
Jos! Rupiah Berhasil Juara di Eropa, Ini Penyebabnya...

Jakarta, CNBC Indonesia- Kurs rupiah berjaya terhadap euro, poundsterling, dan dolar franc swiss pada perdagangan Selasa (12/4/2022). Apa pemicunya?
Melansir Refinitiv, pukul 11:20 WIB, rupiah menguat terhadap euro sebanyak 0,08% di Rp 15.620,50/EUR dan poundsterling terkoreksi terhadap rupiah 0,05% di Rp 18.703,23/GBP.
Hal yang serupa terjadi, dolar franc swiss melemah terhadap Mata Uang Tanah Air sebesar 0,01% ke Rp 15.423,02/CHF.
Wajar saja, rupiah memang sedang perkasa hari ini, terpantau pukul 12:00 WIB rupiah mampu menguat terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sebanyak 0,02%.
Hal tersebut tidak lepas dari aliran dana investor asing yang rajin membeli saham di Bursa Efek Indonesia.
Hingga siang hari ini, net buy investor asing tercatat sebanyak Rp 610,37 miliar. Dengan demikian, sepanjang tahun, aliran dana investor asing yang telah masuk ke dalam negeri telah membukukan nilai hingga Rp 39,24 triliun.
Fundamentalnya, wilayah Eropa dan Inggris masih diterpa sentimen kurang baik.
Kemarin, OPEC mengatakan kepada Uni Eropa bahwa sanksi saat ini terhadap Rusia menciptakan salah satu guncangan terhadap pasokan minyak yang terburuk.
"Kami melihat, setidaknya lebih dari 7 juta barel/hari minyak Rusia akan hilang karena sanksi saat ini dan masa depan, mempertimbangkan prospek permintaan saat ini, hampir tidak mungkin untuk menggantikan kerugian dalam volume sebesar ini," tutur Sekretaris Jenderal OPEC Mohammad Barkindo dikutip dari Reuters.
OPEC memiliki tanggung jawab untuk memastikan pasar minyak berjalan seimbang. Menurut Barkindo bahwa pasar sangat bergejolak saat ini adalah akibat dari faktor non-fundamental dan di luar kendali OPEC.
Negara-negara Uni Eropa terpecah mengenai sanksi, mengingat ketergantungan mereka yang lebih tinggi kepada minyak dan gas Rusia daripada negara seperti AS.
Di Inggris, Konsorsium Ritel Inggris (BRC) kemarin melaporkan pertumbuhan penjualan tahunan yang lebih lemah di bulan Maret di -0,4%, mencerminkan meningkatnya tekanan pada belanja konsumen, meski adanya faktor musiman seperti waktu Paskah yang biasanya memicu dorongan untuk belanja.
Bank of England (BOE) dan para analis mengamati dengan cermat data ritel yang menunjukkan penurunan belanja konsumen, karena rumah tangga di Inggris menghadapi tekanan biaya hidup terbesar sejak 1950.
"Karena kepercayaan konsumen terus merosot, penjualan di bulan Maret melambat, dan sementara pembelanjaan tetap di atas tahun lalu, ini kemungkinan mencerminkan harga yang lebih tinggi," kata kepala eksekutif BRC Helen Dickinson.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Joss! Rupiah Berjaya Dua Hari Beruntun di Eropa