Ramalan Sri Mulyani Soal Krisis Keuangan & Negara Ambruk
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memperkirakan krisis keuangan akan melanda beberapa negara dalam waktu dekat. Indonesia sendiri ternyata sudah bersiap sejak dini lewat berbagai kebijakan.
"Sejarah menunjukkan, ketika suku bunga naik dan ada pengetatan likuiditas maka bisa berpotensi menciptakan krisis keuangan," ujarnya dalam wawancara bersama Channel News Asia, Selasa (14/6/2022)
Hal ini terbukti ketika 1980, ketika AS menaikkan suku bunga acuan sampai dengan 20%, maka Brasil, Argentina dan Meksiko alami krisis keuangan. Hal yang sama juga terjadi lagi ketika tahun 1990 di mana suku bunga AS naik menjadi 9,75%. Periode 2007 juga menjadi salah satu contoh.
Situasi sekarang, kata Sri Mulyani memang sangat berat. Pandemi covid-19 yang belum selesai disambung oleh perang Rusia dan Ukraina. Banyak negara kini harus menghadapi lonjakan harga energi dan pangan sehingga membuat inflasi meroket.
Pada sisi lain, AS juga agresif dalam kenaikan suku bunga acuan. Pelaku pasar belakangan semakin panik akibat inflasi AS yang kembali melonjak ke 8,6% (yoy). Ada peluang The Fed menaikkan suku bunga hingga 75 basis poin saat pengumuman kebijakan moneter Kamis nanti.
Negara dengan ruang fiskal yang sempit akan alami tekanan berat bahkan bisa ambruk. Menambah utang maka konsekuensinya adalah biaya yang dikeluarkan sangat mahal karena peningkatan yield obligasi. Namun membebani masyarakat dengan kenaikan harga risikonya adalah lonjakan inflasi dan harus direspons dengan pengetatan moneter. Akhirnya resesi menjadi tak terhindarkan.
"Krisis pangan dan krisis energi ditambah krisis keuangan, karena banyak negara ketika pandemi ruang fiskalnya sangat terbatas sementara ekonomi belum pulih," imbuhnya.
Indonesia sendiri cukup beruntung. Kenaikan harga komoditas internasional seperti batu bara, nikel hingga minyak kelapa sawit memberikan dampak positif ke perekonomian. Mulai dari ekspor, cadangan devisa, pasokan valuta asing hingga tambahan penerimaan negara.
Hal tersebut juga sekaligus membantu pemerintah menahan harga energi lewat subsidi serta menambah bantuan sosial untuk masyarakat. Maka dari itu inflasi bisa terkendali meskipun ada tren peningkatan. Bank Indonesia (BI) akhirnya juga tidak perlu buru-buru menaikkan suku bunga acuan yang bisa menahan laju pemulihan ekonomi.
"Ada tambahan penerimaan yang kita bisa gunakan kembali untuk menjaga daya beli masyarakat," tegas Sri Mulyani.
Penting juga kemudian untuk diantisipasi pemerintah adalah pembiayaan. APBN masih defisit, artinya masih membutuhkan dana dari pasar untuk memenuhi kebutuhan belanja.
Defisit APBN 2022 diperkirakan mencapai level 4,50% PDB atau Rp 868 triliun, lebih rendah dari yang sebelumnya 4,8% PDB atau Rp 840,2 triliun. Sementara pada 2023 diperkirakan bisa di bawah 3% PDB.
"Kita turunkan defisit jadi kita tidak dalam posisi mengejar pembiayaan di pasar ketika pasar volatile," pungkasnya.
(mij/dru)