Minyak si Biang Kerok! Bikin Pertamax Naik, Bisa Bikin Resesi
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia meroket di tahun ini, bahkan sempat mencapai level tertinggi dalam lebih dari 13 tahun terakhir. Sejatinya kenaikan harga minyak mentah bisa menjadi kabar baik jika pemicunya dari sisi demand. Hal tersebut bisa menjadi indikasi perekonomian global yang berputar lebih kencang.
Namun, jika harga minyak mentah terlalu tinggi, maka dampak buruk yang bisa didapat, seperti yang terjadi saat ini. Di Indonesia kenaikan minyak mentah membuat pemerintah mengerek naik harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax (RON 92) cukup signifikan. Sementara untuk skala global, yang nantinya bisa berdampak juga ke Indonesia, kenaikan harga minyak mentah bisa memicu resesi yang pada akhirnya akan menyeret perekomian Indonesia juga.
Pada 7 Maret lalu, harga minyak mentah jenis Brent US$ 139,13/barel sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) di US$ 130,5/barel melansir data Refinitiv. Keduanya berada di level tertinggi sejak Juli 2008.
Dibandingkan posisi akhir 2021, Brent dan WTI tercatat melesat 78% dan 72%.
Harga minyak mentah setelahnya terkoreksi, dan saat ini masih berada di kisaran US$ 100/barel. Seperti disebutkan sebelumnya, kenaikan harga minyak mentah bisa menjadi kabar baik jika dipicu peningkatan demand. Hal tersebut terjadi sejak tahun lalu setelah perekonomian global perlahan bangkit dari kemerosotan akibat pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19).
Sayangnya, saat demand meningkat, supply masih belum mampu mengimbangi, harga minyak mentah pun menanjak pelan-pelan hingga akhirnya terakselerasi akibat perang Rusia dan Ukraina.
Rusia merupakan salah satu pemain penting di pasar minyak mentah. Negeri Beruang Merah merupakan salah satu produsen dan eksportir terbesar. Perang yang terjadi menghambat distribusi sehingga supply mengalami gangguan, belum lagi sanksi yang diberikan Negara Barat.
Meroketnya harga di bulan Maret serta risiko gangguan supply dari Rusia membuat para analis ramai-ramai menaikkan proyeksi harga minyak mentah. Bahkan, skenario terburuk dikatakan bisa menembus US$ 200/barel.
Bank investasi papan atas, Goldman Sachs, menaikkan rata-rata harga minyak Brent di tahun ini menjadi US$ 135/barel dari sebelumnya US$ 98/barel. Sebagaimana dilansir Reuters, analis dari Goldman Sachs mengatakan dunia terancam mengalami "gangguan supply energi terbesar" akibat perang Rusia-Ukraina.
Barclays bahkan melihat harga minyak mentah bisa menembus US$ 200/barel akibat perang. Meski demikian, proyeksi tahun ini tidak diubah, sebab Barlcays menyebut situasi Rusia vs Ukraina masih cair.
Kemudian Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat (AS) memproyeksikan rata-rata harga minyak mentah WTI di kuartal II-2022 sebesar US$ 112/barel dan Brent di US$ 116/barel.
Sementara perusahaan riset energi berbasis di Oslo (Norwegia), Rystad Energy memperkirakan harga minyak mentah bisa menembus US$ 240/barel. Jika benar minyak mentah mencapai level tersebut, maka banyak analis memprediksi perekonomian global akan mengalami resesi.
"Jika Negara Barat mengikuti jejak Amerika Serikat dengan mengembargo minyak mentah Rusia, itu akan menghilangkan 4,3 juta barel per hari di pasar minyak mentah, dan itu tidak akan bisa ditutup dengan cepat dari produsen lainnya," kata Bjornar Tonhaugen, kepala pasar minyak mentah di Rystad Energy, sebagaimana dilansir Fortune Kamis (10/3/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Dampak Kenaikan Minyak Mentah Bagi RI: Nyusahin Semua Orang!
(pap/pap)