
Pasrah.. Dolar AS Kian Gagah, Rupiah Koreksi 7 Hari Beruntun

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah lagi-lagi melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (6/7/2022). Rupiah membukukan pelemahan 7 hari beruntun dan menembus level psikologis Rp 15.000/US$ untuk pertama kalinya sejak Mei 2020.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan di Rp 14.990/US$ atau melemah 0,03% di pasar spot. Setelahnya rupiah sempat menyentuh Rp 14.995/US$, sebelum berbalik menguat tipis 0,03% ke Rp 14.981/US$.
Rupiah tak kuasa menahan tekanan dan akhirnya menembus level psikologis, melemah 0,23% ke Rp 15.020/US$. Di penutupan perdagangan rupiah berada di Rp 14.995/US$ atau terkoreksi tipis 0,07%.
Pelemahan rupiah tersebut juga menjadi perhatian Bank Indonesia (BI).
"Pemicu utama datang dari pasar keuangan global, di mana pelaku pasar khawatir akan terjadinya perlambatan lebih jauh atas ekonomi global bahkan khawatir bisa masuk ke kondisi resesi, khususnya ekonomi Amerika Serikat, di mana data terkini sepertinya mendukung terhadap kekhawatiran tersebut. Sementara ancaman inflasinya terus menghantui di banyak negara," kata Edi Susianto, Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter Bank Indonesia kepada CNBC Indonesia, Rabu (6/7/2022).
Isu resesi memang terus menggentayangi pasar. Tidak hanya Amerika Serikat, dunia juga diperkirakan mengalami resesi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Hal tersebut (isu resesi) mendorong pelaku pasar global untuk mencari safe haven currency dan safe haven asset. Safe haven currency condong ke dolar AS dan safe haven asset condong cash market dan Treasury (obligasi) AS," lanjut Edi.
"Artinya dari pergerakan nilai tukar, banyak mata uang non USD khususnya mata uang EM (Emerging Market) mengalami pelemahan, tentunya termasuk Rupiah," paparnya.
Mata uang Garuda terus mengalami tekanan, Edi menegaskan BI akan selalu berada di pasar, memastikan rupiah bergerak stabil. Ada beragam intervensi yang bisa dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Meskipun hingga saat ini kebutuhan valuta asing sudah dipenuhi oleh eksportir.
"BI memastikan ada di pasar melalui triple intervention agar supaya mekanisme pasar dapat bekerja dengan baik melalui menjaga keseimbangan supply - demand valas di market," ujarnya.
"BI menjaga kondisi likuiditas Rupiah dalam level yang optimal," tegas Edi.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Amerika Resesi, Tetapi Dolar AS Tetap Jadi Primadona
Amerika Serikat boleh jadi akan mengalami resesi, tetapi mata uangnya tetap menjadi primadona, terlihat dari indeksnya yang terus menanjak.
Status dolar sebagai aset safe haven dan "menguasai" dunia membuatnya menjadi primadona.
The greenback menjadi mata uang yang paling banyak digunakan dalam perdagangan internasional. Harga aset juga mayoritas dipatok dengan dolar AS.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifik nilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.
![]() |
Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.
Artinya, dolar AS bisa diterima di mana-mana. Hal ini membuat permintaannya selalu tinggi, apalagi dengan bank sentral AS (The Fed) yang agresif menaikkan suku bunga, aliran modal tentunya masuk ke Negeri Paman Sam.
Hingga Juni lalu, The Fed sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5-1,75%.
Bulan ini, bank sentral paling powerful di dunia ini akan kembali menaikkan sebesar 50-75 basis poin, dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan berada di kisaran 3,25-3,5%.
The Fed menjadi bank yang paling agresif menaikkan suku bunga dibandingkan bank sentral utama lainnya, sehingga dolar AS akan semakin diuntungkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri Resesi! IHSG Ambrol 2,6%, Rupiah Tak Mampu Menguat
