URAAA!! Rubel Mata Uang Terbaik Dunia, Rusia Menang Banyak?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
20 May 2022 13:50
Russia Ukraine Tensions
Foto: AP/Sergey Guneev

Jakarta, CNBC Indonesia - Rubel Rusia mengejutkan pasar finansial global setelah menjadi mata uang terbaik di dunia. Padahal, di awal April lalu nilainya terpuruk menyentuh rekor terlemah sepanjang masa melawan dolar Amerika Serikat (AS) di RUB 150/US$.

Bagaimana tidak, perang dengan Ukraina membuat Rusia dikenakan berbagai macam sanksi oleh Amerika Serikat dan sekutunya.

Namun kini rubel justru menjadi mata uang terbaik di dunia. Pada perdagangan Jumat (20/5/2022) pagi ini, rubel berada di kisaran RUB 62,1/US$. Sepanjang tahun ini penguatannya nyaris 15%, mengalahkan real Brasil yang penguatannya sekitar 13%.

Presiden Rusia, Vladimir Putin pun mengklaim "kemenangan" di bidang ekonomi. Putin mengatakan rencana negara Barat untuk menghancurkan ekonomi Rusia dengan berbagai sanksi yang diterapkan tidak berhasil.

Ia menunjukkan bagaimana kebangkitan nilai tukar rubel yang sempat jeblok lebih dari 100% ke rekor terlemah sepanjang sejarah, kini berbalik menjadi mata uang terkuat di dunia, membuat dolar AS yang sedang kuat-kuatnya tumbang.

Analis Goldman Sachs melihat, perekonomian Rusia mulai pulih dan stabilitas finansial mulai membaik yang membuat rubel menguat.

"Perekonomian Rusia terus menunjukkan pemulihan dari syok pada akhir Februari dan awal Maret. Kecemasan akan stabilitas finansial mulai mereda, dan rubel mampu menguat ke level awal 2020," tulis ekonom Goldman Sachs Clemens Grafe yang dikutip CNBC International, Rabu (18/5/2022).

Tanda membaiknya perekonomian Rusia terlihat indikator ekonomi Purchasing Managers' Index (PMI) yang menunjukkan pemulihan sektor manufaktur.

PMI di bulan Maret ambrol ke 44,1 dari sebelumnya 48,6. PMI menggunakan angka 50 sebagai ambang batas, di bawahnya berarti kontraksi di atasnya ekspansi.

Pada bulan April, PMI Rusia berada di 48,2, meski masih berkontraksi tetapi sudah jauh membaik ketimbang bulan Maret.

Dengan nilai tukar rubel yang terus menguat, tekanan inflasi di Rusia juga mulai mereda.

Inflasi di Rusia mencapai 17,8% year-on-year (yoy) di bulan April, menjadi yang tertinggi dalam 2 dekade terakhir.

Kenaikan inflasi per bulannya menunjukkan pelambatan yang signifikan, di bulan April pertumbuhannya 1,6% month-to-month (mtm), jauh lebih rendah dari Maret 7,6% (mtm).

Meredanya tekanan inflasi tersebut membuat Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) memangkas suku bunganya dari 20% menjadi 16% dan diperkirakan akan dipangkas lagi menjadi 14%, yang tentunya berdampak positif ke perekonomian.

Meski demikian beberapa analis juga menyangsikan perekonomian Rusia akan bertahan, khususnya dalam jangka panjang.

Survei yang dilakukan CBR terhadap 13.000 entitas bisnis menunjukkan banyak yang sangat kesulitan mengimpor barang. Hal ini tentunya akibat sanksi-sanksi yang diberikan Barat ke Rusia.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Masa Depan Rubel Juga Diragukan

Rubel yang jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah di awal April membuat CBR mengerek suku bunga menjadi 20% dari sebelumnya 9,5%. Kebijakan itu sukses meredam pelemahan rubel, apalagi ditambah dengan pemerintah Rusia menerapkan kebijakan capital control.

Kebijakan capital control memberikan dampak yang besar terhadap penguatan rubel. Kebijakan tersebut mewajibkan perusahaan Rusia mengkonversi 80% valuta asingnya menjadi rubel. Rusia juga meminta gas dan minyak yang diimpor oleh negara-negara Eropa dibayar menggunakan rubel.

Selain itu, warga Rusia sebelumnya juga dilarang mengirim uang ke luar negeri, kebijakan tersebut kemudian dilonggarkan dengan memperbolehkan transfer maksimal US$ 10.000/bulan per individu.

Meski saat ini menjadi mata uang terbaik di dunia, tetapi ke depannya rubel diperkirakan bisa kembali terpuruk.

"Bank sentral Rusia menggunakan banyak instrumen untuk membuat rubel kembali bernilai, tetapi orang-orang diluar Rusia tidak mau membeli rubel kecuali memang sangat harus membeli, dan para trader melihat rubel tidak lagi mata uang yang bisa diperdagangkan dengan bebas," kata Charles-Henry Monchau, kepala investasi Syz Bank di Swiss, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu pekan lalu.

Ia menambahkan, rubel bisa terus menguat jika Rusia bisa menemukan jalan keluar dari konflik Ukraina, tetapi sebaliknya akan jeblok jika perang terus berlarut-larut.
"Jika Rusia bisa menemukan solusi masalah Ukraina dengan konsekuensi yang terukur, kemudian sanksi dicabut dan hubungan dengan Barat mulai pulih, maka rubel akan mempertahankan penguatannya.

Di sisi lain, jika tidak ada resolusi, maka rubel akan jeblok, yang bisa membuat inflasi meroket dan perekonomian Rusia akan mengalami resesi yang dalam," katanya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular