
Mereka yang Memilih Jalan Berbeda dari AS Cs, Termasuk RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) telah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Sebagai bentuk respons atas lonjakan inflasi.
Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 - 75 basis poin bulan depan, dan di akhir tahun diperkirakan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.
Powell memberikan testimoninya di hadapan Kongres AS pada Rabu dan Kamis kemarin. Sejauh ini, Powell masih optimistis dengan kondisi perekonomian AS, pasar tenaga kerja ketat dan demand masih tinggi. Meski demikian, ia juga menyatakan resesi mungkin akan terjadi.
"[Resesi] mungkin terjadi. Itu bukan hasil yang kami inginkan, tetapi kemungkinan itu pasti, dan terus terang peristiwa yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir di seluruh dunia membuat kami lebih sulit mencapai apa yang kami inginkan, yakni inflasi 2% dengan pasar tenaga kerja yang tetap kuat," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.
Puluhan bank sentral yang tergabung dalam Bank sentral di Uni Eropa, seperti Jerman dan Prancis, juga belum menaikkan suku bunga acuan sebesar 0% sejak Maret 2016. Namun, bank sentral Eropa (ECB) sudah mengumumkan akan menaikkan suku bunga mulai Juli mendatang.
Namun ada beberapa bank sentral yang sejauh ini menjaga suku bunga acuan mereka dengan tujuan ingin mendorong pertumbuhan ekonomi. Di antaranya adalah Jepang, China, Thailand, hingga Rusia, serta Indonesia.
Sejumlah alasan mendorong bank sentral untuk mempertahankan suku bunga. Tetapi alasan yang paling umum adalah mendongkrak pertumbuhan.
![]() Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani di Konferensi Pers APBN KiTA (Tangkapan Layar Youtube) |
Alasan sedikit berbeda datang dari Turki. Laju inflasi Negara Bulan Sabit tersebut sebenarnya sangat tinggi yakni 21,31% (year on year/yoy) pada November 2021 menjadi 73,5% pada Mei tahun ini. Namun, bank sentral tersebut tetap mempertahankan suku bunga acuan mereka di level 14%.
Inflasi Turki melonjak karena jatuhnya mata uang lira. Namun, di tengah lonjakan inflasi tersebut, bank sentral Turki (Turkiye Cumhuriyet Merkez Bankasi/TCMB) justru menurunkan suku bunga acuan pada Desember 2021 setelah Presiden Recep Tayyip Erdogan meminta mereka memangkas suku bunga.
Suku bunga acuan TCMB dipangkas pada September, Oktober, November, dan Desember 2021 dari 19% menjadi 14%. Erdogan adalah penentang keras kenaikan suku bunga. Dia bahkan sudah memecat tiga gubernur bank sentral sejak 2019 karena dinilai kurang akomodatif.
Sementara di Rusia, inflasi meroket dari 9,2% pada Februari 2022 menjadi 17,1% pada Mei 2022. Sebaliknya, pertumbuhan mereka melemah.
Bank Dunia memperkirakan ekonomi Negara Beruang Merah akan terkontraksi sebesar 8,9%, berbanding terbalik dengan tumbuh 4,7% pada tahun lalu.
Di tengah lonjakan inflasi, bank sentral Rusia pada 10 Juni lalu memangkas suku bunga sebesar 150 bps menjadi 9,5%. Langkah tersebut diambil untuk memantik pertumbuhan ekonomi mereka yang jatuh akibat perang.
Sejumlah embargo, gangguan logistik dan macetnya aktivitas bisnis akibat perang diperkirakan bakal berdampak besar terhadap ekonomi Rusia.
"Melemahnya aktivitas ekonomi terjadi baik dari sisi pasokan ataupun penawaran. Survei menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memperbaiki distribusi dan produksi," tutur bank sentral Rusia, dalam keterangannya.
Mendongkrak pertumbuhan juga menjadi dasar bagi bank sentral Thailand (BOT) untuk mempertahankan suku bunga acuan mereka pada level 0,50%. Suku bunga acuan terendah sepanjang masa tersebut sudah bertahan sejak Mei 2020 atau dua tahun lebih.
Pandemi covid-19 meluluhlantakkan perekonomian Thailand karena mereka menggantungkan sendi-sendi ekonominya kepada pariwisata.
Perekonomian Thailand tumbuh 1,1% pada kuartal I tahun ini, turun dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yakni 1,8%. Lockdown di China dan perang Rusia-Ukraina kembali mengancam perekonomian negara Gajah Putih.
Inflasi Thailand sebenarnya melaju tinggi yakni 7,1% pada Mei 2022, tertinggi sejak Juli 2008. Namun, itu belum cukup bagi Thailand untuk menaikkan suku bunga karena BOT selalu menegaskan bahwa pertumbuhan menjadi prioritas.
Bank sentral Jepang (BOJ) juga bertahan dengan suku bunga ultra rendahnya. Rapat BOJ pada 19 Juni lalu memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan mereka yang kini ada di minus 0,1%. Suku bunga acuan sebesar itu sudah bertahan sejak 2016.
Jepang memilih bertahan dengan suku bunga rendah demi mendongkrak ekonominya. Ekonomi Matahari Terbit terkontraksi 0,1% pada kuartal I (qtq yang dianualisasikan).
Sementara itu, inflasi Jepang meningkat 2,5% (yoy) pada April 2022 yang menjadi catatan tertinggi sejak Oktober 2014.
Jepang bahkan tidak peduli jika keputusan mereka akan membuat yen rontok. Yen Jepang jatuh ke posisi terendah dalam 24 tahun pada Senin pekan lalu, salah satunya karena komitmen BOJ untuk mempertahankan suku bunga ultra rendahnya.
Keputusan BOJ sudah didukung oleh Perdana Menteri Fumio Kishida.
"Dengan situasi sekarang ini, status quo pada kebijakan moneter harus dipertahankan," tutur Kishida dalam acara debat dengan pimpinan partai, seperti dikutip dari Reuters, Selasa (21/6/2022).
Bank Sentral China (PBOC) mempertahankan suku bunga acuan pinjaman, di tengah agresifnya bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga. Suku bunga pinjaman satu tahun dipertahankan di level 3,7%.
Bank Indonesia (BI) mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5% bulan ini. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 22-23 Juni 2022 juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.
BI sudah mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 3,5% sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 16 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan keputusan BI menahan suku bunga acuan sejalan dengan perlunya pengendalian inflasi tanpa perlu meninggalkan momentum pertumbuhan ekonomi.
"BI terus mencermati risiko tekanan inflasi ke depan, termasuk ekspektasi inflasi dan dampaknya terhadap inflasi inti, dan akan menempuh langkah-langkah normalisasi kebijakan moneter lanjutan sesuai dengan data dan kondisi yang berkembang," tutur Perry.
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Diramal Kebanjiran Dana Asing, Rupiah Jadi Makin Perkasa!
