
Tenang, Rupiah Masih Bertenaga di Benua Biru!

Jakarta, CNBC Indonesia- Kurs rupiah bergerak menguat terhadap euro, poundsterling, dan dolar franc swiss pada perdagangan hari ini, Jumat (13/5/2022). Sentimen negatif masih kerap berhembus di wilayah Eropa dan Inggris, tidak heran jika nilai tukar mata uangnya pun tertekan.
Melansir Refinitiv, pukul 11:35 WIB, rupiah menguat cukup tajam terhadap euro sebanyak 0,95% ke Rp 15.150/EUR dan rupiah terapresiasi terhadap rupiah 0,14S% di Rp 17.804,44/GBP.
Hal serupa terjadi pada dolar franc swiss terkoreksi terhadap Mata Uang Tanah Air sebesar 0,58% ke Rp 14.548,44/CHF.
Jika melihat performa nilai tukar mata uang di Benua Biru terhadap dolar Amerika serikat (AS), pelemahannya masih lebih banyak ketimbang pelemahan rupiah terhadap si greenback. Secara year-to-date, euro telah terkoreksi sebanyak 13,91% dan poundsterling melemah 13% terhadap dolar AS.
Mata uang safe haven seperti dolar franc swiss juga terkoreksi 11,21%, tapi rupiah hanya melemah 2,96% terhadap dolar AS. Tidak heran, jika rupiah pun berhasil menguat terhadap nilai tukar mata uang di Eropa dan Inggris.
Tidak hanya itu, sentimen negatif pun masih berhembus kencang di Eropa dan Inggris.
Seperti yang diwartakan Reuters, Rusia telah menjatuhkan sanksi terhadap anak perusahaan Eropa milik negara, Gazprom, sehari setelah Ukraina menghentikan rute transit gas utama. Sontak saja, tekanan pada Eropa untuk mengamankan pasokan gas alternatif pun meningkat.
Harga gas melonjak, di mana acuan utama Eropa naik 12% karena pembeli khawatir oleh meningkatnya ancaman terhadap pasokan gas ke Eropa, mengingat ketergantungan yang tinggi pada Rusia.
Beberapa waktu lalu, Rusia juga sempat memutuskan pasokan gas nya ke Bulgaria dan Polandia karena menolak untuk membayar dengan rubel.
Pada Rabu (11/5) waktu setempat, Rusia memberlakukan sanksi untuk Gazprom Germania yang berlokasi di Jerman. Tidak hanya itu, sanksi mencakup fasilitas penyimpanan gas terbesar Jerman di Rehden dengan kapasitas 4 miliar meter kubik.
Tidak jauh berbeda dengan situasi di Eropa, Inggris pun masih diterpa sentimen kurang baik. Melansir The Guardian, lebih dari 90.000 pegawai negeri di Inggris kemungkinan besar akan kehilangan pekerjaan mereka dalam upaya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson untuk meringankan biaya krisis hidup yang membebani ekonomi negaranya. Boris Johnson telah menugaskan kabinet untuk memangkas sebanyak seperlima karyawan.
Johnson memerintahkan para Menteri untuk mengembalikan jumlah pegawai negeri sipil ke tahun 2016 yang hanya 475.000 pekerja penuh waktu.
Para Menteri mempunyai waktu satu bulan untuk Menyusun proposal tentang bagaimana mereka akan mencapai hal tersebut di dalam departemen mereka.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aaf/aaf)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Joss! Rupiah Berjaya Dua Hari Beruntun di Eropa