
Peluang Resesi Amerika Serikat 40%, Rupiah Libas Dolar AS

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) di awal perdagangan Selasa (12/4/2022), setelah melemah tipis awal pekan kemarin. Meski demikian, rupiah masih belum akan mampu mencatat penguatan tajam, melihat pergerakannya yang tipis-tipis saja dalam beberapa pekan terakhir.
Melansir data Refinitiv, rupiah membuka perdagangan dengan menguat tipis 0,03% ke Rp 14.360/US$ dan bertahan di level tersebut hingga pukul 9:07 WIB.
Mata Uang Garuda masih mampu menguat melawan dolar AS yang sedang perkasa. Indeks dolar AS yang saat ini sudah ke atas level 100, tertinggi dalam dua tahun terakhir. Tanda-tanda rupiah akan menguat sudah terlihat dari pergerakannya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang lebih kuat pagi ini ketimbang beberapa saat setelah penutupan perdagangan kemarin.
Periode | Kurs Senin (11/4) pukul 15:13 WIB | Kurs Selasa (12/4) pukul 8:43 WIB |
1 Pekan | Rp14.267,0 | Rp14.259,3 |
1 Bulan | Rp14.376,0 | Rp14.365,0 |
2 Bulan | Rp14.391,0 | Rp14.393,0 |
3 Bulan | Rp14.408,0 | Rp14.408,0 |
6 Bulan | Rp14.481,0 | Rp14.463,0 |
9 Bulan | Rp14.576,0 | Rp14.554,0 |
1 Tahun | Rp14.696,0 | Rp14.698,0 |
2 Tahun | Rp15.085,0 | Rp14.979,0 |
Bank sentral AS (The Fed) hampir pasti menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada bulan depan terus menopang penguatan dolar AS. Beberapa pejabat elit The Fed, termasuk sang ketua Jerome Powell secara terbuka menyatakan dukungannya untuk menaikkan suku bunga lebih agresif guna meredam inflasi.
Survei terbaru yang dilakukan Reuters terhadap 102 ekonom pada periode 4 - 8 April menunjukkan 85 orang memproyeksikan suku bunga akan dinaikkan 50 basis poin di bulan Mei. Selain itu 56 orang juga memprediksi The Fed akan melakukan langkah yang sama di bulan Juni.
Jika prediksi tersebut akurat, maka itu akan menjadi kali pertama bagi The Fed menaikkan suku bunga back-to-back 50 basis poin sejak tahun 1994.
James Knightley, kepala ekonomi di ING bahkan memproyeksikan kenaikan 50 basis poin dalam 3 pertemuan beruntun.
"Mendengar komentar-komentar dari pejabat The Fed dan tekanan inflasi yang diteruskan ke perekonomian, kami percaya The Fed akan menaikkan suku bunga 50 basis poin pada Mei, Juni dan Juli," kata Knightley, sebagaimana dilansir Reuters, Senin (11/4/2022).
Namun, dengan agresifnya The Fed mengerek suku bunga, para ekonom tersebut juga memprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi di tahun depan, dengan probabilitas sebesar 40%.
Perekonomian AS sejak krisis finansial global 2008 sudah terbiasa dengan suku bunga rendah. Ketika The Fed agresif menaikkan suku bunga di 2018, tanda-tanda resesi pun muncul di 2019, yakni inversi antara yield obligasi (Treasury) tenor 2 tahun dengan 10 tahun. Perekonomian AS akhirnya mengalami resesi di tahun 2020, meski salah satu pemicunya pandemi penyakit virus corona (Covid-19).
Inversi kembali terjadi pada 31 Maret lalu. Kabar buruknya, hampir setiap terjadi inversi, maka Amerika Serikat akan mengalami resesi.
Berdasarkan riset dari The Fed San Francisco yang dirilis 2018 lalu menunjukkan sejak tahun 1955 ketika inversi yield terjadi maka akan diikuti dengan resesi dalam tempo 6 sampai 24 bulan setelahnya. Sepanjang periode tersebut, inversi yield Treasury hanya sekali saja tidak memicu resesi (false signal).
"The Fed terlihat merasa perlu untuk cepat menaikkan suku bunga guna mengontrol inflasi dan ekspektasi inflasi. Kenaikan suku bunga yang cepat meningkatkan risiko salah mengambil kebijakan dan itu bisa membawa perekonomian masuk ke dalam resesi," kata Knightley.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
