Kabar AS Diramal Resesi, Rupiah Sempat Menguat Eh Terus Flat

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
12 April 2022 12:35
Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Dolar dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah bergerak menguat kemudian stagnan terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan hari ini, Selasa (12/4/2022).

Pergerakan kurs rupiah terjadi di mana Bank of Amerika (BofA) meramalkan resesi akan terjadi di AS imbas keagresifan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) untuk menaklukkan inflasi.

Melansir data dari Refinitiv, Mata Uang Tanah Air membuka perdagangan dengan menguat tipis 0,03% di Rp 14.360/US$. Kemudian, rupiah memangkas penguatannya dan bergerak stagnan hingga pukul 11:00 WIB di Rp 14.365/US$.

Padahal, indeks dolar AS sedang menguat di pasar spot. Pukul 11:00 WIB, dolar AS berhasil menguat 0,12% ke level 100,054 terhadap 6 mata uang dunia.

Semua perhatian tertuju pada rilis data inflasi AS di bulan Maret yang dijadwalkan akan dirilis hari ini pukul 7 malam waktu Indonesia.

Pada Maret lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin dan risalah pertemuan The Fed di Maret menunjukkan bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin yang diprediksikan akan dimulai pada Mei.

Menurut Profesor Keuangan dan Analis Loyola Marymount University Los Angeles Sung Won Sohn menilai inflasi AS yang mencapai puncak bukan hanya dipicu oleh perang di Ukraina tapi juga karena stimulus besar-besaran pemerintah AS dan The Fed yang mencetak uang di masa lalu.

Survei analis Reuters memperkirakan Indeks Harga Konsumen (IHK) AS akan melonjak 1,2% di Maret dan akan menjadi kenaikan secara bulanan terbesar sejak September 2005. Hal tersebut dikarenakan harga bensin yang melonjak ke level tertinggi sepanjang masa senilai US$ 4,33/galon di Maret.

Selain itu, harga pangan yang ikut melonjak karena Rusia dan Ukraina adalah eksportir utama komoditas seperti gandum dan minyak biji matahari.

IHK AS juga diprediksikan akan melonjak secara tahunan sebesar 8,4% dan akan menjadi kenaikan secara tahunan terbesar sejak Januari 1982.

Kepala Strategi Investasi BofA Michael Hartnett memperingatkan bahwa lonjakan harga konsumen, dapat memicu penurunan ekonomi di AS. Belum lagi ini dikombinasikan dengan bank sentral yang semakin hawkish untuk melawan inflasi, yang berada pada level tertinggi sejak 1982.

Resesi kemungkinan akan datang dalam dua tahun ke depan, sebagaimana dimuat The Hills.

Hal itu disebabkan meningkatnya inflasi dan rendahnya pengangguran, pandemi, masalah rantai pasokan, perang antara Rusia dan Ukraina dengan implikasi energi, ditambah gejolak pemulihan di AS dan di tempat lain, seperti Prancis yang membayangi perkiraan secara kolektif.

Penguatan Mata Uang Ibu Pertiwi hari ini tampaknya dibantu oleh aliran dana asing karena investor asing masih rajin memborong saham di Bursa Efek Indonesia.

Tercatat, pukul 10:30 WIB, nilai beli bersih (net buy) investor asing mencapai Rp 468,11 miliar di pasar regular. Secara year-to-date (ytd), net buy tercatat senilai Rp 39,10 triliun.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular