
Rubel Jadi "Senjata Makan Tuan" Bagi Rusia, Putin Pusing?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rubel Rusia masih belum goyah berada di puncak klasemen mata uang. Hingga perdagangan Rabu kemarin, rubel tercatat menguat lebih dari 21% melawan dolar Amerika Serikat (AS) sepanjang tahun ini.
Kemarin, rubel mengakhiri perdagangan di RUB 58/US$, masih dekat level dengan titik terkuat dalam 7 tahun terakhir RUB 51,49/US$ yang dicapai pada Rabu (25/6/2022) lalu, berdasarkan data Refinitiv.
Perkasanya rubel cukup mengejutkan, sebab pada Maret lalu nilainya jeblok hingga lebih dari 100% ke rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$. Penyebabnya, berbagai macam sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan sekutu ke Rusia akibat perang yang dilakukan di Ukraina.
Pasca jeblok tersebut, bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Presiden Rusia, Vladimir Putin, juga menerapkan kebijakan capital control.
Dua kebijakan tersebut, ditambah dengan surplus transaksi berjalan Rusia yang meroket akibat tingginya harga energi, membuat rubel berbalik menguat tajam dan menjadi mata uang terbaik di dunia.
Namun, rubel yang terlalu perkasa kini memberikan masalah bagi Rusia. CBR sudah memangkas suku bunga sebesar hingga 900 basis poin menjadi 11%, dan capital control juga sudah dilonggarkan. Perusahaan Rusia yang sebelumnya diwajibkan mengkonversi valuta asingnya sebanyak 80% menjadi rubel, kini dikurangi menjadi 50%.
Kebijakan tersebut masih belum mampu membuat rubel mengendur. Rubel yang terlalu kuat kini memberikan masalah bagi Rusia.
Pada 4 bulan pertama tahun ini, surplus transaksi berjalan Rusia meroket menjadi 3 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi US$ 95,8 milar, dan menjadi yang tertinggi sejak tahun 1994.
Tingginya surplus tersebut akibat melonjaknnya harga ekspor minyak dan gas Rusia, sementara impor mengalami penurunan yang signifikan.
International Energy Agency (IEA) mengatakan pendapatan ekspor minyak mentah Rusia melonjak 50% sejak awal tahun ini, diperkirakan nyaris US$ 20 miliar setiap bulannya.
Lonjakan tersebut bahkan dicapai meski Rusia mendiskon harga minyak Ural, selisih harga dengan minyak Brent kini semakin lebar. Berdasarkan data dari Staista, pada 31 Mei lalu rata-rata 5 hari harga minyak Ural lebih murah US$ 34,45 per barel.
![]() Sumber: Statista |
Berdasarkan data Refinitiv, rata-rata harga minyak Brent selama 4 hari hingga 31 Mei US$ 119/barel, artinya harga minyak Ural dijual di kisaran US$ 78/barel.
Selisih harga tersebut melembar jauh ketimbang di awal tahun ini, di mana minyak Ural lebih murah US$ 2/barel saja ketimbang Brent.
Berkat selisih harga yang besar tersebut, Rusia sukses menjual lebih banyak minyak Ural.
IEA melaporkan di bulan April, rata-rata ekspor minyak mentah Rusia mencapai 8,1 juta barel per hari, naik 620 ribu barel dari bulan sebelumnya, dan sama dengan rata-rata Januari dan Februari.
Artinya, ekspor Rusia kembali ke level sebelum perang dengan Ukraina dimulai akhir Februari lalu.
Namun, ekspor tersebut kini terancam menurun, sebab nilai tukar rubel yang sangat kuat. Saat rubel menguat, harga minyak Ural tentunya akan lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya, yang bisa menurunkan permintaan.
"Semakin kuat nilai tukar maka defisit anggaran akan semakin besar. Penguatan itu akan mempersulit para eksportir, menaikkan biaya dan mengurangi pendapatan," kata Evgeny Kogan, profesor di Higher School of Economic di Moskow, sebagaimana dilansir Bloomberg, Senin (23/5/2022).
Dimitry Peskov, juru bicara Kremlin mengatakan apresiasi nilai tukar rubel saat ini menjadi topik utama diskusi Presiden Putin dengan para penasehat ekonominya.
"Penguatan nilai tukar rubel menjadi perhatian khusus bagi pemerintah," kata Peskov, sebagaimana dilansir Bloomberg, Rabu (25/5/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> CBR Bakal Babat Suku Bunga