas Penanganan Covid-19 mengumumkan ada tambahan 3.822 kasus. Tambahan ini jauh lebih tinggi dibandingkan Selasa lalu yang tercatat 3.361.

Dengan demikian, total kasus konfirmasi mencapai 6.120.169. Sedangkan kasus sembuh bertambah 1.939 menjadi 5.939.564. Sementara itu, kasus meninggal bertambah 12 jiwa menjadi 156.818. Untuk kasus aktif bertambah 1.871 sehingga totalnya 23.787.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular