Sempat Berjaya di Eropa, Rupiah Justru Berakhir Tak Berdaya!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
01 June 2022 18:55
rupiah melemah terhadap Dollar
Foto: Ilustrasi rupiah dan dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah sempat menguat tajam di Benua Eropa di bulan Mei. Akan tetapi, pencapaian gagal dipertahankan dan justru berbalik merosot tajam.

Melansir data Refinitiv, pada 12 Mei lalu rupiah melesat ke Rp 15.108/EUR yang merupakan level terkuat sejak Februari 2020, atau sebelum virus Corona penyebab Covid-19 dinyatakan sebagai pandemi.

Namun, rupiah perlahan mulai berbalik jeblok hingga 2,24% ke Rp 15.648/EUR sepanjang Mei.

Hal yang sama juga terjadi melawan poundsterling, rupiah mampu menguat ke Rp 17.753/GBP yang menjadi level terkuat sejak Juli 2020. Sayangnya lagi-lagi gagal dipertahankan, poundsterling malah berbalik menguat 0,82% di akhir Mei ke Rp 18.370/GBP.

Melawan franc Swiss dan krona Swedia, pergerakan rupiah juga sama dan berakhir melemah melawan keduanya, masing-masing 2,06% dan 1,24% ke Rp 15.193/CHF dan Rp 1.491/SEK.

Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) yang bersiap mengerek suku bunga membuat rupiah berbalik tertekan.

Di bawah pimpinan Christine Lagarde, ECB menjadi salah satu bank sentral utama yang masih mempertahankan suku bunga rendah, saat yang lainnya sudah menaikkan bahkan beberapa sangat agresif.

Bank Sentral Inggris (Bank of England/BoE) sudah 4 kali menaikkan suku bunga acuannya termasuk awal bulan Mei menjadi 1%.

ECB kini diperkirakan akan menaikkan suku bunga di bulan Juli nanti. Jika demikian, maka ini akan menjadi kenaikan pertama dalam lebih dari satu dekade terakhir. ECB saat ini menerapkan suku bunga acuan 0%, lending facility 0,25% dan deposit facility sebesar -0,5%.

Survei yang dilakukan Reuters terhadap para ekonom pada 10-16 Mei lalu menunjukkan ECB diperkirakan akan menaikkan suku bunga deposito sebesar 25 basis poin pada bulan Juli.

ecbFoto: Refinitiv

Sebanyak 46 dari 48 ekonom tersebut memprediksi kenaikan tersebut, bahkan 26 di antaranya memproyeksikan suku bunga deposito akan kembali dinaikkan sebesar 25 basis poin menjadi 0% pada bulan September.

Suku bunga deposito yang negatif artinya perbankan yang menyimpan dananya di ECB justru dikenakan bunga. ECB menerapkan kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan lebih banyak menyalurkan kredit sehingga perekonomian bisa berputar lebih kencang.

Dengan suku bunga deposito tidak lagi negatif, likuiditas di perekonomian tentunya akan terserap, sehingga diharapkan mampu meredam inflasi yang saat ini mencapai 7,5%, tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Jika dilihat hingga akhir tahun nanti, sebanyak 43 ekonom melihat suku bunga deposito tidak akan lagi negatif. Bahkan 21 dari 48 ekonom atau 44% melihat suku bunga deposito bisa sebesar 0,25% di akhir tahun nanti, artinya akan ada 3 kali kenaikan suku bunga masing-masing 25 basis poin.

HALAMAN SELANJUTNYA >> BI Masih Enggan Naikkan Suku Bunga, Pilih Kerek GWM

Sementara itu Bank Indonesia (BI) mengumumkan kebijakan moneter pada Selasa (24/5/2022). Sesuai ekspektasi, suku bunga acuan masih ditahan.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24 April 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers secara virtual Selasa (24/5/2022).

BI tidak mengambil langkah menaikkan suku bunga seperti bank sentral lainnya di berbagai negara, bahkan dengan sangat agresif guna meredam 'tsunami' inflasi. Di Indonesia sendiri inflasi sudah mulai menanjak, tetapi masih dalam rentang target bank sentral.

Meski demikian, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah, yakni mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan GWM secara bertahap.

Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%

Untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.

BI kemudian mempercepat dan menaikkan lagi GWM. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.

Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.

Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun.

"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid-19 yang sebesar 21%," jelas Perry.

Ketika ditanya bagaimana arah kebijakan BI akibat selisih suku bunga dengan The Fed yang semakin menipis, Perry menyiratkan tidak perlu merespon sdengan ikut menaikkan suku bunga.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Perry menegaskan normalisasi kebijakan Indonesia terlebih dahulu dilakukan dengan normalisasi likuiditas dengan kenaikan GWM.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonomi Eropa Diprediksi Melambat, Tapi Euro Cs Masih Menguat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular