Big Stories 2022

Duet Putin dan Wanita Ini Bungkam Amerika & Barat Lewat Rubel

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 December 2022 07:05
Presiden Rusia Putin (AP)
Foto: Presiden Rusia Putin (AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dengan Ukraina menjadi bisa dikatakan menjadi momen terbesar yang merubah lanskap ekonomi dunia pada 2022. Diperkirakan akan tumbuh cukup tinggi, produk domestik bruto (PDB) dunia malah nyungsep, bahkan terancam mengalami resesi tahun depan.

Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2021 memprediksi perekonomian dunia akan tumbuh 4,9% pada 2022. Setahun berselang pada Oktober lalu, IMF memangkas proyeksi tersebut menjadi 3,2% saja.

Perang membuat harga komoditas energi meroket, hal ini diperparah dengan langkah Amerika Serikat (AS) dan negara Barat yang memberikan sanksi ke minyak mentah dan gas alam Rusia. Negara-negara dilarang lagi mengimpor dua komoditas tersebut, yang membuat supply mengetat. Maklum saja, Rusia merupakan salah satu produsen utama komoditas energi.

Harganya pun semakin meninggi, memicu krisis energi di Eropa dan lonjakan inflasi.

Sanksi yang diberikan ke Rusia tidak hanya ke sektor energi, tetapi ke segala lini mulai dari sektor finansial hingga individu. Tujuannya, melemahkan ekonomi Rusia.

Awalnya, sanksi tersebut berdampak signifikan, nilai tukar rubel Rusia ambruk hingga sekitar 100%, menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah RUB 150/US$ pada 7 Maret lalu.

Rubel yang jeblok dan menjadi mata uang terburuk di dunia membuat inflasi di Rusia meroket.

Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) Rusia pada April melesat 17,83% year-on-year (YoY) menjadi yang tertinggi dalam 20 tahun terakhir.

Selain rubel, disrupsi rantai pasokan menjadi pemicu lonjakan inflasi tersebut. Namun, bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) mengambil langkah cepat membalikkan keadaan.

Di bawah komando Gubernur, Elvira Nabiullina, CBR mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Kebijakan itu sukses meredam pelemahan rubel, apalagi ditambah dengan langkah Presiden Vladimir Putin menerapkan kebijakan capital control.

Alhasil, dalam tempo dua bulan saja rubel berbalik menjadi mata uang terbaik di dunia dan bertahan hingga saat ini. Berdasarkan data Refinitiv, rubel tercatat menguat sekitar 9% melawan dolar AS sepanjang tahun ini.

Posisi rubel semakin perkasa berkat surplus transaksi berjalan (current account) Rusia yang jumbo pada tahun ini akibat tingginya harga energi.

Duet kebijakan Putin - Nabiullina sukses membungkam Barat yang berencana melemahkan ekonomi Rusia yang masih kuat saat ini.

Pada Mei lalu, Putin pun mengklaim "kemenangan" di bidang ekonomi. Putin mengatakan rencananegara Barat untuk menghancurkan ekonomi Rusia dengan berbagai sanksi yang diterapkan tidak berhasil.

Saat Amerika Serikat dan Sekutu masih berkutat dengan tingginya inflasi, Rusia justru sudah sukses menurunkannya.

Pada November lalu, inflasi di Rusia tercatat tumbuh 12% (yoy), itu pun masih bisa lebih rendah lagi seandainya CBR tidak menurunkan lagi suku bunganya.

Nabiullina pun terus memangkas suku bunga guna memacu perekonomian. Wanita yang menjabat Gubernur CBR sejak Juni 2013 tercatat tercatat 6 kali memangkas suku bunga sejak inflasi menurun hingga menjadi 7,5%. Level suku bunga tersebut bahkan lebih rendah dari sebelum perang dengan Ukraina.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bye Dolar! Rusia dan India Sudah Tak Butuh Lagi Duit AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular